Find Us On Social Media :

Ketika Inggris Dilinggis Gerilya Urban Arek-arek Suroboyo dalam Pertempuran 10 November 1945

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 8 Oktober 2024 | 09:52 WIB

Meski akhirnya bisa menguasai Surabaya pada Pertempuran 10 November 1945, Inggris benar-benar 'dilinggis' oleh gerilya kota Arek-arek Suroboyo.

Gerilya urban membakar Surabaya. Inggris "dilinggis". Sebuah catatan heroik perlawanan arek-arek Surabaya, yang disarikan dari buku Roeslan Abdulgani, pelaku sekaligus saksi hidup Pertempuran Surabaya.

Artikel ini pertama tayang di HAI edisi 9 November 1992

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - November. Bulan ini selalu memberi semangat heroik. Bahwa di Surabaya pernah terjadi sebuah pergolakan dahsyat dalam semangat berani mati melawan tentara pendudukan. Hingga akhirnya, tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Surabaya pun digelari Kota Pahlawan.

Semua itu berawal dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Berita itu sampai ke Surabaya lewat radio Jepang yang diserobot kaum muda. Warta yang disambut tempik sorak.

Para pemimpin di Surabaya mulai menyusun pemerintahan daerah. Di tengah masa konsolidasi itu, timbul cekcok dengan pemerintah Jepang. Militer Jepang mendapat instruksi dari pihak Sekutu untuk tetap memegang kekuasaan sampai Sekutu datang.

Jepang dilarang menyerahkan kekuasaan dan senjatanya kepada siapa pun, kecuali Sekutu.

Indonesia ibarat barang mati yang siap dipindahtangankan! Maka, mumpung Sekutu belum datang, dilancarkanlah sejumlah aksi penurunan bendera Jepang. Sementara interniran Belanda yang ada di kamp-kamp mulai berlagak sebagai pemenang.

Mereka pun menghubungi pihak Jepang untuk mendapatkan kembali rumah dan perusahaannya. Bahkan juga senjata.

Sebuah pesawat terbang Belanda menyebarkan selebaran yang isinya agar interniran itu siap menerima kedatangan tentara Sekutu dan Belanda dalam waktu dekat. Di bawah pimpinan Mr. Ploegman, pada 19 September 1945, sejumlah Belanda tulen menaiki atap Hotel Oranye di Tunjungan. Mereka mengibarkan bendera Merah Putih Biru.

Dari sini lantas muncul insiden bersejarah. Sejumlah anak muda dan rakyat menerobos lingkaran orang-orang Belanda yang tengah melakukan "upacara" kemenangan kembali itu. Perkelahian tak terelakkan terjadi. Mr. Ploegman mati. Bendera Merah Putih Biru diturunkan, disobek birunya. Berkibarlah Merah Putih.

MENYERBU KEMPETAI

Sejak saat itu demam pertempuran mulai merembet di seantero Surabaya. Muncul kesadaran bahwa lawan ternyata tak hanya militer Jepang. Tapi juga orang-orang bekas interniran Belanda. Dengan serta merta kesadaran itu melahirkan perlawanan yang militan.

Pada 1 Oktober 1945 arek-arek Suroboyo menyerbu Gedung Kempetai, Markas Besar Angkatan Laut di Embong Wungu, Markas Angkatan Darat di Darmo, Gunungsari, Sawanan, dan seterusnya.

Bagaimana panasnya suasana revolusioner tatkala itu, bisa disimak dari catatan Admiral Shibata yang disimpan di balai arsip Amsterdam dan London. Komandan AL Jepang di Surabaya ini menulis:

"by the 1st October 1945 the Surabaya populace had already turned riotous, and they were kidnapping Japanese, and robbing them of their arms and motocars....

Sementara itu, tiba-tiba datang sejumlah orang Belanda yang mengaku sebagai utusan RAPWI alias Rehabilitation of Prisoners of War and Internees. Mereka diterjunkan dengan parasut ke lapangan Gunungsari dan Tanjung Perak dan ada pula yang datang lewat darat.

Niatan mereka sebetulnya tak semata-mata bersifat kemanusiaan akan tetapi politik. Bahkan Admiral Maeda ketika diinterogasi Kapten AL Belanda, P.J.G. Huijer, mengaku terus terang bahwa mereka itu mengambil 2,8 juta Gulden Belanda, begitu saja, dari tangan Angkatan Laut Jepang!

