Pelaksanaan Budaya Demokrasi Pancasila pada Masa Orde Baru Mengalami Penyimpangan?

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Penyimpangan yang pernah dilakukan pemerintah Orde Baru dari segi ketatanegaraan.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin senja berbisik lirih, membawa aroma nostalgia masa lalu yang getir. Di bawah langit jingga yang sendu, memori tentang Orde Baru kembali menghantui, bagai bayang-bayang yang tak kunjung sirna.

Tiga dekade lamanya, Indonesia terlena dalam buaian janji manis stabilitas dan pembangunan, namun di balik gemerlapnya façade modernitas, tersembunyi luka demokrasi yang menganga.

Pancasila, falsafah luhur yang digadang-gadang sebagai landasan ideal, justru terdistorsi, menjadi alat legitimasi bagi rezim yang otoriter.

Pertanyaan pun mengemuka, mengapa pelaksanaan budaya demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru mengalami penyimpangan?

Mari kita telusuri lorong sejarah, menyingkap tabir misteri yang menyelimuti masa kelam tersebut.

Mimpi Buruk Demokrasi Terpimpin

Sebelum Orde Baru lahir, Indonesia telah lebih dulu melewati masa-masa penuh gejolak di bawah kepemimpinan Soekarno.

Demokrasi Terpimpin, sebuah konsep yang mulanya digagas dengan niat luhur untuk menyatukan bangsa, justru berujung pada pemusatan kekuasaan di tangan presiden.

Partai-partai politik dibungkam, suara rakyat diabaikan, dan kebebasan berpendapat dikekang.

Kegagalan Demokrasi Terpimpin menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Ketika Orde Baru naik ke panggung kekuasaan, harapan akan demokrasi yang lebih baik pun bersemi.

Soeharto, sang jenderal kharismatik, berjanji untuk mengembalikan Pancasila ke tempatnya yang semestinya, sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

Namun, janji tinggallah janji. Seiring berjalannya waktu, Orde Baru justru menapaki jejak pendahulunya, bahkan dengan langkah yang lebih sistematis.

Demokrasi Pancasila yang dielu-elukan ternyata hanyalah topeng untuk menutupi wajah asli rezim yang represif.

Pancasila sebagai Alat Legitimasi

Orde Baru dengan cerdik memanfaatkan Pancasila sebagai tameng untuk melanggengkan kekuasaannya.

Pancasila diinterpretasikan secara sempit dan dogmatis, disesuaikan dengan kepentingan penguasa.

Kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai anti-Pancasila, dan lawan politik dicap sebagai pengkhianat bangsa.

Melalui indoktrinasi yang masif, Orde Baru berhasil menanamkan pemahaman tunggal tentang Pancasila kepada masyarakat.

Buku-buku pelajaran, media massa, dan berbagai forum publik dipenuhi dengan propaganda yang mengagung-agungkan rezim dan mencitrakan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan.

Di sisi lain, Orde Baru juga memberangus segala bentuk perbedaan pendapat.

Organisasi-organisasi masyarakat dan partai politik dikontrol ketat, pers dibredel, dan para aktivis pro-demokrasi dibungkam dengan berbagai cara, mulai dari intimidasi hingga penculikan.

Dwifungsi ABRI: Belenggu Demokrasi

Salah satu faktor utama yang menyebabkan penyimpangan demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru adalah peran ganda ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Dwifungsi ABRI, sebuah doktrin yang menempatkan militer sebagai kekuatan sosial politik, memberikan legitimasi bagi intervensi ABRI dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

ABRI tidak hanya bertugas menjaga keamanan dan kedaulatan negara, tetapi juga aktif di pemerintahan, parlemen, bahkan di perusahaan-perusahaan negara.

Keberadaan ABRI di ranah sipil ini menciptakan iklim ketakutan dan membatasi ruang gerak bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik.

Pemilu yang Direkayasa

Pemilihan umum, yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, justru menjadi ajang sandiwara politik di bawah Orde Baru.

Partai politik dipaksa untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal, sehingga menghilangkan keberagaman ideologi.

Golkar, partai penguasa, selalu memenangkan pemilu dengan suara mayoritas mutlak, berkat manipulasi dan intimidasi yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Rakyat dipaksa untuk memilih Golkar, dengan ancaman kehilangan pekerjaan atau mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Pemilu pun kehilangan makna substansialnya, hanya menjadi ritual formalitas untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

KKN: Budaya di Pemerintahan

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan Orde Baru.

Soeharto dan kroni-kroninya memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga, mengabaikan nasib rakyat kecil yang semakin terpinggirkan.

KKN tidak hanya merugikan negara secara material, tetapi juga menghancurkan moral bangsa.

Ketidakadilan dan kesenjangan sosial semakin melebar, menciptakan frustrasi dan amarah di kalangan masyarakat.

Reformasi: Titik Balik Sejarah

Setelah tiga dekade berkuasa, rezim Orde Baru akhirnya runtuh pada tahun 1998.

Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara menjadi pemicu utama, namun di balik itu, terdapat akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan yang otoriter dan korup.

Gerakan reformasi yang digerakkan oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat berhasil memaksa Soeharto untuk mundur dari jabatannya.

Era baru pun dimulai, dengan semangat untuk membangun Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan sejahtera.

Masa Orde Baru menjadi catatan kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Penyimpangan pelaksanaan budaya demokrasi Pancasila telah meninggalkan luka mendalam, yang hingga kini masih terasa dampaknya.

Namun, dari masa lalu yang pahit, kita belajar untuk menghargai arti penting demokrasi dan kebebasan.

Reformasi telah membuka jalan bagi Indonesia untuk mewujudkan cita-cita luhur Pancasila, membangun masyarakat yang berdaulat, adil, dan makmur.

Semoga di masa depan, Indonesia tidak akan pernah lagi terjerumus dalam kubangan otoritarianisme.

Pancasila harus menjadi kompas yang membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik, di mana setiap warga negara dapat menikmati hak-haknya secara penuh dan berpartisipasi dalam membangun bangsa.

Sumber:

Crouch, Harold. (2007). The Army and Politics in Indonesia. Equinox Publishing.

Elson, R. E. (2001). Suharto: A Political Biography. Cambridge University Press.

Hefner, Robert W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.

Liddle, R. William. (1996). Leadership and Culture in Indonesian Politics. Allen & Unwin.

Schwarz, Adam. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press.

Tapol. (1999). The Indonesian Human Rights Record Under Suharto. Tapol.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait