Penulis
Candi itu bangunan pemujaan yang sakral, semua orang sudah paham itu. Tapi sepertinya hanyasedikit yang mafhum di dinding-dindingnya terpahat relief cerita-cerita erotis. Saru, kata orang sekarang.
Ditulis oleh koresponden Intisari, B. Soelist, tayang pertama pada Oktober 1992
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Masyarakat kepurbakalaan pasti sepakat, kalau relief candi bukan sekadar hiasan semata melainkan erat hubungannya dengan eksistensi bangunan candi secara utuh. Malah konon, relief itu cermin kehidupan sosial masyarakat sezaman.
Dari sinilah, maka kalau diusut-usut perilaku manusia tentang erotisme itu dari dulu hingga kini sama saja.
Tak percaya, perhatikan saja pahatan relief Candi Mendut, Magelang. Candi yang dibangun pada abad IX ini banyak menampilkan potongan relief cerita ajaran moral yang teramat sakral.
Namun perhatikan salah sebuah panel di kaki candi, ada adegan pasangan berangkulan di ranjang, sementara di sebelahnya seorang anak kecil kedinginan mendekati perapian.
Kritik moral, itu mungkin yang ingin disampaikan oleh seniman kepada khalayak, bahwa nafsu perlu memperhitungkan waktu. Untung kalau adegan ini masih sopan karena seniman Candi Mendut begitu halusnya melukiskan-nya, sehingga yang tertangkap bukan unsur erotisnya, melainkan malah kritik moral itu sendiri.
Tapi bagaimana dengan relief-relief yang berserak di berbagai candi lainnya?
Apa komentar kita kalau menyaksikan fragmen relief Candi Kalitelon, Boyolali. Penggambaran adegan hubungan intim pada relief berukuran 40 x 20-an cm ini betul-betul realistis. Ada dua fragmen sejenis dari Candi Kalitelon abad XV itu, cuma sayangnya masyarakat tak bisa menyaksikan secara bebas di lokasi candi yang memang sudah berantakan.
Kedua relief itu sekarang disimpan aman di gudang area Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Namun dari segi estetika jelas ini karya seni yang bermutu, pahatannya halus, plastis, meski bisa dibilang gagal menyembunyikan unsur kenakalan erotiknya.
Memang betul. Ajaran tua tentang teknik bercinta memang sudah dipelajari lama oleh leluhur kita. Bukan hanya tervisualisasi lewat relief candi, melainkan tergelar pula dalam bentuk karya sastra klasik seperti Serat Katurangganing Wanita, yang mengupas soal sifat, sikap, dan perangai wanita.
Juga kitab-kitab lainnya yang identik dengan Kamasutra, dari judulnya saja mencerminkan hal itu: Wewadining Wanita, Aji Asmaragama, Pakem Pandom Pandumuking Salulut.
Kenakalan Rahwana
Pembuatan candi sebagai bangunan suci, sudah pasti harus melalui serangkaian persyaratan rumit sebelumnya. Bahkan ada pakem tertentu yang tak bisa dilanggar, baik itu menyangkut penggarapan bentuk bangunan, pemilihan area, maupun pembuatan relief cerita.
Pakem atau kekancingan berisi teknik pemahatan candi itu namanya Silpasastra atau Silpaprakasa alias Manasawa.
Namun sejak dulu seniman Jawa gemar mereka-reka. Apa pun budaya asing yang masuk tak ditelan mentah, melainkan diolah, dan bila perlu diubah. Bisa jadi aspek erotisme dalam tatahan percandian adalah salah sebuah bukti.
Seniman pahat candi yang tak dikenal namanya itu berhasil lolos dari pengawasan kaum Brahmana sebagai arsitektur candi. Jika benar, tentu saja setelah usai pembuatan candi, para penyensor itu pun dibuat geleng-geleng kepala menyaksikan kreativitas seniman anak buahnya.
Rangkaian relief di tembok Candi Prambanan misalnya, adalah suatu karya yang serius mengingat penampilan perang besar Ramayana. Tapi perhatikan adegan saat Rahwana melarikan Dewi Sita, begitu halus dan cerdiknya seniman candi Siwa itu menyelipkan unsur erotisme.