Tak heran kalau Residen Sudirman segera menulis surat kepada mereka untuk menghentikan segala bantuan. Rombongan mereka dikirim balik ke Jakarta. Tapi di antara Jombang-Kertosono, rakyat yang memeriksa kereta api, menangkap rombongan itu dan mengirimnya kembali ke rumah tahanan di penjara Kalisosok.

INGGRIS MENDARAT

Di tengah kesibukan melawan Kapten Huijer dkk dengan RAPWI-nya itu, datanglah Raden Mas Tumenggung Surio yang telah ditunjuk pemerintah pusat sebagai Gubernur Jawa Timur. Dia segera menghadapi soal besar: pada 25 Oktober bakal mendarat tentara Inggris atas nama Sekutu.

Maksud tentara Sekutu itu antara lain mengungsikan tawanan perang dan kaum interniran. Lalu, melucuti dan memulangkan tentara Jepang. Dan akhirnya, memelihara ketertiban dan keamanan umum. Tentara Inggris yang datang itu berasal dari Brigade 49 dengan 6000 prajurit di bawah pimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby. Pasukan ini terdiri atas prajurit Gurkha dari Nepal dan India Utara.

Kedatangan mereka ini bukan saja tanpa sopan santun. Tapi juga melakukan tindakan sepihak, tanpa kompromi dengan pihak Indonesia. Misalnya saja, mereka menduduki penjara Kalisosok dan melepaskan semua tawanan Belanda!

"Mereka juga minta supaya rakyat mengembalikan senjata Jepang. Permintaan dengan nada meremehkan itu membuat kemarahan rakyat. Sehingga pecahlah pertempuran dengan Inggris mulai 28 Oktober," kenang Roeslan Abdulgani.

Inggris barangkali merasa bakal mampu menumpas pemberontakan rakyat - kelompok yang dianggapnya sebagai lapisan ekstrem yang mabuk itu. Ternyata tidak sama sekali. Pasukan mereka semakin terjepit.

Letkol Doulton dalam bukunya The Fighting Cock menulis: Setiap pos Inggris terkepung. Sampai tengah malam tak ada henti-hentinya dengan pertempuran. Rakyat Indonesia tidak memperhitungkan korban-korbannya. When one man fell, another came forward, drunk and half crazed at the sight of blood....

Sedemikian rupa amarah arek-arek Surabaya, hingga pihak Inggris mengharapkan Bung Karno untuk ke Surabaya. Hanya untuk menentramkan rakyat Surabaya. Itu memang terjadi.

"Bung Karno dan Bung Hatta datang untuk membuat perjanjian. Tentara Inggris harus ditarik mundur dari semua gedung. Lantas mereka hanya akan berada di kamp-kamp tawanan perang di Darmo dan Tanjung Perak," kata Cak Roes, sapaan akrab Roeslan.

Perjanjian demi perjanjian yang berupaya melakukan gencatan senjata berkali-kali dilanggar Inggris. Di sisi lain, sekalipun perjanjian telah menghasilkan keputusan, dan Bung Tomo telah menyiarkannya lewat corong radio, toh sulit mengharapkan semua rakyat Surabaya mengetahuinya. Di sejumlah tempat, arek-arek Suroboyo terus menggempur.

MALLABY TEWAS

Sore hari, 30 Oktober adalah hari yang paling menentukan. Peristiwa itu bermula ketika rombongan pimpinan di Surabaya bersama tentara Inggris berada di depan Gedung Internatio. Mobil itu segera dikerubungi rakyat.

Mereka ingin agar pimpinan tentara Inggris, yang ada dalam rombongan, memerintahkan pasukannya yang terkepung dalam gedung untuk menyerah saja. Mereka merasa terancam karena pasukan Inggris bisa menembak membabi buta.

Residen Dirman, Doel Arnowo, dan Sungkono kemudian berunding dengan Brigjen Mallaby. Diputuskan, salah seorang kapten Inggris masuk ke Gedung Internatio didampingi Muhammad dari Indonesia, disertai Kundan, seorang penerjemah.

Beberapa menit berlalu. Kundan kembali, namun dua yang lain tetap berada di dalam gedung. Tak lama kemudian sebuah granat dilemparkan oleh tentara Inggris ke luar gedung.

"Saya menyaksikan sendiri dengan jelas bahwa yang mulai melepaskan tembakan adalah pasukan Inggris dan bukan rakyat kita!" tulis Roeslan Abdulgani dalam bukunya Seratus Hari Di Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia (1974).

