Hal-hal yang Belum Diceritakan tentang Betapa Repotnya Menyiapkan Pemilu Pertama di Indonesia

Tim Intisari

Penulis

Bung Karno berpartisipasi pada Pemilu 1955, pemilu pertama di Indonesia. Namanya pemilu pertama, persiapannya repot banget (Wikipedia Commons)

Betapa repotnya menyiapkan Pemilu 1955, pemilu pertama yang diselenggarakan di Indonesia. Banyak peristiwa penting, menari, lucu, dan mengharukan, terjadi di sekitarnya.

Penulis: Lily Wibisono/Djati Surendro untuk Majalah Intisari edisi Juni 1992

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Tepat10 tahun usianya, Indonesia menyelenggarakan "pesta demokrasi" untuk pertama kalinya, tepatnya pada 29 September 1955. Pemungutan suara ini diadakan untuk memilih anggota DPR dan Konstituante.

Bak perhelatan akbar, negeri yang masih muda ini mau tak mau harus menanggung segudang kerepotan. Kalau dinamakan pesta, ini jelas bukan sekadar "Semar mantu". Yang repot seluruh negara seluas sekitar 1.904.354,7 km2.

Itulah sebabnya, serangkaian persiapan dilakukan setahun sebelumnya.

Sejak Februari 1954 telah dibentuk panitia Ad Hoc yang beranggotakan Mendagri, Menkeh, plus Menkeu. Karena berbagai kepentingan dan meluasnya permasalahan yang dihadapi, 4 Agustus 1954 Perdana Menteri dan kedua wakilnya diikutsertakan untuk bertanggung jawab atas perencanaan serta pelaksanaan pemilu.

Bahkan 22 Agustus 1955, menjelang hari H, keanggotaan panitia pemilihan umum yang diketuai R. Hadikusumo diperluas dengan masuknya Menpen dan Menhub ke dalamnya.

Bagaimana tidak repot? Dalam hiruk pikuknya "pesta demokrasi" ini kurang lebih 172 partai terlibat. Dari data jumlah penduduk sebesar 77.987.879 jiwa, yang punya hak pilih hanya 43.104.464 orang.

Untuk menangani pelaksanaan pemilu, 807.996 orang petugas lapangan dikerahkan di 188.169 tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh penjuru Nusantara, baik untuk memilih anggota DPR maupun Konstituante.

Tak lupa, pelana kuda

Daftar kerepotan akan terlihat semakin panjang kalau kita sempat melongok sekelumit kegiatan yang dilakukan panitia pemilihan umum dari mulai persiapan, pelaksanaan sampai dengan pembersihan.

Sebagai gambaran sepintas, untuk belanja peralatan panitia harus menyediakan 6.895 mesin ketik, 199.825 kotak suara, dan 3.197.397 ton kertas HVS. Untuk melengkapi sarana akomodasi, para petugas di lapangan panitia membeli 220 kendaraan pick-up merek Fargo dan DeSoto plus persediaan 1.040 ban mobil, 4.978 sepeda dan 315 pelana kuda. Peralatan "aneh" yang disebut terakhir itu diperlukan para petugas pendaftar pemilih di daerah NTT yang memakai kuda sebagai pengganti sepeda.

Untuk, mencetak tanda gambar para kontestan pemilu, panitia meminta jasa 29 perusahaan percetakan, termasuk Percetakan Negara.

Suka duka pengalaman penyelenggaraan pemilu pertama ini tak hanya dialami panitia pusat. Daerah-daerah pelosok pun diwarnai kerepotan yang tak kalah menariknya.

Di beberapa daerah yang agak sukar dicapai dengan kendaraan bermotor, bermacam persiapan pemungutan terlambat dan tidak kunjung usai. Karena terlambatnya pengiriman uang atau pengangkatan anggota Penyelenggara Pemungutan Suara, pelatihan petugas pun terlambat.

Akibatnya, banyak terjadi kekeliruan dan kesalahan pada pemungutan suara dan perhitungan suara.

Misalnya di Surabaya (35.000 pemilih dalam 1 PPS). Anggota-PPS diangkat 10 September, lantas dilatih tergesa-gesa. Karena datangnya alat-alat tulis dan mesin ketik dari pusat terlambat, terlambat pula pembuatan kutipan daftar pemilih sehingga menimbulkan kesulitan.

Berhubung surat-surat suara baru datang akhir Agustus, 40 orang pegawai PPS Surabaya terpaksa bekerja siang-malam selama 20 hari. Mungkin pula karena ini, seorang di antaranya meninggal mendadak tanggal 8 September.

