Find Us On Social Media :

Mengapa Perang Padri Diawali dengan Perpecahan di Kalangan Rakyat Indonesia Sendiri?

By Afif Khoirul M, Jumat, 18 Oktober 2024 | 10:20 WIB

Ilustrasi Perang Padri yang berlangsung sejak 1803-1838. Sebelum munculnya organisasi pergerakan, perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah sering mengalami kegagalan. Ini 3 penyebab kegagalan tersebut.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin berbisik lirih di antara rimbunnya pepohonan di lereng Gunung Marapi, membelai lembut dedaunan yang menari-nari mengikuti irama alam.

Di bawah naungan langit biru yang cerah, tanah Minangkabau terhampar luas, bak permadani zamrud yang ditenun dengan benang-benang emas tradisi dan budaya.

Namun, di balik keindahan alam yang memesona, tersimpan gejolak pergolakan yang menggoreskan luka mendalam dalam sejarah Nusantara.

Perang Padri, sebuah konflik berdarah yang mengguncang sendi-sendi kehidupan masyarakat Minangkabau, menyisakan pertanyaan yang menggantung di benak setiap insan: Mengapa perang saudara ini bermula dari perpecahan di antara rakyat Indonesia sendiri?

Kisah ini bermula pada awal abad ke-19, tatkala tiga orang haji, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang, kembali dari tanah suci Mekkah dengan hati yang dipenuhi semangat pembaruan.

Mereka menyaksikan betapa indahnya Islam yang dipraktikkan di tanah Arab, jauh berbeda dengan kondisi di kampung halaman mereka.

Di Minangkabau, ajaran Islam telah bercampur baur dengan adat istiadat lama, menciptakan sinkretisme yang menurut mereka menyimpang dari syariat.

Para haji ini, yang kemudian dikenal sebagai kaum Padri, menyerukan pemurnian ajaran Islam di Minangkabau.

Mereka mengkritik keras praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan syariat, seperti judi, sabung ayam, minum minuman keras, serta kebiasaan merantau yang meninggalkan istri dan anak-anak.

Seruan mereka disambut baik oleh sebagian masyarakat, terutama kalangan ulama dan kaum muda yang mendambakan kehidupan yang lebih Islami. Namun, di sisi lain, terdapat pula kelompok yang menolak seruan pembaruan ini, yaitu kaum Adat.

Kaum Adat, yang terdiri dari para pemimpin tradisional, bangsawan, dan sebagian besar masyarakat Minangkabau, berpegang teguh pada adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Bagi mereka, adat adalah jati diri dan identitas yang tak terpisahkan dari kehidupan. Mereka menolak tuduhan kaum Padri bahwa adat istiadat mereka bertentangan dengan Islam.

Menurut mereka, adat dan agama dapat berjalan beriringan, saling melengkapi dan memperkaya.

Perbedaan pandangan antara kaum Padri dan kaum Adat semakin meruncing, menciptakan jurang pemisah yang dalam di tengah masyarakat Minangkabau.

Upaya dialog dan musyawarah untuk mencari titik temu menemui jalan buntu. Masing-masing pihak bersikukuh pada pendiriannya, meyakini bahwa kebenaran berada di pihak mereka.

Pada tahun 1803, api konflik akhirnya berkobar. Kaum Padri, yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman, melancarkan serangan terhadap kaum Adat di daerah Bonjol.

Pertempuran ini menandai dimulainya Perang Padri, sebuah perang saudara yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade dan menelan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya.

Akar Perpecahan: Benturan Antara Pembaruan dan Tradisi

Perpecahan di kalangan rakyat Indonesia sendiri yang menjadi pemicu Perang Padri merupakan cerminan dari benturan antara dua kekuatan besar yang mewarnai perjalanan bangsa ini: semangat pembaruan dan kekuatan tradisi.

Kaum Padri, dengan semangat pembaruannya, ingin membawa masyarakat Minangkabau menuju kehidupan yang lebih Islami, sesuai dengan tuntunan syariat.

Mereka terinspirasi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi yang juga menyerukan pemurnian ajaran Islam.

Di sisi lain, kaum Adat, dengan kekuatan tradisinya, berusaha mempertahankan adat istiadat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Mereka melihat adat sebagai warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan.

Bagi mereka, adat bukan hanya sekumpulan aturan dan kebiasaan, melainkan juga falsafah hidup yang mengajarkan nilai-nilai luhur seperti musyawarah, gotong royong, dan penghormatan kepada alam.

Benturan antara kedua kekuatan ini tak terelakkan. Kaum Padri melihat adat sebagai penghalang bagi terwujudnya masyarakat Islami yang mereka cita-citakan.

Sementara kaum Adat memandang kaum Padri sebagai ancaman terhadap identitas dan tradisi mereka. Masing-masing pihak merasa benar dan berjuang untuk mempertahankan keyakinannya.

Faktor-faktor Penyebab Perpecahan

Selain perbedaan pandangan mengenai agama dan adat, terdapat pula faktor-faktor lain yang turut memperparah perpecahan di kalangan rakyat Indonesia sendiri, antara lain:

Fanatisme dan intoleransi: Masing-masing pihak bersikap fanatik terhadap keyakinannya dan tidak toleran terhadap pandangan yang berbeda. Hal ini menghambat terjalinnya dialog dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mencari solusi damai.

Kurangnya komunikasi dan pemahaman: Masing-masing pihak kurang berkomunikasi dan memahami perspektif pihak lain. Hal ini menyebabkan timbulnya prasangka dan kecurigaan yang semakin memperdalam jurang pemisah.

Provokasi dari pihak luar: Belanda, yang saat itu sedang berusaha memperluas kekuasaannya di Nusantara, memanfaatkan perpecahan antara kaum Padri dan kaum Adat untuk kepentingan mereka. Belanda memberikan dukungan kepada kaum Adat dengan tujuan melemahkan kaum Padri yang dianggap sebagai ancaman bagi kolonialisme.

Dampak Perpecahan

Perpecahan di kalangan rakyat Indonesia sendiri mengakibatkan konsekuensi yang sangat merugikan, baik bagi masyarakat Minangkabau maupun bagi perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan, antara lain:

Perang saudara yang berkepanjangan: Perang Padri berlangsung selama lebih dari tiga dekade, mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar dan kerusakan yang parah.

Kemunduran perkembangan masyarakat: Perang Padri menghambat perkembangan masyarakat Minangkabau di berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial.

Melemahnya persatuan dan kesatuan bangsa: Perpecahan antara kaum Padri dan kaum Adat melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, sehingga memudahkan Belanda untuk menguasai Nusantara.

Refleksi dan Pembelajaran

Perang Padri merupakan sebuah tragedi dalam sejarah bangsa Indonesia. Perang saudara ini mengajarkan kita betapa berbahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan dan kesatuan.

Kita perlu belajar dari sejarah agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.

Di era modern ini, kita masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, seperti perbedaan ideologi, politik, agama, dan suku.

Oleh karena itu, kita perlu menumbuhkan sikap toleransi, saling menghormati, dan menghargai perbedaan. Kita juga perlu meningkatkan komunikasi dan pemahaman antar sesama agar dapat menghindari timbulnya prasangka dan kecurigaan.

Persatuan dan kesatuan merupakan modal utama bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagai warisan berharga dari para pahlawan kusuma bangsa.

Sumber:

Amran, Rusli. (1981). Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Yayasan Idayu.

Dobbin, Christine. (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. London: Curzon Press.

Kartodirdjo, Sartono. (1987). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: Gramedia.

University Press.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---