Bagaimana Penyimpangan Demokrasi Pada Masa Orde Lama?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Jelajahi alasan mengapa pada masa Orde Lama Indonesia membentuk Poros Indonesia-Peking dalam artikel berikut ini.
Jelajahi alasan mengapa pada masa Orde Lama Indonesia membentuk Poros Indonesia-Peking dalam artikel berikut ini.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Indonesia, negeri yang baru saja merengkuh kemerdekaannya, berlayar dalam samudra demokrasi dengan penuh semangat.

Namun, seperti ombak yang tak terduga, masa Orde Lama membawa badai penyimpangan yang mengguncang fondasi demokrasi yang rapuh.

Di balik gemerlap retorika revolusioner, tersembunyi bayang-bayang otoritarianisme yang perlahan menyelimuti negeri. Mari kita telusuri perjalanan berliku ini, melihat bagaimana demokrasi yang seharusnya menjadi obor penerang, justru meredup di bawah tekanan kekuasaan.

Demokrasi Parlementer yang GoyahPada awalnya, Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer, sebuah percobaan untuk membangun pemerintahan yang responsif terhadap rakyat.

Namun, seperti kapal yang terombang-ambing di tengah laut, demokrasi parlementer ini menghadapi badai ketidakstabilan politik.

Pergantian kabinet yang terlalu sering, perpecahan partai politik, dan konflik kepentingan yang tak terselesaikan, menciptakan pusaran ketidakpastian yang mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri.Demokrasi Terpimpin: Janji Manis yang Berubah PahitDi tengah ketidakstabilan politik, Presiden Soekarno menawarkan solusi yang tampak menjanjikan: Demokrasi Terpimpin.

Dengan kharisma yang tak terbantahkan, beliau mengusung gagasan bahwa demokrasi harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat dan visioner.

Namun, seperti madu yang memikat namun mengandung racun, Demokrasi Terpimpin justru membuka pintu bagi pemusatan kekuasaan yang tak terkendali.Pembubaran DPR dan Lahirnya Kekuasaan TunggalSalah satu tonggak penting dalam penyimpangan demokrasi pada masa Orde Lama adalah pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1955.

Dengan dalih bahwa DPR tidak mampu menjalankan fungsinya dengan efektif, Presiden Soekarno mengambil langkah kontroversial ini.

Seperti mencabut nyawa dari tubuh demokrasi, pembubaran DPR menciptakan ruang hampa kekuasaan yang diisi oleh Presiden Soekarno sendiri.

Beliau menjadi pusat gravitasi politik, mengendalikan segala aspek pemerintahan tanpa pengawasan yang memadai.

Pancasila Sebagai Landasan Negara

Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, seharusnya menjadi landasan bagi pembangunan demokrasi yang kokoh. Namun, pada masa Orde Lama, Pancasila justru menjadi alat politik yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan Presiden Soekarno.

Interpretasi Pancasila yang tunggal dan eksklusif, menciptakan ruang bagi penindasan terhadap perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi.

Seperti sebuah lukisan indah yang dirusak oleh goresan-goresan kasar, Pancasila kehilangan makna aslinya dan menjadi simbol kekuasaan yang represif.Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, Presiden Soekarno merangkul konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) sebagai landasan politiknya. Seperti mencoba menyatukan air dan minyak, Nasakom justru menciptakan polarisasi yang semakin tajam di masyarakat.

Ketegangan antara kelompok nasionalis, agama, dan komunis semakin meningkat, mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Konflik horizontal yang terjadi, seperti peristiwa G30S/PKI, menjadi bukti nyata bahwa Nasakom adalah eksperimen politik yang gagal.Penyimpangan demokrasi pada masa Orde Lama adalah sebuah kisah kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, seperti sebuah luka yang meninggalkan bekas, pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bagi generasi mendatang.

Demokrasi bukanlah sebuah hadiah yang jatuh dari langit, melainkan sebuah perjuangan yang harus terus dijaga dan dipertahankan. Kita harus belajar dari kesalahan masa lalu, agar demokrasi yang kita bangun hari ini tidak terjerumus ke dalam jurang otoritarianisme.Meskipun masa Orde Lama meninggalkan luka yang mendalam, Indonesia telah bangkit dan belajar dari pengalaman pahit tersebut.

Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, membuka pintu bagi kebebasan berpendapat, partisipasi politik yang lebih luas, dan pengawasan terhadap kekuasaan.

Seperti bunga yang mekar setelah musim dingin yang panjang, demokrasi Indonesia kembali bersemi, membawa harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Kita harus terus merawat dan menjaga demokrasi ini, agar generasi mendatang dapat menikmati buah manis dari perjuangan panjang bangsa Indonesia.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait