Nasi Kapau Nasibnya Semakin Memukau Setelah Jauh-jauh Merantau

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Nasi kapau berbeda dengan nasi padang. Yang jual juga harus asli atau menikah dengan orang asli Nagari Kapau, Agam, Sumatera Barat (Foto: Ilham Pradipta/Intisari)

Nasi kapau telah menjelma menjadi kuliner khas Nusantara. Sejak dahulu, berdagang nasi kapau hanya diperuntukan bagi orang asli Nagari Kapau. Melalui tangan dingin merekalah kekhasan rasa dan racikannya tetap terjaga.

Penulis: Ilham Pradipta untuk Majalah Intisari edisi September 2016

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -“Kalau sudah di sini, kita harus coba nasi kapau,” kata seorang ibu pada anaknya di sekitar Taman Menara Jam Gadang, Bukittinggi.

Sebelumnya, si anak sempat minta bersantap siang di sebuah restoran cepat saji tak jauh dari situ. Namun, ibunya punya ide lain. Dia mengajak anaknya menikmati pengalaman menyantap kuliner khas daerah setempat.

Berwisata ke Bukittinggi memang bukan hanya urusan memandang Jam Gadang, Ngarai Sianok, atau objek-objek wisata lainnya. Biasanya di kota yang dulu bernama Fort de Kock ini, wisatawan juga akan menyempatkan diri untuk mencicipi nasi kapau.

Apalagi biasanya mereka mendengar, kalau nasi ini berbeda dengan nasi padang. Maka jadilah nasi kapau bukan sekadar sebagai pengisi perut, tapi juga pemuas rasa penasaran.

Dalam khazanah kuliner Minangkabau, nasi kapau termasuk dalam menu klasik yang sudah melintas zaman. Hanya saja, tak ada pedagang makanan ini yang tahu persis awal mula sejarahnya.

Yang jelas, salah satu pemilik warung nasi kapau di Los Lambung, Pasar Lereng, mengatakan, bisnis keluarganya ini sudah dimulai sejak 1930-an.

Popularitas nasi kapau bahkan pernah membuatnya turut serta dalam gelaran Indonesia Festival Food hingga World Street Food Congress (WSFC) di Singapura. Ini adalah festival kuliner internasional berkategori “street food” alias makanan yang dijual di pinggir jalan atau area publik.

Kadang kala, street food juga dijajakan dari tenda atau kios yang mudah dibereskan -- termasuk nasi kapau.

Dicampur dalam satu piring

Nasi kapau sebenarnya merupakan nasi rames ala Nagari Kapau. Komposisi standarnya, nasi putih beserta gulai kapau yang disantap bersama lauk.

Gulai kapau yang berbahan dasar kol, nangka, dan kacang ini, juga memiliki kekhasan sendiri. Kuahnya berwarna kuning dengan rasa yang sedikit asam.

Orang dari luar Minangkabau banyak yang mengira, nasi kapau serupa dengan nasi padang. Padahal dari segi penyajian, rasa dan bumbu, jauh berbeda.

Pada nasi padang, sayuran akan disajikan dengan potongan kecil-kecil. Sedangkan pada nasi kapau, sayuran akan disajikan secara utuh.

Contohnya, pada gulai nangkanya, kacang panjang hanya akan dibagi dua sampai tiga potong per lonjor. Bahkan kol disajikan selembar utuh.

Sepiring nasi kapau biasanya akan tersaji dengan lauk-pauk dan sayuran yang disiram dengan kuah gulai. Ini berbeda dengan nasi padang yang menghidangkan nasi terpisah dengan lauk pauknya.

Soal bumbu, nasi kapau juga punya racikannya sendiri. Bumbu tidak pernah ditumis, berbeda dengan nasi padang. “Semua pakai minyak kelapa asli, jadi enggak ada yang ditumis,” terang Desmon Efrita, karyawan di Nasi Kapau Uni Lis.

