Nama Bani Umayyah Berasal dari Nama Nenek Moyangnya yang Bernama Umayyah bin Abdu Syam, Ini Silsilahnya

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Perang Shiffin, sebagai salah satu fase awal berdirinya Khalifah Bani Umayyah. Nama Bani Umayyah berasal dari nama nenek moyangnya yang bernama Umayyah bin Abdu Syah (Wikipedia Commons)

Intisari-Online.com -Terlepas dari segala kontroversinya, Bani Umayyah merupakah salah satu kekhalifahan terbesar dalam sejarah Islam. Nama Bani Umayyah berasal dari nama nenek moyangnya yang bernama Umayyah bin Abdu Syah.

Siapa dia? Dan bagaimana silsilah keturunannya?

Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan yang dikenal sebagai Muawiyah I. Dia sebelumnya ada Gubernur Syam pada masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Perang Shiffin kemudian mengubah semuanya.

Kekhalifahan ini berdiri pada661, dengan pemerintahan pusat berada di Damaskus, Suriah, dan berjalan hingga 90 tahun lamanya. Kekuasaan Bani Umayyah di Suriah berakhir setelah diruntuhkan oleh Bani Abbasiyah, keturunan paman Nabi Muhammad.

Lantas, bagaimana asal-usul Bani Umayyah?

Asal-usul Bani Umayyah

Nama Bani Umayyah berasal dari nama nenek moyangnya yang bernama Umayyah bin Abdu Syams. Umayyah bin Abdu Syams adalah kakek buyut dari Muawiyah bin Abu Sufyan dan Utsman bin Affan.

Baik Umayyah bin Abdu Syams maupun ayahnya, merupakan panglima perang orang-orang Mekkah, pada zaman sebelum masuknya Islam. Pada masa itu, panglima perang tidak hanya menjadi pemegang komando di lapangan, tetapi juga mengurusi masalah politik.

Umayyah bin Abdu Syams lahir di Mekkah sekitar tahun 515. Perselisihan dengan sepupunya, Hashim bin Abd-Manaf (kakek buyut Nabi Muhammad), membuat Umayyah bin Abdu Syam diasingkan oleh orang-orang Mekkah ke Bilad al-Sham di Suriah.

Di sanalah, Umayyah bin Abdu Syam beserta keturunannya kemudian tinggal.

Umayyah bin Abdu Syam mempunyai dua putra, yang diberi nama Abu al-As bin Umayyah dan Harb bin Umayyah. Abu al-As bin Umayyah adalah kakek dari Utsman bin Affan, sedangkan Harb bin Umayyah merupakan kakek dari Muawiyah bin Abu Sufyan, yang mendirikan Bani Umayyah.

Ketika Muawiyah mendirikan kekhalifahan, dia memilih nama Bani Umayyah, yang diambil dari nama kakek buyutnya, Umayyah bin Abdu Syam.

Seperti disebut di awal, sejarah berdirinya Bani Umayyah tak bisa dilepaskan dari peristiwa Perang Shiffin yang dilatari oleh kematian atau dibunuhnya Khalifah Ustman bin Affan yang terjadi pada 655. Utsman, yang dikenal sebagai salah satu sahabat Nabi Muhammad, menjadi khalifah tahun 644 hingga akhir hidupnya.

Siapa yang membunuhUtsman bin Affan terus diperdebatkan, bahkan memicu perang saudara. Muawiyah, yang ingin pembunuh sepupunya ditemukan lebih dulu, tidak terima ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah berikutnya oleh penduduk Madinah.

Perselisihan itu terus berlanjut hingga meletus Perang Jamal atau Perang Unta pada 656, yang sekaligus menandai dimulainya Perang Saudara Islam I. Perang Jamal kemudian diikuti dengan Perang Shiffin, perang antara Ali dan Muawiyah.

Perang Saudara Islam I berakhir ketika Khalifah Ali terbunuh oleh golongan Khawarij. Setelah itu, Hasan bin Ali sebagai putra tertua Ali dibaiat oleh orang-orang Madinah menjadi khalifah selanjutnya. Hasan bin Ali tidak memerintah dalam waktu lama.

Hanya sekitar tiga bulan setelah dibaiat, ia memilih menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah I. Penyerahan itu dilakukan Hasan dengan tujuan menghindari perang berkepanjangan antarumat Islam.

Setelah penyerahan kekuasaan, umat Islam berada dalam satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Muawiyah I. Muawiyah I secara resmi mendirikan Bani Umayyah pada tahun 661, dengan ibu kota di Damaskus.

Perang Jamal

Proses peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin ke Bani ke Bani Ummayah ditandai dengan berbagai pertempuran yang dikenal sebagai Perang Saudara Islam I. Peran pertama adalah Perang Jamal, perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib (khulafaur rasyidin keempat/terakhir) dengan pasukan Aisyah istri Nabi Muhammad.

