Find Us On Social Media :

Mengenang 'Cak Moes' Moestopo, Operator Lapangan Pertempuran Surabaya, Disebut Ekstremis oleh Bung Hatta

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 8 Oktober 2024 | 13:06 WIB

Moestopo atau biasa disapa Cak Moes merupakan salah satu tokoh sentral dalam Pertempuran Surabaya (Pertempuran 10 November 1945). Pernah disebut Bung Hatta Ekstremis.

Keadaan pun menjadi jelas, ketika Moestopo menjelaskan penemuannya di hotel Yamato. Bagaimanapun kedua pimpinan itu mengharapkan pertempuran dihentikan. Keputusan lain, Moestopo dipensiunkan dari jabatannya di Jatim. Jabatan baru sebagai penasehat agung militer.

Dia menurut perintah atasannya itu. Tapi di hatinya bergejolak. Sekutu pun salah duga. Disangkanya tindakan itu mengendorkan semangat arek-arek Surabaya. Tapi justru mengobarkan semangat juang rakyat. Moestopo pergi, Bung Tomo yang mengambil alih. Dan meletuslah peristiwa 10 November yang terkenal itu.

Pencopet dan WTS dimanfaatkan

Jabatan penasehat militer tetap dipegang dengan serius dan patuh pada atasannya. Dia bukan saja sebagai penasehat militer Bung Karno tapi juga penasehat militer Panglima Besar almarhum Jenderal Sudirman.

Ketika terjadi serangan Belanda pada pasukan Divisi Siliwangi, Moestopo memperoleh advis dari seorang tua yang ada di sebelah kamar Bung Karno. Advis itu mengatakan agar dia membantu Divisi Siliwangi.

Advis itu kemudian dijalankan, berdasarkan surat perintah Bung Karno dan Sudirman yang ditandatangani Urip Soemohardjo, Moestopo bersama sekitar 100 orang berangkat ke Priangan melalui Bukanagara. Seratus orang yang dibawa Moestopo itu adalah Barisan Teratai yang terdiri dari para pencopet, perampok dan para wanita tuna susila.

Menurut Abdul Haris Nasution, pemanfaatan para pencopet dan WTS ini sebagai ide yang unik, nyentrik. Perampok dan pencuri disuruh melakukan aksinya di daerah musuh. Sedang para WTS bikin penyakit serdadu NICA.

Ide unik juga pernah dilakukan, yakni dengan bambu runcing. Di bagian runcingnya tidak didiamkan begitu saja, melainkan diberi tahi kuda. Tahi kuda dapat mengakibatkan penyakit tetanus pada orang yang kena tusukannya.

Tahun 1950-1951, Moestopo diserahkan untuk menjabat Kepala Kesehatan Gigi Angkatan Darat merangkap Kepala Bagian Bedah Rahang RSPAD di Jakarta. Th. 1951-1957, menjabat Deputi Kepala Kesehatan Gigi Angkatan Darat, juga sebagai Wakil Ketua Front Pembebasan Irian Barat.

Jabatan-jabatan itu merupakan jabatan terakhir dalam hidup Moestopo yang diartikan sebagai perjuangan secara fisik.

Perjuangan yang tidak pernah henti adalah pengabdiannya di bidang kesehatan dan pendidikan. Pada masa perjuangan dia sering mempraktikkan keahliannya sebagai dokter gigi ke rakyat jelata. Siang jadi dokter, malam merayap bergerilya.

Pengabdiannya tak pernah berhenti. Perang telah usai, pengabdiannya berlanjut. Dia mendirikan sekolah-sekolah, bukan hanya sekolah kedokteran gigi, bidang yang sangat dikuasainya tapi juga bidang komunikasi massa.

Tak meleset kalau kemudian dia mendapat sebutan Bapak Komunikasi Indonesia. Untuk jasa-jasanya pemerintah menganugerahi Bintang Mahaputra Utama pada putra kelahiran Kediri 13 Juni 1913 ini.