Find Us On Social Media :

Lewat Gigi Menguak Tabir Korban Bom Bali I yang Memilukan Itu

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 7 Oktober 2024 | 09:58 WIB

Identifikasi korban Bom Bali I tidak mudah. Begitu panjang dan melelahkan. Apa yang terjadi di belakang proses identifikasi 184 kantong jenazah korban?

Tak diputuskan sendiri

Oleh Direktur RS Sanglah dr. I Gusti Lanang M.. Rudiartha MHA, sebuah ruang yang baru dibangun di bagian THT RS Sanglah disiapkan menjadi Reconciliatio Room yang nyaman. Di sini kami seperti bermain bingo (kiri untuk di Indonesia).

Data-data postmortem digelar di meja panjang, kemudian masing-masing dokter memegang formulir antemortem. Kami mulai mencari dan membandingkan data jenazah dengan data korban semasa hidup.

Data-data antemortem kiriman Interpol Swedia, Denmark, dan Hongkong melalui Markas Besar Interpol di Lyon sangat lengkap. Ada foto rontgen, foto korban, ciri-ciri tato beserta sertifikat pembuat tatonya, bahkan juga ada nomor pen yang dipasang pada kaki yang pernah patah.

Data terakhir ini tentu diperoleh dari dokter ortopedi yang merawat korban. Data yang lengkap sangat memudahkan kerja tim identifikasi.

Biasanya, jika menemukan data yang cocok para dokter asing akan menunjukkan ekspresi dengan setengah berteriak, "Bingo!" Bagi yang mendapat "bingo" - setelah berdiskusi dengan rekan lain - wajib memberikan paparan di hadapan Majelis Rekonsiliasi (Reconciliation Board Meeting) yang berlangsung dua kali setiap hari, pukul 09.00 dan 15.00 WITA.

Dalam Majelis Rekonsiliasi para ahli dan polisi harus siap melakukan debat, argumentasi, serta memperlihatkan bukti ilmiah yang dapat meyakinkan semua pihak.

Jika ada satu pihak ragu atau kurang setuju, berkas tersebut turun ke lantai. Harus dilakukan pemeriksaan ulang ke jenazahnya, membuat foto sinar X baru, foto baru, cetakan gigi, dll.

Sebaliknya, jika hasil disepakati, para wakil ahli patologi forensik, ahli odontologi forensik, ahli sidik jari/polisi harus menandatangani formulir tersebut, untuk terakhirnya nanti disahkan oleh Chief DVI Indonesia Kombes Pol Dr. Edi Saparwoko.

Tanpa pengesahan pimpinan DVI Indonesia hasil identifikasi dinilai tidak berlaku. Peraturan itu ditaati oleh semua pihak asing yang terlibat, karena hal itu menyangkut pembuatan sertifikat kematian, sertifikat autopsi, dan sertifikat pengeluaran jenazah dari RS Sanglah.

Selesai rekonsiliasi, pihak Australia meminta waktu 24 jam untuk menghubungi pihak keluarga korban secara resmi di negara masing-masing, sebelum hasil temuan diumumkan ke media massa.

Informasi terakhir pada 16 November telah teridentifikasi 131 jenazah, sedangkan 121 jenazah telah diambil keluarganya. Namun, tidak satu pun jenazah orang Indonesia yang diidentifikasi melalui gigi. Mayoritas teridentifikasi secara visual atau pengenalan oleh keluarga. Itu karena jenazah masih dapat dikenali.

Untuk itu PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) atau Departemen Kesehatan RI perlu diimbau agar menganjurkan para dokter gigi kita untuk mempunyai rekaman data gigi pasien yang lengkap dan baik sesuai standar internasional (Odontogram Interpol) di klinik masing-masing. Bukankah identifikasi adalah hak asasi setiap manusia terutama di era globalisasi saat ini?