Dinamai Perang Jamal (secara harafiah berarti Perang Unta) karena saat berperang Aisyah menunggangi unta.

Perang Jamal terjadi pada tahun 656 di Basra, sekarang Irak. Pertempuran ini merupakan perang pertama yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan menjadi bagian dari Perang Saudara Islam I.

Perang Jamal terjadi karena perbedaan pendapat terkait penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Selain itu, perang ini juga disebabkan oleh fitnah terselubung yang dilancarkan oleh para provokator.

Pada 656, muncul ketidakpuasan atas kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan yang diduga penuh nepotisme dan korupsi. Alhasil, timbul pemberontakan yang mengakibatkan Khalifah Utsman terbunuh di rumahnya.

Ali bin Abi Thalib menganggap pemberontakan sebagai reaksi wajar dari rakyat yang merasa ditipu oleh pemimpinnya, tetapi di sisi lain juga mengutuk pembunuhan Utsman.

Sepeninggal sang khalifah, Ali bin Abi Thalib, yang sebelumnya bertindak sebagai penengah antara pemberontak dan Utsman, diangkat menjadi khalifah oleh masyarakat Madinah. Ali awalnya menolak, tetapi akhirnya mau menjadi khalifah setelah menyaksikan kekacauan yang terjadi sepeninggal Utsman.

Pengangkatan ini membuat Aisyah, yang sedang berada di Mekkah, tidak senang. Menurut riwayat, hubungan dua orang terdekat Nabi ini memang telah retak. Aisyah, yang sebelumnya termasuk salah satu orang yang lantang menyuarakan kritik atas kepemimpinan Utsman, menuntut adanya qisas (pembalasan).

Dia beralasan, pengangkatan Ali seharusnya dilakukan dalam suasana damai, ketika pembunuh Utsman telah ditemukan dan diadili. Sedangkan menurut kubu Ali, pemerintahan harus terus berjalan sambil mencari pembunuh Utsman.

Terlebih lagi, situasi masyarakat sedang kacau. Dari sinilah, Aisyah ingin memberontak melawan Ali, yang baru saja diangkat menjadi khalifah. Selain itu, muncul pendapat bahwa sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak segera membalas pembunuhan Utsman diartikan sebagai upaya melindungi pembunuhnya.

Niat Aisyah untuk mengobarkan pemberontakan semakin bulat setelah kedatangan Thalhah dan Zubair ke Mekkah. Thalhah dan Zubair, yang awalnya ikut mendukung Ali, berpindah kubu dan bersekutu dengan Aisyah setelah mengaku dipaksa untuk membaiat Ali.

Aisyah kemudian mengumpulkan kekuatan dengan bersekutu bersama Bani Umayyah dan para pejabat pada masa Khalifah Utsman yang terkena penertiban Khalifah Ali. Salah satu pejabat yang bersekutu dengan Aisyah adalah Yala, mantan gubernur Yaman.

Bahkan, Yaman menyerahkan 600 unta, salah satunya dinamai Al-Askar, yang khusus diberikan untuk ditunggangi Aisyah. Karena itulah, Perang Jamal juga disebut sebagai Perang Unta.

Aisyah bertolak dari Mekkah bersama 1.000 pasukan. Kekuatannya bertambah dalam perjalanan hingga akhirnya mencapai 3.000 pasukan. Setibanya di Basra, rombongan pemberontak yang dipimpin Aisyah mendirikan perkemahan.

Mereka juga mengetahui bahwa mayoritas penduduk Basra adalah pendukung Ali. Setelah sempat terlibat dalam pertempuran kecil, dua kubu tersebut sepakat melakukan gencatan senjata hingga kedatangan Ali.

Namun, pada malam hari, pihak pemberontak melancarkan serangan mendadak hingga berhasil menguasai Basra. Mendengar kabar tersebut, Ali segera meninggalkan Madinah menuju Basra. Setibanya di Basra, Ali bin Abi Thalib memilih jalur diplomasi dan berunding dengan pihak pemberontak.

Akan tetapi, karena kesepakatan gagal dicapai setelah tiga hari berunding, peperangan pun tidak dapat dielakkan.

Perang Jamal berlangsung pada 8 Desember 656 dari siang hingga malam hari. Thalhah terbunuh tidak lama setelah perang dimulai. Sedangkan Zubair, diketahui meninggalkan medan perang sebelum perang usai.

Kepergian Zubair diketahui oleh pemimpin Bani Sa'd, Al-Ahnaf bin Qays, yang segera mengirim anak buahnya untuk memburu dan membunuhnya. Sejarawan berpendapat bahwa Bin Qays melakukan hal itu karena merasa apa yang dilakukan Zubair dengan meninggalkan sesama Muslim di medan perang adalah tindakan tidak terhormat.