Tampak begitu tergesanya raja Alengka merebut Sita, namun tangan kirinya masih sempat-sempatnya menyentuh dada wanita cantik yang tengah berontak itu.
Rahwana alias Dasamuka memang tokoh ugal-ugalan, tapi kali ini siapa yang lebih "kreatif" kalau bukan senimannya. Adakah ini memang tersurat dalam pakem versi Walmiki?
Masih di candi Siwa Prambanan, tepatnya di dinding atas pagar langkan luar, rangkaian relief tari-tarian yang terkenal disebut "agghara", dimainkan oleh para gadis cantik dengan kostum minim merangsang. Kalau diamati, tarian ini mampu mengguncangkan jiwa yang memandang.
Tumit penari itu berjingkatan, sambil mengangkat-angkat betis dan belakang lututnya berkilatan. Dalam sikap tubuh yang menandak-nandak lincah, badannya bergoyang menuruti irama. Untung ini hanya batu.
Karmawibhangga
Pengungkapan ini sepertinya menjadi ciri khas seniman pahat percandian. Relief di kaki candi "tertutup" Borobudur abad IX merupakan buku batu yang sarat hukum sebab-akibat. Di antara 160 panel relief Karmawibhangga, ada serangkaian adegan melukiskan muda-mudi sedang berpacaran.
Ada yang tengah merajuk, ada pula yang terang-terangan memeluk pasangannya.
Kecuali itu, dalam relief Karmawibhangga seri 0 nomor 119, nampak sepasang remaja sedang berjalan berangkulan di sebuah desa, namun coba lirik tangan kanan lelaki iseng itu, menyusupkan jemarinya ke balik kain penutup dada.
Demikianlah 11 abad silam telah dipaparkan perilaku percintaan yang riuh, polos, dan terang-terangan. Sebab itu memang harus diterapkan secara wajar, tak perlu disembunyikan jika tak ingin efek sampingan negatif.
Manakala remaja terlanjur hamil sebelum nikah, ini disebabkan oleh penerapan seks yang keliru. Bila terjadi pengguguran, sungguh itu sangat tercela dan tak terampuni.
Wedaran (ajaran) yang terpapar di dinding relief Karmawibhangga seri 0 nomor 3 ini benar-benar realistis. Jelas sekali nampak adegan seorang perempuan berwajah seram sedang mengurut perut gadis yang buncit. Gadis itu terlihat meringis menahan sakit.
Kempers dalam bukunya Ageless Borobudur menafsirkan, perempuan berwajah seram itu adalah dukun yang sedang melakukan abortus. Di Candi Siwa, Prambanan, juga muncul adegan serupa. Agaknya, abad IX kita telah mengenal abortus. Inilah bukti visual tertua perihal pengguguran kandungan.
"Kecenderungan menyisipkan misi kritik moral, itu sebetulnya yang menjadi tujuan utama seniman pahat percandian," kata Drs. Kusen, arkeolog bidang klasik yang secara khusus pernah meneliti gaya seni relief percandian di Jawa.
Menurutnya, relief candi adalah media yang dipergunakan oleh seniman guna menyampaikan pesan-pesannya kepada masyarakat luas. Agar pesan tersebut dapat ditangkap, ungkapan visual relief harus komunikatif.
"Jadi pada jenis-jenis karya tertentu, erotisme bukanlah tujuan utama," tambahnya.
Kusen pada dasarnya mengakui, adanya kreativitas seniman percandian dari abad IX-XVI terus mengalir dari generasi ke generasi berikutnya. Kreativitas tersebut bukan hanya soal gaya seni relief, melainkan juga tampak pada ide-ide seniman itu sendiri.
Diberikan contoh, adegan relief kapal diterjang ombak di tembok Candi Borobudur. "Di belakang bawah ujung geladak kapal itu, ternyata dipahat orang buang hajat. Apa ini nggak edan," ungkap dosen Fakultas Sastra UGM itu tertawa.