Tembakan yang tiba-tiba itu mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Dalam suasana yang kacau itulah, seorang pemuda meloncat ke pinggir Kali Mas, kemudian membisikkan sesuatu kepada Roeslan Abdulgani dan Doel Arnowo yang juga tengah menyelamatkan diri ke sungai pekat itu. Dia membisikkan bahwa Mallaby telah tewas karena mobilnya meledak dan terbakar.

Itulah yang membuat murka pasukan Inggris dan Sekutu. Sebetulnya, kematian Mallaby itu juga misterius. Artinya, tak ada yang tahu bagaimana ia tewas dan siapa yang membunuhnya. Apakah karena tersambar peluru rakyat Indonesia atau malah dihajar peluru tentara Inggris sendiri.

Reaksi kematian Mallaby ini luar biasa hebatnya. Keesokan harinya, 31 Oktober 1945, Jenderal Christison selaku Panglima Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara, mengeluarkan ancaman kepada bangsa Indonesia.

Isi pokok ancaman itu ialah: orang-orang Indonesia yang melakukan penyerangan itu harus menyerahkan diri ke Inggris. Jika tidak, tentara Inggris bakal menggunakan segala tenaga dari seluruh angkatan mereka. Sebuah tuntutan yang mustahil terpenuhi.

Apalagi sebenarnya, insiden itu bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Pada mayat-mayat opsir Inggris yang tewas dalam pertempuran 28-30 Oktober itu ditemukan sejumlah dokumen yang berisi suatu rencana bernama Operation Persil.

Tujuannya, menduduki seantero Jawa Timur, dengan cara pendudukan secara bertahap. Pengganti Mallaby, Mayjen Mansergh, menilai rakyat Surabaya sebagai "orang-orang yang tidak bertanggung jawab".

Mereka inilah yang dinilai sebagai telah melakukan keganasan yang sangat biadab, melakukan perampokan dan pembunuhan. Semua tuduhan itu tentu saja disangkal Gubernur Suryo.

Sebaliknya, secara diam-diam, Inggris mendaratkan pasukan barunya dari Divisi ke-5 sejumlah 24.000 tentara. Dokumen di Public Record Office di London menyebutkan bahwa pihak Inggris senang sekali dengan ketidak-tahuan Indonesia.

Tentara Inggris memang benar-benar menyerbu. Melalui surat-suratnya yang dialamatkan pada Gubernur Suryo, Mayjen E.C. Mansergh merasa perlu masuk ke Surabaya dengan alasan akan melucuti "gerombolan yang tak mengenal tata tertib hukum".

Bahkan pihak Inggris pun mengeluarkan ultimatum. Isinya antara lain pemimpin-pemimpin Indonesia, termasuk gerakan pemuda, harus melaporkan diri sembari membawa senjata miliknya.

Senjata itu harus diletakkan dalam jarak 100 yard di tempat pertemuan, tangan diangkat, dan semua akan ditawan, menyerah kalah. Senjata yang harus dilucuti termasuk bambu runcing, tombak, pedang, keris, tulup, panah, pisau...

Ketahuan, betapa takutnya pihak Inggris ketika itu.

Pamflet yang dijatuhkan lewat pesawat terbang mengultimatum seluruh rakyat Surabaya untuk menyerah pada pukul enam sore. Jika tidak Surabaya bakal digempur esok harinya, 10 November jam enam pagi!

Pemerintah Pusat di Jakarta tak berhasil mengubah pandangan Inggris. Menlu Subarjo menyerahkan segala sesuatunya kepada pemerintah Surabaya! Berarti, gempuran Inggris memang harus dilawan.

Surabaya tak bisa ditaklukkan dalam sekejap. Selama tiga pekan, terjadilah gerilya urban. Pertempuran terjadi di jalan, dari rumah ke rumah, di antara tank dan barikade!

Pihak Inggris bahkan memperbanyak mutahan peluru meriamnya di darat maupun laut. Dalam arsip perang mereka tercatat 1.618 mayat rakyat Indonesia dan 4.697 tewas setelah menderita luka. Belum lagi mayat yang tak jatuh ke tangan mereka...

"Saya percaya, pemuda-pemuda sekarang andaikan mengalami peristiwa itu, juga pasti mau turun bertempur," kata Roeslan dalam tatapan menerawang.

"Jangan lupa, tiap generasi adalah produk situasi. Generasi yang digencet Jepang akan melahirkan generasi tahan banting. Generasi yang hidup serba cukup akan mudah melahirkan generasi yang lupa diri. Itu sebabnya, anak muda sekarang harus lebih waspada!"

Merdeka!

(Disarikan dari Seratus Hari DI Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia karya Roeslan Abdulgani)