Find Us On Social Media :

Bertemu Evita Peron di Recoleta, Buenos Aires

By Agus Surono, Sabtu, 3 Mei 2014 | 18:45 WIB

Bertemu Evita Peron di Recoleta, Buenos Aires

Habis bola, tango!

Minggu malam itu akhirnya datang. Kami kembali ke San Telmo untuk menonton dansa tango. Yah, tango memang kegiatan yang paling digemari penduduk Buenos Aires, selain menonton pertandingan sepak bola. Kebetulan kedua kegiatan itu berlangsung hanya pada Minggu malam. Jadi, sehabis menonton pertandingan sepakbola, penduduk Buenos Aires dan sekitarnya mengendurkan sarafnya dengan menonton atau sekaligus berdansa tango.

Tango benar-benar menghanyutkan kehidupan masyarakat Argentina. Pernah Maradona dalam salah satu acara talk show televisi "mogok bicara" karena mengaku kurang sehat. Tekanan darahnya naik drastis dan keringat bercucuran membasah-kuyupkan tubuh gempalnya. Usut punya usut, si rambut ikal ini berterus terang. Sesaat sebelum pengambilan gambar talk show, ia baru saja bertango dengan Cecillia Bolocco, ratu kecantikan Spanyol yang uaayu-nya luar biasa.

Oleh Carlo kami dicarterkan di Bar Sur. "Ini sudah ada di San Telmo sejak 50 tahun lalu," ujarnya. Saat duduk berhimpitan di bar yang terbilang sempit itu saya berpikir, apa ya mungkin, pasangan pedansa tango itu dapat menari dengan bebas di parquet yang berukuran 3 x 3 m?

Penonton sekitar 100 orang memenuhi arena lantai dansa. Sementara yang duduk di ketinggian tampak berdesakan. Empat pemusik yang sudah uzur "disudutkan" dekat meja bar minuman. Dengan semangat mereka menghibur penonton, dan tentu saja memberikan pemanasan bagi pedansa dengan lagu-lagu tango yang amat populer.

Paduan suara gitar, biola, flute, bandoneon (sejenis akordeon yang jadi ciri khas musik tango) mengumandangkan La Cumparsita, El Choclo, La Paloma, Milonga Sentimental.

Menjelang tengah malam lampu meredup perlahan. Sepasang penari "terbang" berpagutan erat dalam sorotan spotlight yang lembut. Ricardo Mentesa, primadona bar tadi, dengan tangkas "menyeret" pasangannya yang dengan lemah gemulai memasrahkan diri.

Dengan tatapan penuh kerinduan mereka mendekatkan pipi. Bercumbu sejenak, dan tiba-tiba saling "membanting". Ekspresi angkuh keluar dengan kaki masing-masing dibiarkan menendang ke semua arah. Namun, kembali tubuh itu berdekapan rapat, lantas berlenggak-lenggok seolah mengumbar luapan birahi yang menggelora.

Bukan main! (Yatie Asfan Lubis/Majalah Intisari Oktober 2005)