Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin berbisik lirih di antara dedaunan pohon kelapa yang menjulang tinggi, mengiringi ombak yang memecah di pesisir Sunda Kelapa.
Aroma rempah-rempah yang khas menguar dari kapal-kapal dagang yang berlabuh, menandakan kejayaan kota pelabuhan ini sebagai pusat perdagangan yang ramai.
Namun, di balik hiruk-pikuk perdagangan dan kemegahan kota, bayang-bayang konflik mulai membentang.
Tahun 1527 Masehi, sebuah armada kapal perang dengan gagah berani mengarungi lautan, membawa pasukan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh seorang panglima tangguh bernama Fatahillah.
Kedatangan mereka bukan untuk berdagang, melainkan untuk menaklukkan Sunda Kelapa.
Sejarah mencatat beragam motif di balik penyerangan tersebut, yang terjalin dalam benang kusut intrik politik, ekspansi kekuasaan, dan gejolak agama.
Mari kita telusuri lebih dalam, menyelami kisah di balik kejatuhan Sunda Kelapa dan mengungkap tabir misteri yang menyelimuti tujuan penyerangan Fatahillah.
Ambisi Ekspansi Kekuasaan Kesultanan Demak
Demak, sebuah kerajaan Islam yang sedang naik daun di Jawa Tengah, memiliki ambisi besar untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Sunda Kelapa, dengan letaknya yang strategis dan perannya sebagai pusat perdagangan penting, menjadi incaran empuk bagi Demak.
"Fatahillah, sebagai panglima perang Demak, diutus untuk menaklukkan Sunda Kelapa dan menguasai jalur perdagangan di wilayah tersebut," tulis Nina Herlina Lubis dalam bukunya "Sejarah Tatar Sunda, Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran, 1998."
Penguasaan Sunda Kelapa akan memberikan Demak kendali atas arus perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan, memperkuat posisi ekonomi dan politik kerajaan, serta memperluas pengaruh Islam di wilayah barat Jawa.
Kekhawatiran akan Pengaruh Portugis
Pada awal abad ke-16, Portugis, sebuah kekuatan maritim dari Eropa, mulai menancapkan kukunya di Asia Tenggara.
Mereka menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda, yang menguasai Sunda Kelapa, untuk mengamankan akses perdagangan rempah-rempah.
"Kerjasama Sunda-Portugis ini menimbulkan kekhawatiran bagi Demak," jelas Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya "Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, Jakarta: Balai Pustaka, 1983."
Demak khawatir Portugis akan memanfaatkan Sunda Kelapa sebagai basis kekuatan untuk menguasai jalur perdagangan dan mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa dapat diinterpretasikan sebagai upaya Demak untuk mencegah ekspansi Portugis dan melindungi kepentingan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Gejolak Agama dan Konflik Internal
Selain faktor politik dan ekonomi, terdapat pula dimensi agama dalam penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa.
Demak, sebagai kerajaan Islam, memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara. Sunda Kelapa, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu, menjadi target dakwah dan ekspansi Islam.
"Perbedaan agama antara Demak dan Sunda turut memicu konflik dan menjadi salah satu faktor pendorong penyerangan Fatahillah," ungkap Slamet Muljana dalam bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, 2005.
Di samping itu, terdapat pula faktor internal di Kerajaan Sunda yang turut berperan dalam kejatuhan Sunda Kelapa.
Konflik internal dan perebutan kekuasaan di antara para elit kerajaan melemahkan pertahanan Sunda dan membuka celah bagi Demak untuk melakukan penyerangan.
Kemenangan Fatahillah dan Lahirnya Jayakarta
Setelah pertempuran sengit yang berlangsung selama beberapa hari, Fatahillah dan pasukannya berhasil menaklukkan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527 Masehi.
Kota pelabuhan yang megah itu jatuh ke tangan Kesultanan Demak, menandai babak baru dalam sejarah Nusantara. Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti "kota kemenangan".
"Kemenangan Fatahillah di Sunda Kelapa merupakan tonggak penting dalam penyebaran Islam di Jawa Barat dan memperkuat posisi Demak sebagai kekuatan dominan di Nusantara," tulis Hasan Mu'arif Ambary dalam bukunya "Fatahillah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990."
Jayakarta kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam yang penting di wilayah barat Jawa.
Kota ini menjadi cikal bakal kota Jakarta, ibu kota Indonesia yang kita kenal sekarang.
Refleksi atas Penyerangan Fatahillah
Penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang sarat akan makna dan pelajaran berharga.
Di balik keberhasilan Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa, terdapat beragam faktor yang kompleks dan saling terkait, mulai dari ambisi ekspansi kekuasaan, kekhawatiran akan pengaruh asing, hingga gejolak agama dan konflik internal.
Peristiwa ini mengajarkan kita tentang dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Penyerangan Fatahillah juga mengingatkan kita akan pentingnya persatuan, kestabilan politik, dan kewaspadaan terhadap ancaman dari luar.
Meskipun telah berlalu berabad-abad lamanya, kisah penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa tetap relevan untuk direnungkan dan dipelajari.
Dari kisah ini, kita dapat memetik hikmah dan inspirasi untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih maju, adil, dan berdaulat.
Sumber:
Ambary, Hasan Mu'arif. (1990). Fatahillah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djajadiningrat, Hoesein. (1983). Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Balai Pustaka.
Lubis, Nina Herlina. (1998). Sejarah Tatar Sunda. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
Muljana, Slamet. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---