Kalau pada pemilu sekarang, ketepatan waktu pencoblosan sangat penting dalam mensahkan suara, tidak demikian pada Pemilu 1955 ini. Kelambatan dalam berbagai hal memaksa beberapa bagian daerah tak bisa serentak melaksanakan pemungutan suara pada 20 September 1955.

Misalnya, Kabupaten Bengkalis dengan 448 PPS-nya baru melaksanakan pemungutan suara 16 November 1955. Kabupaten Karo (Sumatra Utara) terlambat karena keliru menerima surat-surat suara yang mestinya untuk Sumatera Tengah.

PPS Kota Beru, Kalimantan Selatan, karena ombak besar dan letaknya jauh, baru bisa melaksanakan pemungutan suara 6-31 Oktober. Begitu pula daerah Aceh Tengah baru 3 November, sementara Aceh Besar pada 25 Oktober.

Pers Barat kecele

Surat Kabar Indonesia Raya terbitan Jakarta, 30 September 1955, menulis di antaranya:

"Sukarlah kiranya menghindarkan rasa terharu ketika kita melihat dari segala lapisan sama-sama berbaris menyampaikan suara mereka ke kotak suara. Sayanglah kejadian bersejarah ini tidak dapat terjadi serentak di seluruh tanah air. Juga amat disayangkan, banyak orang tidak bisa ikut memberikan suaranya karena persiapan-persiapan pemilu yang tidak sempurna. Hendaknya segera diadakan penyelidikan-penyelidikan yang tertib mengenai sebab-sebab kartu pemilih hilang, hingga orang yang telah terdaftar jadi tidak ikut memilih dan macam-macam ‘kelalaian’ lain yang menyebabkan banyak pemilih kehilangan hak pilihnya."

Bagi rakyat kita hari pemilihan umum ini adalah kesempatan mereka yang pertama merasakan hak dan kekuasaannya. Hari itu adalah hari pernyataan, bahwa rakyatlah yang berdaulat di negeri ini. Walaupun mungkin perasaan dan kesadaran ini belum meluas benar.

Sementara itu Kantor Berita Antara menyiarkan, para peninjau Eropa mengira akan terjadi kegaduhan hebat di Indonesia selama pemilu.

Bagaimana kelirunya gambaran dan ramalan-ramalan pers di Eropa umumnya, Belanda pada khususnya, dilaporkan oleh wartawan Antara di Amsterdam:

"Soal-soal sekitar adanya kegelisahan dan ketidakamanan di Indonesia merupakan bahan-bahan komentar yang tidak kering-kering bagi sebagian besar pers Belanda. Pada hari menjelang dilakukannya pemilu pertama di Indonesia, hampir semua surat kabar di Nederland sepenuhnya sepaham bahwa pemilihan umum pertama di Indonesia itu tidak akan dapat berlangsung tiada dengan pertentangan-pertenganan hebat."

Sebagian dari pers Eropa Barat, yang dalam hal pemberitaan tentang Indonesia menerima bahan dari para wartawan di Belanda, juga menimbulkan kesan kuat bahwa mereka yakin pemilu Indonesia itu akan kacau dan penuh keributan.

Tapi lambat laun mereka mengetahui, dan menarik kesimpulan, bahwa ramalan-ramalan itu tidak benar. The Observer melaporkan, "Para peninjau salah pandangannya."

Pemungutan suara di Indonesia ternyata berlangsung dalam suasana aman dan semangat yang baik. Menurut laporan wartawannya John Stirling, yang spesial dikirim ke Indonesia untuk mengikuti jalannya pemilu pertama, dikatakan sebagai berikut:

"Apakah (parlemen Indonesia nanti) akan dipimpin oleh golongan Islam dan Sosialis ataukah oleh kaum Nasionalis dan Komunis, yang terang ialah, bahwa golongan-golongan yang memimpin itu telah mendapat mandat dari rakyat-Indonesia, mandat yang telah diberikan dengan bebas dan kemauan tegas pada tempat-tempat pemungutan suara."

The Observer juga menambahkan: "Ini adalah suatu kemajuan besar bagi Indonesia dan Asia Tenggara."

Harga seorang anggota DPR Rp600.000

Setelah pelaksanaan pemilu selesai, orang tentu akan bertanya, berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk tiap-tiap anggota itu. Berapa "berat" seorang anggota DPR/Konstituante?

Untuk menjawab pertanyaan itu, ditelitilah berapa ongkos pemilihan seluruhnya untuk kemudian dibagi dengan jumlah anggota yang telah terpilih. Berhubung belanja untuk pemilihan kembar ini disatukan, maka dalam perhitungan ini jumlah anggota pilihan untuk DPR dan Konstituante disatukan pula.

