Mengapa Pancasila Menjadi Prasyarat Ideologi Terbuka?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Sebagai ideologi nasional bangsa indonesia Pancasila berperan sebagai acuan bersama dalam memecahkan serta pertentangan politik antara golongan dan kekuatan politik yang ada.
Sebagai ideologi nasional bangsa indonesia Pancasila berperan sebagai acuan bersama dalam memecahkan serta pertentangan politik antara golongan dan kekuatan politik yang ada.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Dalam gemerlap peradaban manusia yang terus bermetamorfosis, di tengah gemuruh arus perubahan yang tak kenal henti, terdapat sebuah bangsa yang teguh berdiri di atas fondasi nilai-nilai luhur.

Indonesia, negeri kepulauan yang membentang luas, menemukan jati dirinya dalam Pancasila, sebuah ideologi yang bukan hanya sekadar prinsip abstrak, melainkan nyawa yang mengalir dalam nadi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila, dengan lima sila yang terukir indah, menjelma menjadi sebuah simfoni kehidupan yang merangkul segala perbedaan, merajut persatuan dalam keberagaman, dan menuntun langkah bangsa menuju cita-cita luhur.

Namun, di balik keindahannya yang abadi, terdapat sebuah pertanyaan mendasar: mengapa Pancasila menjadi prasyarat bagi sebuah ideologi terbuka?

Pancasila: Sebuah Refleksi Realitas

“Ideologi adalah cerminan realitas suatu bangsa.”

Pancasila lahir dari rahim perjuangan bangsa Indonesia, dari denyut nadi rakyat yang merindukan kemerdekaan dan keadilan.

Ia bukanlah sebuah konsep utopis yang diimpor dari negeri asing, melainkan sebuah refleksi mendalam atas realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Keberagaman suku, agama, ras, dan budaya yang menghiasi Nusantara menjadi landasan bagi lahirnya Pancasila. Ia mengakui dan menghargai setiap perbedaan, menjadikannya kekuatan untuk membangun bangsa yang bersatu.

Dalam sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tersirat pengakuan atas hak setiap individu untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing, sebuah prinsip yang menjadi landasan bagi toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti persamaan derajat, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan semangat gotong royong. Ia menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab, di mana setiap individu merasa dihargai dan dilindungi.

Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” menjadi perekat bagi keberagaman bangsa. Ia mengingatkan bahwa meskipun berbeda-beda, kita tetaplah satu, Indonesia. Semangat persatuan ini menjadi benteng kokoh dalam menghadapi segala tantangan dan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” mencerminkan semangat demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Ia mengakui kedaulatan rakyat sebagai sumber kekuasaan tertinggi, sekaligus menekankan pentingnya musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menjadi tujuan akhir dari perjalanan bangsa. Ia menggambarkan cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesejahteraan.

Pancasila: Sebuah Visi Ideal

“Ideologi bukan hanya cerminan realitas, tetapi juga visi ideal suatu bangsa.”

Pancasila tidak hanya berhenti pada refleksi realitas, tetapi juga menawarkan sebuah visi ideal bagi masa depan bangsa Indonesia. Ia menjadi bintang penuntun yang menerangi jalan menuju cita-cita luhur, sebuah masyarakat yang adil, makmur, dan beradab.

Dalam sila pertama, tersirat harapan akan kehidupan beragama yang harmonis, di mana setiap individu dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa rasa takut atau terancam.

Sila kedua mengajarkan tentang pentingnya membangun masyarakat yang manusiawi, di mana setiap individu diperlakukan dengan adil dan bermartabat.

Sila ketiga mengajak bangsa Indonesia untuk terus memperkuat persatuan dan kesatuan, menyadari bahwa keberagaman adalah anugerah yang harus dijaga dan dirawat.

Sila keempat mengajarkan tentang pentingnya berdemokrasi dengan bijaksana, mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Sila kelima menjadi pengingat bahwa keadilan sosial adalah tujuan akhir dari pembangunan bangsa.

Ia mendorong pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk bekerja sama menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesejahteraan.

Pancasila: Sebuah Fleksibilitas Dinamis

“Ideologi harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.”

Pancasila bukanlah sebuah dogma yang kaku dan tertutup, melainkan sebuah ideologi yang dinamis dan terbuka. Ia mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta merespons aspirasi masyarakat yang terus berkembang.

Dalam sila pertama, tersirat pengakuan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebuah prinsip yang relevan di era globalisasi di mana interaksi antarbudaya semakin intensif.

Sila kedua mengajarkan tentang pentingnya menjunjung tinggi hak asasi manusia, sebuah nilai universal yang semakin mendapat perhatian di dunia modern.

Sila ketiga mengingatkan bangsa Indonesia untuk terus memperkuat persatuan dan kesatuan, terutama di era digital di mana informasi dan pengaruh asing dapat dengan mudah masuk dan mempengaruhi masyarakat.

Sila keempat mengajarkan tentang pentingnya berdemokrasi dengan bijaksana, menggunakan teknologi untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.

Sila kelima menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial di era digital, di mana kesenjangan ekonomi dan sosial dapat semakin melebar jika tidak dikelola dengan baik.

Pancasila: Sebuah Harmoni dalam Kehidupan

“Ideologi harus mampu menciptakan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Pancasila bukan hanya sekadar prinsip abstrak, melainkan sebuah panduan hidup yang mampu menciptakan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia mengajarkan nilai-nilai luhur yang menjadi landasan bagi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan beradab.

Dalam sila pertama, tersirat ajaran untuk menghormati perbedaan agama dan kepercayaan, menciptakan kehidupan beragama yang harmonis. Sila kedua mengajarkan untuk memperlakukan sesama manusia dengan adil dan bermartabat, membangun masyarakat yang manusiawi.

Sila ketiga mengajak untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, menyadari bahwa keberagaman adalah anugerah yang harus dijaga dan dirawat. Sila keempat mengajarkan untuk berdemokrasi dengan bijaksana, mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Sila kelima menjadi pengingat bahwa keadilan sosial adalah tujuan akhir dari pembangunan bangsa. Ia mendorong pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk bekerja sama menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesejahteraan.

Pancasila menjadi prasyarat bagi sebuah ideologi terbuka karena ia merupakan refleksi realitas, visi ideal, fleksibilitas dinamis, dan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia mampu merangkul segala perbedaan, merajut persatuan dalam keberagaman, dan menuntun langkah bangsa menuju cita-cita luhur.

Dalam Pancasila, kita menemukan sebuah simfoni kehidupan yang indah, sebuah harmoni yang tercipta dari keberagaman.

Ia adalah nyawa yang mengalir dalam nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebuah fondasi kokoh yang menopang tegaknya Indonesia.

Sumber:

Buku “Pancasila sebagai Dasar Negara” oleh Drs. H. Kaelan, M.S.

Jurnal “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka” oleh Prof. Dr. H. Notonegoro, S.H.

Artikel “Relevansi Pancasila di Era Globalisasi” oleh Dr. Yudi Latif, M.A.

Situs resmi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait