Find Us On Social Media :

Ketika Inggris Dilinggis Gerilya Urban Arek-arek Suroboyo dalam Pertempuran 10 November 1945

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 8 Oktober 2024 | 09:52 WIB

Meski akhirnya bisa menguasai Surabaya pada Pertempuran 10 November 1945, Inggris benar-benar 'dilinggis' oleh gerilya kota Arek-arek Suroboyo.

Residen Dirman, Doel Arnowo, dan Sungkono kemudian berunding dengan Brigjen Mallaby. Diputuskan, salah seorang kapten Inggris masuk ke Gedung Internatio didampingi Muhammad dari Indonesia, disertai Kundan, seorang penerjemah.

Beberapa menit berlalu. Kundan kembali, namun dua yang lain tetap berada di dalam gedung. Tak lama kemudian sebuah granat dilemparkan oleh tentara Inggris ke luar gedung.

"Saya menyaksikan sendiri dengan jelas bahwa yang mulai melepaskan tembakan adalah pasukan Inggris dan bukan rakyat kita!" tulis Roeslan Abdulgani dalam bukunya Seratus Hari Di Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia (1974).

Tembakan yang tiba-tiba itu mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Dalam suasana yang kacau itulah, seorang pemuda meloncat ke pinggir Kali Mas, kemudian membisikkan sesuatu kepada Roeslan Abdulgani dan Doel Arnowo yang juga tengah menyelamatkan diri ke sungai pekat itu. Dia membisikkan bahwa Mallaby telah tewas karena mobilnya meledak dan terbakar.

Itulah yang membuat murka pasukan Inggris dan Sekutu. Sebetulnya, kematian Mallaby itu juga misterius. Artinya, tak ada yang tahu bagaimana ia tewas dan siapa yang membunuhnya. Apakah karena tersambar peluru rakyat Indonesia atau malah dihajar peluru tentara Inggris sendiri.

Reaksi kematian Mallaby ini luar biasa hebatnya. Keesokan harinya, 31 Oktober 1945, Jenderal Christison selaku Panglima Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara, mengeluarkan ancaman kepada bangsa Indonesia.

Isi pokok ancaman itu ialah: orang-orang Indonesia yang melakukan penyerangan itu harus menyerahkan diri ke Inggris. Jika tidak, tentara Inggris bakal menggunakan segala tenaga dari seluruh angkatan mereka. Sebuah tuntutan yang mustahil terpenuhi.

Apalagi sebenarnya, insiden itu bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Pada mayat-mayat opsir Inggris yang tewas dalam pertempuran 28-30 Oktober itu ditemukan sejumlah dokumen yang berisi suatu rencana bernama Operation Persil.

Tujuannya, menduduki seantero Jawa Timur, dengan cara pendudukan secara bertahap. Pengganti Mallaby, Mayjen Mansergh, menilai rakyat Surabaya sebagai "orang-orang yang tidak bertanggung jawab".

Mereka inilah yang dinilai sebagai telah melakukan keganasan yang sangat biadab, melakukan perampokan dan pembunuhan. Semua tuduhan itu tentu saja disangkal Gubernur Suryo.

Sebaliknya, secara diam-diam, Inggris mendaratkan pasukan barunya dari Divisi ke-5 sejumlah 24.000 tentara. Dokumen di Public Record Office di London menyebutkan bahwa pihak Inggris senang sekali dengan ketidak-tahuan Indonesia.

Tentara Inggris memang benar-benar menyerbu. Melalui surat-suratnya yang dialamatkan pada Gubernur Suryo, Mayjen E.C. Mansergh merasa perlu masuk ke Surabaya dengan alasan akan melucuti "gerombolan yang tak mengenal tata tertib hukum".

Bahkan pihak Inggris pun mengeluarkan ultimatum. Isinya antara lain pemimpin-pemimpin Indonesia, termasuk gerakan pemuda, harus melaporkan diri sembari membawa senjata miliknya.

Senjata itu harus diletakkan dalam jarak 100 yard di tempat pertemuan, tangan diangkat, dan semua akan ditawan, menyerah kalah. Senjata yang harus dilucuti termasuk bambu runcing, tombak, pedang, keris, tulup, panah, pisau...

Ketahuan, betapa takutnya pihak Inggris ketika itu.

Pamflet yang dijatuhkan lewat pesawat terbang mengultimatum seluruh rakyat Surabaya untuk menyerah pada pukul enam sore. Jika tidak Surabaya bakal digempur esok harinya, 10 November jam enam pagi!

Pemerintah Pusat di Jakarta tak berhasil mengubah pandangan Inggris. Menlu Subarjo menyerahkan segala sesuatunya kepada pemerintah Surabaya! Berarti, gempuran Inggris memang harus dilawan.

Surabaya tak bisa ditaklukkan dalam sekejap. Selama tiga pekan, terjadilah gerilya urban. Pertempuran terjadi di jalan, dari rumah ke rumah, di antara tank dan barikade!

Pihak Inggris bahkan memperbanyak mutahan peluru meriamnya di darat maupun laut. Dalam arsip perang mereka tercatat 1.618 mayat rakyat Indonesia dan 4.697 tewas setelah menderita luka. Belum lagi mayat yang tak jatuh ke tangan mereka...

"Saya percaya, pemuda-pemuda sekarang andaikan mengalami peristiwa itu, juga pasti mau turun bertempur," kata Roeslan dalam tatapan menerawang.

"Jangan lupa, tiap generasi adalah produk situasi. Generasi yang digencet Jepang akan melahirkan generasi tahan banting. Generasi yang hidup serba cukup akan mudah melahirkan generasi yang lupa diri. Itu sebabnya, anak muda sekarang harus lebih waspada!"

Merdeka!

(Disarikan dari Seratus Hari DI Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia karya Roeslan Abdulgani)