Selain itu, nasi kapau juga dikenal kaya akan pemakaian kelapa untuk memunculkan rasa gurih pada lauk-pauknya.

Ada beberapa jenis masakan yang bisa dinikmati dengan nasi kapau. Salah satu favorit pengunjung adalah gulai tambunsu yang merupakan campuran telur, ayam, dan tahu yang dimasukkan ke usus sapi.

Pengunjung biasanya juga menyukai kikil, tunjang, dendeng, dan ikan mas telur. Justru ayam balado atau gulai yang jadi ciri khas nasi padang, jarang dipesan.

“Nasi kapau begitu ciri khasnya, kalau ayam sudah biasa,” ujar Ernida pemilik Nasi Kapau Uni Er.

Di kedai nasi kapau, penyajian hidangannya juga cukup unik. Lauk-pauknya disajikan bertumpuk-tumpuk satu sama lain.

Barisan baskom berisi lauk beraneka ragam itu tersusun rapi di meja bertingkat. Ketika ada pembeli yang memesan, penjual akan mengambil lauk-pauk dengan sendok lauk bertangkai panjang.

Panjangnya bisa mencapai 110 cm untuk menjangkau wadah-wadah yang jauh. Pengunjung pun akan menyantap makanannya di depan atau di samping lauk pauk yang telah ditata.

Menariknya, cara penyajian masakan ini membuat interaksi antara pembeli dan penjual menjadi semakin akrab.

Harus asli Kapau

Di Bukittinggi, pedagang nasi kapau mudah dijumpai di sekitar lokasi Jam Gadang, tepatnya di Los Lambung di kawasan Pasar Atas. Para pedagang sengaja disatukan di tempat itu sekaligus sebagai daya tarik bagi wisatawan.

Meski kedai-kedainya ditata sederhana, hanya berupa tempat yang dipisahkan tirai, namun para pengunjung tampak selalu ramai.

Menariknya, jika Anda jeli mengamati, para pedagang itu sesungguhnya berasal dari satu daerah yaitu Nagari Kapau. Rupa-rupanya, tidak semua orang berhak untuk berdagang nasi kapau di kota Bukittinggi.

Mereka harus orang asli dari Kapau. “Kalau orang dari luar, maka dia harus memiliki pasangan hidup yang berasal dari daerah Kapau,” tutur Zarniati, pemilik kedai nasi kapau Uni Lis di Los Lambung.

Ketentuan yang sudah ada sejak dulu ini konon bertujuan untuk mempertahankan kekhasan rasa nasi kapau. Racikan bumbu asli Kapau ini boleh dikatakan semacam rahasia dapur keluarga.

Masing-masing pedagang memiliki racikan dan komposisinya masing-masing. Mereka mewarisinya karena sejak kecil sudah diajak untuk membantu usaha keluarga.

Sampai 17 termos

Menurut para pedagang di Los Lambung, pembeli nasi kapau ibaratnya air laut yang mengenal pasang dan surut. Bila dalam sehari pembeli berkisar antara 50-200 orang, tandanya sedang surut.

Biasanya, kondisi ini terjadi di hari-hari biasa. Di hari ini, pembeli yang mampir hanya orang lokal dan beberapa wisatawan.

Panen rezeki baru akan datang ketika musim liburan. Jumlah pembeli di tiap-tiap kedai nasi kapau memang berbeda, tapi berkisar ratusan orang.

“Kalau liburan mungkin bisa lebih dari 200 orang,” ujar Zarniati. Sedangkan di kala sepi, kedainya hanya diduduki sekitar 50 orang. Hal hampir serupa pun terjadi di kedai Uni Er.

Bagi kedai yang didatangi 200 orang bila sedang sepi, pada musim liburan jumlah pengunjungnya bakal melonjak gila-gilaan. “Liburan atau lebaran bisa mencapai 17 termos,” ujar Desmon.

Termos atau tempat nasi itu bukan ukuran biasa, melainkan ukuran besar yang bisa memuat seratus porsi. Jadi totalnya dalam sehari bisa mencapai 1.700 porsi.