Neraca pengeluaran terakhir dari Panitia Pemilihan Indonesia September 1957 menunjukkan angka Rp492.535.488,37, sedangkan jumlah anggota DPR/Konstituante yang telah dipilih adalah 257+514=771 anggota.

Jadi harga seorang anggota DPR/Konstituante adalah Rp492.535.488,37/7=Rp638.826,83.

Namun perlu diterangkan lebih jauh, ini baru yang dikeluarkan oleh PPI, belum dihitung pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Kementerian Penerangan, Dewan Keamanan Nasional, partai-partai yang terlibat dan organisasi lainnya. Kesimpulannya, demokrasi memang mahal.

Mahalnya demokrasi itu tidak hanya dibayar dengan uang. Dari seluruh kawasan Indonesia dilaporkan sebanyak 107 petugas pemilu, meninggal sewaktu menjalankan tugas.

Ada yang meninggal karena dibunuh gerombolan pengacau, dianiaya maupun diculik. Untuk itu disediakan anggaran uang duka masing-masing ahli waris menerima santunan Rp5.000.

Berakhirnya pemilu pertama dengan sukses memang tak terlepas dan partisipasi segenap petugas dan kerja sama rakyat bangsa ini. Menurut laporan terakhir panitia pemilihan umum pertama, setelah mengadakan perhitungan akhir atas semua pembiayaan pemilu, didapati sisa anggaran sebanyak Rp12.567.010.

Kelebihan uang ini antara lain didapatkan dari hasil penjualan bekas surat-surat suara, bekas TPS, kotak suara serta peralatan-peralatan yang tak digunakan lagi. Dari sisa uang tersebut Rp5 juta disisihkan untuk membangun gedung Panitia Pemilihan Indonesia yang letaknya di Jl. Matraman Raya 40 Jakarta.

Surat kaleng

Kerepotan versi lain bisa juga dilihat ketika Indonesia mengadakan pemilu 2 Mei 1977.

Keharusan untuk menyelenggarakan pemilu di luar negeri seperti termaktub di dalam ketetapan MPR maupun undang-undang, membuat "pesta demokrasi" kali ini memiliki dimensi yang lebih bervariasi.

Salah satu tindakan pertama yang harus diambil Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) adalah meminta izin kepada negara-negara di mana pemilu RI akan diadakan. Ini harus, karena sebagai warga dunia kita mesti mengikuti Konvensi Wina 1963.

Hampir semua negara memberikan persetujuan resmi. Swiss yang menganut prinsip netralitas kurang sreg dengan kegiatan politik negara tertentu di kawasannya.

Jerman Barat pun waktu itu agak segan memberikan izin. Akhirnya mereka tidak berkeberatan, asalkan kegiatan pemilu tidak diadakan secara mencolok.

Karena faktor kepraktisan, pada umumnya pendaftaran colon pemilih dilakukan per pos. Hanya saja melacak tempat tinggal para WNI di luar negeri bukan pekerjaan gampang.

Banyak WNI yang tidak melapor bila mereka pindah alamat, terutama mahasiswa. Tak heran cukup banyak formulir yang dikirim balik ke panitia.

Karena kesulitan-kesulitan lain yang khas, masa pendaftaran yang mestinya ditutup pada 19 Juli 1976, diperpanjang sampai 15 September 1976. Ada 42.971 calon pemilih yang disahkan. Ini cuma 60% dari seluruh jumlah warga yang berhak memilih. Gejala yang menarik ini, setelah ditelusuri ternyata bersumber dari pelbagai sebab.

Ada yang diperkirakan terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak mengacuhkan masalah pemilu lagi, seperti banyak WNI di Singapura dan Hong Kong.

Ada yang sedang dalam proses mendapatkan kewarganegaraan baru, sehingga kalau ikut pemilu Indonesia mereka khawatir proses menjadi warga negara lain itu terhambat. Ini banyak terjadi di Malaysia, Suriname dan Belanda.

Ada yang tidak cuma ogah ikut, tapi menentang pemilu kita karena perbedaan pandangan politik. Ini banyak terjadi di beberapa negara Eropa Barat. Di Jerman Barat sampai terbit surat kabar stensilan yang mengkritik pemilu Indonesia.

Sedangkan di Swedia, walaupun tak banyak warga Indonesia di sana, ada seorang WNI yang sampai menulis surat kaleng kepada rekan-rekannya agar tidak mencoblos. Yang bersikap paling kritis adalah warga kita di Negeri Belanda, Jerman Barat dan Belgia.