Mengamati kreativitas seniman pahat candi, orang kadang bisa geli dan bingung. Apalagi buat mata awam yang tak awas dari pakem cerita mana adegan relief itu diambil. Rangkaian relief pada dasarnya adalah wujud visual sebuah cerita yang semula abstrak.
Biasanya relief itu bersumber dari cerita yang sudah dibukukan dalam naskah-naskah kuno. Jadi ceritanya pasti sudah sangat masyhur pada saat itu, entah berupa kisah kepahlawanan, ajaran keagamaan, atau percintaan.
Berkaitan dengan gagasan seniman berbau erotik, sekalipun adegan-adegan yang berkaitan dengan naluri seksual sebagai naluri dasar manusia ditampilkan sedemikian lugas, tapi pengungkapannya senantiasa halus dan polos.
Namun begitu menjejakkan kaki di percandian Jawa Timur, ada semacam kekagetan bernada tanya tiba-tiba muncul. Demikian bebasnya tatahan erotis menghiasi candi-candi.
Di daerah Blitar misalnya, ada sebuah petilasan yang masyhur disebut Reco Grapang. Sangat realistis menggambarkan laki-laki-perempuan sedang bersiap-siap melakukan hubungan intim.
Ini karya seniman Jawa Timur abad XIV, konon bukan sebagai tontonan kasar saat itu,melainkan erat hubungannya dengan konsep keyakinan masyarakat-sezaman tentang moksa dan asal usuling dumadi.
Tidak mudah menilai
Sebenarnya tidak gampang menilai kadar erotik dalam berbagai bentuk ungkapan relief candi. Apa yang menurut masyarakat sekarang itu erotik, belum tentu betul untuk masyarakat dulu. Apalagi candi sebagai pusat aktivitas religi.
"Hanya dengan pemahaman latar belakang kepercayaan masyarakat pembuat candi sezaman, kita bisa menilai maksud- seniman membuat relief," kata arkeolog kenamaan Sukarto Kartoatmodjo..
Lalu Sukarto memberikan contoh patung lelaki jongkok telanjang di Desa Patikrejo, Tulungagung, atau arca Bhairawa dari abad XIV di Pura Kebo Edan, Bali, merupakan arca yang berkaitan dengan sistem kepercayaan Tantrayana aliran niwriti.
"Aliran ini memang melakukan praktik manca-ma atau ma-lima untuk tujuan suci moksa," tambahnya.
Mungkin betul. Namun tentu saja tidak semua candi memiliki latar belakang kepercayaan dengan praktik-praktik niwriti. Aspek erotik dalam pahatan di tembok percandian, kadang memang kelewat halus tak kentara karena keberadaannya berkaitan dengan alur suatu cerita.
Tapi jika diamati lebih dalam, ada kesan seniman acap kali mengada-ada dengan memanfaatkan peluang untuk melukiskan adegan erotik sebagai bumbu kehidupan, sehingga alur cerita menjadi hidup, komunikatif.
Adegan di pendopo Candi Panataran abad XIV contohnya, batu relief tertimpa lumut dan jamur ini masih jelas sekali melukiskan kemesraan dua manusia. Di pinggiran ranjang, nampak seorang lelaki sedang membelai rambut wanita yang duduk mesra di pangkuannya.
Tapi lihatlah di belakang sana, ada gadis asyik mengintip di balik gorden.
Sedangkan di Candi Jago, Malang, yang merupakan bangunan abad XIII banyak dipaparkan tokoh-tokoh dunia pewayangan. Namun di tembok batu pertama dalam rangkaian kisah fabel, tak urung muncul pula satu panel kecil, hubungan mesra lelaki-perempuan.
Ini masih wajar, karena begitu cerdiknya seniman menatah dalam ukuran relatif kecil dan nyaris tak terlihat mata pengunjung yang kurang jeli.
Lain halnya dengan Candi Surawana abad XV di Pare, Kediri, Jawa Timur, yang merupakan buku batu yang sarat adegan erotis. Di sebelah kiri pintu masuk candi, pengunjung sudah disuguhi rangkaian relief yang menggambarkan semacam pesta cinta.
Namun, agaknya adegan di dinding kaki Candi Surawana sisi utara ini barangkali lebih erotik namun penggambarannya mengagumkan.