Kedai tempat Desmon bekerja ini berbentuk seperti restoran. Tidak seperti kedai-kedai lain yang berdiri di atas bangunan semi permanen.

Sebagai patokan, di kedai ini menu seperti kikil, ikan mas telur, dan gulai usus dijual seharga Rp30 ribu. Harga itu lebih mahal sekitar Rp5 ribu dibandingkan dengan di kedai lain. Tapi harga itu sebanding dengan lauk yang besar serta tempat makannya yang terbilang nyaman.

Selain ketiga masakan itu, rendang juga terbilang laku. Banyak pembeli yang ingin mencicipi kekhasan rendang nasi kapau.

Rendang kapau ini memiliki warna bumbu yang lebih gelap dibandingkan rendang pada rumah makan padang. Bumbunya dicampur dengan dakak-dakak. Alias, potongan singkong berukuran kecil yang membuat rendang terasa renyah.

Tak hanya itu saja, rendang nasi kapau juga menyajikan kentang mini yang dicampurkan dalam bumbunya.

Berawal Dari Nagari kapau

Nama Kapau diambil dari nama bukit di sebuah nagari (sekumpulan kampung) terkecil di Kecamatan Tilatang Kamang, Agam, Sumatera Barat. Nagari itu sendiri ditemukan oleh sekumpulan orang dari Pariangan, Padang Panjang, yang pindah ke perbatasan Agam.

Rombongan orang Pariangan itu terdiri atas empat rombongan: Kurai, Sianok, Koto Gadang, dan Kapau.

Dalam proses pencarian tempat tinggal, rombongan Kapau ini menemukan tanah yang luas dan subur. Di atas tanah itulah terbentuk Nagari Kapau.

Seiring bergulirnya waktu dan meningkatnya taraf pendidikan, banyak orang Kapau yang merantau ke Brunei Darussalam dan Malaysia. Walhasil, rumah-rumah yang dulunya sederhana, telah tergantikan karena kesuksesan warganya.

Karena kekayaan budaya kuliner itu, banyak pula penduduk Kapau yang merantau untuk berjualan nasi kapau. Salah satu tempat yang dituju adalah Bukittinggi.

Di tempat ini, kebanyakan pedagang mulai berjualan sejak 1980-an. Kini, beberapa dari mereka telah memiliki tempat berjualan layaknya sebuah restoran.

Berawal 1930-an Merantau 1970-an

Tradisi berdagang nasi kapau bagi para pedagang di Los Lambung telah dilakukan turun-temurun. Namun, tak ada yang tahu pasti kapan kali pertama nasi kapau muncul di tanah Kapau lalu beranjak ke Bukittinggi.

Setiap kedai nasi kapau memiliki umur yang berbeda. Kedai Uni Lis milik Zarniati misalnya.

Bisnis ini dirintis neneknya, dan ia menjadi generasi ketiga. Seingatnya, neneknya mulai berdagang nasi kapau sekitar 1970. Di tahun itu pula nasi ini mulai keluar dari daerah Kapau.

Lain dengan Ernida pemilik kedai Uni Er yang telah 30 tahun berdagang di Los Lambung. Nasi Kapau racikannya sendiri telah berusia sekitar 36 tahun. Kedainya pertama kali dibuat orang sang ibu, sebelum akhirnya dipegangnya sampai saat ini.

Dari kedua kedai kapau itu, Nasi kapau Uni Lis tempat Dasmon bekerjalah yang terlawas. Kedai ini sudah ada sejak tahun 1930-an.

“Pertama kali dari ibu dari neneknya bapak,” tuturnya. Lalu, sekitar 1970-an dibawalah nasi kapau ini ke tanah Bukittinggi sampai saat ini.

Tak hanya di Bukittingi, kita juga bisa menjumpai nasi kapau di Jakarta, persisnya di bilangan Kramat, Senen, Jakarta Pusat. Jika penasaran, silakan mencoba!

Artikel Terkait