Maklumlah banyak di antara mereka yang mahasiswa. Mau tak mau mereka mendapat pengaruh juga dari cara berpikir yang lebih ke arah liberal.

Karena kondisi kependudukan WNI di masing-masing negara, persoalan yang muncul juga bersifat khas. Misalnya di Filipina. Waktu itu hanya 20% WNI yang tinggal di Mindanao/Sulu yang berstatus pendatang legal.

Untunglah tanggapan pemerintah Filipina terhadap pemilu kita sangat positif.

Di PPS Kota Kinabalu tercatat 15.335 orang calon pemilih. Untuk memperoleh angka ini, petugas pendaftaran harus mendatangi pusat-pusat perkebunan karena banyak WNI yang bekerja di sana.

Pendaftaran yang juga dilakukan lewat pos ini sangat sulit, karena tenaga pendaftar kurang, daerah yang harus didatangi sangat luas, tempat tinggal menyebar, pendidikan WNI amat rendah, banyak yang masih buta huruf, dan perhubungan masih sulit.

PPS ini mencakup Sabah dan Sarawak. Padahal di Konjen Kinabalu ada terdaftar ±40.000 WNI yang legal bekerja di sana.

Perlu sukarelawan

Di Jeddah dan Yaman Selatan, sulit diperoleh daftar WNI yang pasti. Kesulitan pos dan jauhnya jarak antarkota di mana para WNI berada semakin mempersulit pendaftaran.

Untung ada sukarelawan-sukarelawan yang mau menjadi penghubung. Kesulitan muncul di Madinah, karena paspor para mahasiswa ditahan oleh kepala sekolah atau imigrasi untuk ditukar dengan izin tinggal.

Padahal syarat calon pemilih adalah paspor. Tapi masalah ini bisa terselesaikan juga.

Suriname kasusnya agak lain. Kalau di negara-negara lain, persiapan pemilu diusahakan tidak mencolok, di negeri kecil ini pemilu, untuk WNI mendapat publikasi serius: diumumkan secara terus-menerus di radio.

Seperti di Jeddah dan Yaman Selatan, di sini juga ada penghubung-penghubung sukarela. Uniknya, yang menjadi penghubung adalah keturunan Indonesia yang sudah menjadi warga negara Suriname.

WNI yang berada di Suriname pada umumnya berasal dari Jawa Tengah. Walaupun mereka berada di sana sejak berusia sekitar 18 tahun, bahasa maupun kebudayaan mereka tetap bertahan.

Di negeri ini, pendaftaran lewat pos ditiadakan karena pelayanan pos masih jelek. Masalah lain, banyak dari paspor mereka sudah kedaluwarsa, banyak yang pindah alamat tanpa memberi tahu dan ada yang masih buta huruf.

Berbeda dengan WNI di Negeri Belanda. Banyak dari mereka sudah tidak mengerti bahasa Indonesia lagi, sampai harus dibantu ketika mengisi formulir. Ditambah dengan faktor pengaruh gerakan RMS, dari 15 ribu orang yang sebenarnya mempunyai hak pilih, yang mendaftar hanya 2.753 orang.

Anggaran untuk PPLN jelas cukup besar: Rp230 juta. Ternyata biaya riilnya Rp200 juta lebih.

Dari 56 perwakilan RI di seluruh dunia, hanya di Seoul dan Ankara perbandingan antara jumlah pencoblos dan pemilih yang disahkan mencapai angka 100 persen. Tidak berarti semuanya kurang dari itu.

Baghdad misalnya, malah mencapai hampir 103% (berarti ada pencoblos tambahan). Entah kenapa, persentase terendah justru Lagos (cuma 52.45%), yang jumlah WNI-nya tak seberapa.

Kota-kota di Eropa Barat, di mana terdapat WNI yang kritis terhadap pemerintah Indonesia, angka persentasenya berkisar antara 70% - 80%. Den Haag malah mencapai 86,45%

Setelah "pesta" berakhir panitia pusat bukannya tidak berterima kasih. Ada empat perwakilan, Kota Kinabalu, Hong Kong, Davao, dan London yang yang diberi piala penghargaan.

Mereka dianggap sukses baik secara organisasi maupun keterampilan dalam mengatasi tantangan fisik dan politik tempat mereka bertugas. Penghargaan begini mungkin amat tepat, karena tidak seperti petugas-petugas PPS di dalam negeri, para petugas PPS dan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di luar negeri waktu itu tidak dibayar.

Artikel Terkait