Find Us On Social Media :

Ketika Kesultanan Palembang Darussalam Dihapuskan Keberadaanya oleh VOC

By Afif Khoirul M, Senin, 7 Oktober 2024 | 14:15 WIB

Benteng Kulo Besak peninggalan Kesultanan Palembang.

Namun, kejayaan itu kini tinggal kenangan. Kedatangan bangsa Eropa, khususnya Belanda, pada abad ke-17, menjadi awal dari kemunduran Kesultanan Palembang Darussalam.

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kongsi dagang Belanda yang berambisi menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara, mulai menancapkan kukunya di Palembang.

Awalnya, hubungan antara Kesultanan Palembang Darussalam dan VOC berjalan harmonis. Kedua belah pihak menjalin kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan.

Namun, seiring berjalannya waktu, VOC mulai menunjukkan watak aslinya. Mereka ingin memonopoli perdagangan di Palembang dan menguasai sumber daya alamnya.

Konflik antara Kesultanan Palembang Darussalam dan VOC tak terhindarkan.

Puncaknya terjadi pada tahun 1819, ketika Sultan Mahmud Badaruddin II, ayahanda Sultan Ahmad Najamuddin II, menolak menandatangani perjanjian yang merugikan Kesultanan. VOC merespon dengan mengirimkan pasukan untuk menyerang Palembang.

Perang berkecamuk. Sultan Mahmud Badaruddin II dan rakyat Palembang berjuang dengan gigih mempertahankan kedaulatan mereka. Namun, VOC memiliki persenjataan yang lebih modern dan pasukan yang lebih terlatih.

Pada tahun 1821, Kuto Besak jatuh ke tangan VOC. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Meskipun Sultan Mahmud Badaruddin II telah ditawan, perlawanan rakyat Palembang tidak surut. Pangeran Ratu, putra Sultan Mahmud Badaruddin II, memimpin perjuangan gerilya melawan VOC. Namun, perlawanan tersebut akhirnya dapat dipadamkan oleh VOC.

Pada tanggal 7 Oktober 1823, Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi menghapuskan Kesultanan Palembang Darussalam.

Wilayah Kesultanan dipecah menjadi beberapa keresidenan dan dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda. Kuto Besak, istana kebanggaan Kesultanan, dihancurkan dan diratakan dengan tanah.

Di atas reruntuhannya, Belanda membangun rumah residen yang kini menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.