Dilatarbelakangi dedaunan dan semak belukar, sepasang insan berlainan jenis asyik bercumbu. Wanita itu dilukiskan dalam ekspresi agak malu, namun kedua tangannya tetap bergairah memeluk dada si pria.
Peranan punakawan
Kreativitas seniman Jawa dalam mengekspresikan gagasan sehingga relief nampak komunikatif, memang tidak gampang. Apalagi lewat media batu yang ditatah kaku. Namun dasar seniman ada saja ide, membuat kita kadang terperangah, cekikikan.
Pada relief di kaki Candi Surawana sisi timur misalnya, terlukis adegan seorang lelaki diikat kedua tangannya pada pohon kelapa. Sementara di hadapannya berdiri seorang wanita dalam sikap "menantang", malah ada kesan menggoda.
Ini nampak pada ekspresi wajah dan tubuh lelaki itu yang terlihat berontak ingin lepas dari ikatan tali, sampai-sampai pohon di belakangnya itu melengkung.
Mungkin saja relief di atas mengandung makna moral didaktis, yaitu semacam pelajaran bagi lelaki yang gemar mengumbar nafsu.
Seni pemahatan relief candi Jawa Timur agak berbeda dengan relief candi Jawa Tengah. Tubuh manusia ditampilkan dari pandangan depan, sedangkan kepala dan kaki selalu dari penampang samping.
Ini mirip bentuk wayang kulit, apalagi banyak tokoh punakawan sering menghiasi tembok-tembok candi di Jawa Timur. Apa fungsi punakawan? Tak jauh berbeda dengan dunia pewayangan, yakni sebagai pelayan, penasihat, sekaligus pelawak.
Bentuk tubuh punakawan yang dari sononya sudah menggelikan, di tangan seniman pahat Jawa Timur dijadikan objek lelucon untuk pengocok perut pengunjung candi. Relief di tembok Candi Tigawangi, Kediri, mungkin bisa dijadikan bukti.
Tak jauh dari relief cerita Sri Tanjung dan Sudamala, muncul tokoh lelaki-perempuan sedang bercintaan, sementara seorang punakawan terduduk bengong di bawahnya.
Masih soal punakawan, kreativitas seniman Jawa kuno, kadang terlihat muncul secara spontan, tapi dari segi komunikasi justru kadang malahan mendukung jelasnya sebuah cerita yang ingin disampaikan.
Adegan relief cerita Arjuna Wiwaha di dinding timur Candi Surawana misalnya, ketika Arjuna sedang bertapa di hutan digoda oleh beberapa bidadari cantik. Sekalipun upaya godaan dilakukan, Arjuna tetap duduk bersila mengheningkan cipta.
Seorang bidadari terlihat penasaran, lalu duduk mendekat di sampingnya sambil melingkarkan tangannya di bawah ketiak Arjuna. Toh satria Pandawa ini tetap bergeming. Tapi perhatikan adegan di sebelah kirinya, di tengah rimbunnya semak hutan, seorang punakawan malah melayani godaan itu.
Demikianlah manakala kita sampai pada puncak perjalanan erotisme di Candi Sukuh, lereng G. Lawu, bertubi-tubi kita mesti mempertanyakan, benarkah seniman gunung ini telah melanggar pakem pemahatan candi?
Begitu banyaknya adegan cumbu-rayu, cumbana-senggama tergelar di tembok candi. Bahkan di lantai gapura masuk candi, belum-belum kita sudah disuguhi pahatan relief simbol bersatunya lingga dan yoni.
Katanya, relief ini mengingatkan asal usuling dumadi. Gara-gara gambar relief ini-lah, muncul mitos, perawan dilarang melangkahi lantai candi berukir itu tadi kalau tak ingin robek "kainnya".
Sementara persis di depan candi utama, berdiri makhluk telanjang dengan phalus bertindik tujuh. Saking banyaknya adegan berbau erotik, Sukuh sering dijajakan biro wisata sebagai “The most erotic temple".
Begitulah cerita erotisme di dinding candi, karya leluhur yang tak lagi dikenal namanya, tapi terus ada.