Pertempuran berlangsung sengit tetapi singkat, dengan kemenangan berada di pihak Ali bin Abi Thalib.

Dengan kematian Thahlah dan Zubair, nasib peperangan telah diketahui. Tapi Aisyah masih menolak meninggalkan medan perang. Melihat pasukan unta pemberontak semakin banyak yang terbunuh, kubu Ali bahkan memohon kepada Aisyah agar menyerah.

Pertempuran berakhir setelah unta Al-Askar dibunuh dan Aisyah diamankan. Setelah itu, Aisyah diantarkan kembali ke Mekkah dengan aman dan tanpa dilukai. Khalifah Ali juga mengampuni semua pemberontak dan harta benda mereka dikembalikan.

Riwayat menyebutkan bahwa Aisyah menyesali perbuatannya memimpin pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya ribuan umat Muslim dalam pertempuran.

Perang Shiffin

Perang kedua dalam fase Perang Sudara Islam I adalah Perang Shiffin. Ini adalah perang antarapasukanAli bin Abi Thalib dan dan Muawiyah I yang kelak dikenal sebagai pendiri Bani Umayyah.

Perang Shiffin terjadi di desa Shiffin, Suriah. Perang ini masih menjadi rangkaian dari kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan oleh pemberontak Mesir. Perang ini berlangsung selama tiga hari, yakni antara 26-28 Juli 657.

Perang Shiffin diakhiri dengan peristiwa tahkim atau bisa disebut arbitrase, yaitu perundingan untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa dengan bantuan penengah.

Setelah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan pada 656, Ali bin Abi Thalib yang merupakan sepupu dan menantu Nabi Muhammad, diangkat menjadi khalifah yang baru. Namun, pengangkatan Ali sebelum penyelesaian kasus pembunuhan Utsman ditentang oleh beberapa pihak, salah satunya Muawiyah I.

Muawiyah I adalah gubernur Suriah sekaligus sama-sama dengan Utsman berasal dari Bani Umayyah.

Perang Shiffin terjadi karena Muawiyah I menolak membaiat Ali, yang dituding gagal menemukan pembunuh Utsman. Untuk menghindari pertumpahan darah, Khalifah Ali mengirim Jarir sebagai utusannya ke Suriah.

Namun, Jarir melaporkan bahwa Muawiyah hanya akan mengakui Ali sebagai khalifah setelah para pembunuh Utsman tertangkap.

Dalam perang ini pihak Muawiyah I dipimpin oleh Amr bin Al-Ash, sementara yang memimpin Perang Shiffin dari kubu Ali adalah Malik bin Al-Harith. Dari Damaskus, Muawiyah I memboyong 120.000 pasukan. Sedangkan pihak Ali berkekuatan sekitar 90.000 prajurit.

Dua kubu ini bertemu di Shiffin, Suriah, dan akhirnya pecah pertempuran pada 26 Juli 657.

Ali terjun langsung ke medan perang bersama Malik bin Harith untuk memimpin pasukannya. Sedangkan Muawiyah hanya mengawasi dari tempatnya dan membiarkan Amr bin Al-Ash memimpin pertempuran.

Pada awalnya, kubu Muawiyah sempat unggul hingga Amr hampir berhasil membunuh Ali. Namun, pada akhirnya, pasukan Ali mulai bangkit dan keadaan berbalik. Malik bin Harith melakukan serangan besar-besaran yang hampir membuat Muawiyah melarikan diri.

Setelah pertempuran berlangsung selama tiga hari, pihak Muawiyah khawatir akan mengalami kekalahan, sehingga menyarankan untuk melakukan arbitrase. Hanya dalam waktu tiga hari, pihak Muawiyah kehilangan sekitar 45.000 pasukan, dan 25.000 dari kubu Ali.

Perang Shiffin diakhiri dengan peristiwa tahkim, di mana pihak Khulafaur Rasyidin mengirim Abu Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan, sementara Amr mewakili pihak Muawiyah I. Hasilnya, pembunuhan Utsman dinyatakan tidak adil dan Ali menerima semua persyaratan dari Muawiyah untuk mengakhiri perang.

Banyak kalangan dari pihak Ali bin Abi Thalib kecewa dan berselisih setelah peristwa tahkim karena merasa upaya mereka selama ini sia-sia. Akhirnya, muncul kelompok baru yang radikal dan dikenal sebagai Khawarij.

Kelompok ini memusuhi Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah I. Sementara itu, setelah pembunuhan Ali pada 661 oleh pihak Khawarij, Muawiyah I menyatukan kekhalifahan Islam dengan mendirikan Kekhalifahan Bani Umayyah.

Begitulah, namaBani Umayyah berasal dari nama nenek moyangnya yang bernama Umayyah bin Abdu Syah. Semoga bermanfaat.

Artikel Terkait