Penulis
[ARSIP Intisari]
Peristiwa ledakan bom di Sari Club Bar dan Paddy's Cafe di Jl. Legion, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, sangat memilukan orang, baik di Indonesia maupun mancanegara. Belum lagi proses identifikasi para korbannya tidak mudah. Begitu panjang dan melelahkan. Apa yang terjadi di belakang proses identifikasi 184 kantong jenazah korban?
Penulis:AKBP drg. Peter Sahelangi DFM, Kepala RS Bhayangkara Makassar, anggota tim DVI Mabes Polri, di Makassar
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Minggu, 13 Oktober 2002, pukul 06.30, saya mendapat perintah dari Kapusdokkes Polri Brigjen Pol dr. Bambang Ibnu Suparto agar segera berangkat ke Denpasar dalam kesempatan pertama.
Saya ditugaskan untuk ikut serta dalam proses identifikasi jenazah korban bom di Kuta. Jawaban saya singkat saja, "Siap, Komandan!" Pihak Depkes, melalui Direktur RS Wahidin Sudiro Husodo Makassar, sangat membantu dalam pengurusan administrasi dan perlengkapan yang diperlukan.
Setiba di Denpasar, kami melihat tim Mabes Polri dipimpin Kombes Pol dr. Edi Saparwoko Sp. JP, MM, DFM (Wakapusdokkes Polri) sebagai Kepala DVI (Disaster Victim Identification) Indonesia. Beberapa di antara mereka telah mendapat pendidikan Disaster Victim identification di Pusdik Reserse Zutphen dan National Forensic Institute Rijswijk, Belanda.
Maka, proses identifikasi dengan standar kerja internasional bukan merupakan barang baru bagi tim ini.
Kapolri selalu menghendaki para anggota Polri bekerja secara profesional dan sesuai standar atau kaidah yang berlaku internasional. Hal tersebut juga berlaku bagi para dokter Polri maupun dokter universitas yang membantu Polri dalam bidang forensik, terutama dalam kasus bom Kuta ini.
Kami segera melakukan pembagian tugas dan tanggung jawab, sesuai yang berlaku dalam prosedur penatalaksanaan bencana massal internasional (Interpol DV1 Guide/Juklak Interpol). Antara lain, mengkoordinasikan para dokter, mahasiswa, dan relawan.
Melakukan penomoran jenazah, memasukkan jenazah dalam kantong jenazah, serta menyeleksi jenazah berdasarkan jenis kelamin, ras (Caucasoid/bule, Mongoloid/Asia, Negroid/hitam). Proses seleksi ini berlangsung sampai pukul 24.00.
Gerai Antemortem dan Postmortem
Seksi antemortem (semasa hidup bertugas mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari pihak keluarga, kerabat, dan lainnya. Yang pertama dilakukan adalah membangun jaringan telepon, faksimili, internet, mesin fotokopi, serta ruang penerima tamu yang memadai.
Itu karena para tamu yang akan datang adalah para pejabat tinggi RI, duta besar, dan konsul yang warga negaranya menjadi korban.
Senin pagi sudah terjalin hubungan via internet dengan Markas Besar Interpol di Lyon. Kami pun mendapat dukungan sepenuhnya dalam pengumpulan data-data antemortem dari negara yang warganya menjadi korban.
Semua informasi dicatat dalam formulir Interpol berwarna kuning. Barang-barang korban yang tersisa di hotel, seperti sisir, sikat gigi, alat pencukur kumis, pakaian, dll. juga dikumpulkan dan didata di bagian antemortem.
Sedangkan di Gerai Postmortem dilakukan pemeriksaan korban/jenazah. Pemeriksaan dilakukan di ruang autopsi RS Sanglah oleh dokter ahli patologi forensik dan dokter gigi forensik, baik dari Indonesia maupun mancanegara.
Hari Selasa sudah berdatangan dokter ahli dari mancanegara. Di antaranya, dari Australia dipimpin Prof. Chris Griffiths (odontologist) dan Prof. John Hilton (pathologist), dari Swedia, Jepang, Hongkong, dan Taiwan. Kami pun dibantu oleh para dokter, dokter gigi, dan mahasiswa dari FK Udayana dan FKG Mahasaraswati.
Satu per satu jenazah naik ke meja autopsi. Mereka menjalani pemeriksaan secara lengkap oleh dokter ahli patologi forensik. Data-data temuan diisikan dalam formulir DVI Interpol berwarna pink, serta dibuatkan foto oleh tim Identifikasi Mabes Polri dan Polisi Australia.
Selanjutnya, jenazah tersebut disalurkan ke gerai dokter gigi untuk dilakukan pengisian data gigi dalam formulir pink. Dokter gigi membuka rahang atas dan rahang bawah untuk dibuatkan foto sinar X-nya.
Setiap rahang dibuatkan 10-12 foto. Tak hanya sampai di situ, dengan kamera polaroid yang memakai lensa makro setiap jenazah dibuatkan foto rahang atas, bawah, dan foto tampak gigi depan.
Pekerjaan itu cukup berat. Ada lebih dari 100 jenazah, padahal pada satu jenazah dilakukan 10 kali pemotretan sinar X. Bisa dibayangkan, radiasi yang diterima oleh dokter gigi yang memeriksa. Tak heran kalau pemeriksaan postmortem tersebut berlangsung sekitar satu minggu.
Gigi, terpercaya
Gigi merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya (sukar dibantah), khususnya bila rekaman data gigi dan rontgen foto gigi atau model cetakan gigi semasa hidup pernah dibuat dan disimpan secara baik dan benar.
Mengapa? Karena gigi adalah bagian terkeras pada tubuh manusia, yang komposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali. Sebagian besar kandungan gigi terdiri atas bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak.
Selain itu gigi terlindung karena berada dalam rongga mulut dan dilingkupi oleh basahnya air liur. Dengan demikian gigi baru menjadi lapuk pada suhu 200°C dan baru menjadi abu pada suhu 450°C.
Menurut penelitian Sims (1972), kemungkinan dua orang identik data gigi dan mulutnya adalah satu dalam dua miliar, sehingga hampir mustahil ada dua orang yang sama kondisi giginya.
Itu karena rata-rata manusia mempunyai 32 gigi dengan bentuk yang jelas, sedangkan masing-masing gigi mempunyai lima permukaan, berarti dalam mulut ada 160 permukaan gigi dengan variasi keadaan mulai dari baik sampai rusak, sisa akar, penambalan, pencabutan, gigi palsu, implant, dll.
Namun, sebagai sarana identifikasi gigi juga memiliki kelemahan. Misalnya, mayoritas masyarakat Indonesia jarang berobat ke dokter gigi. Dokter gigi pun belum tentu melakukan penyimpanan data gigi yang tertata. Akibatnya, ketika diperlukan sebagai pembanding data jika terjadi suatu musibah, tidak dapat diperoleh data gigi yang tepat.
Pada kasus Kuta, sampai minggu ketiga sudah teridentifikasi 120 jenazah yang mayoritas (80%) teridentifikasi melalui data gigi yang lengkap dan baik.
Mereka di antaranya dari Swedia sebanyak lima korban, Denmark tiga korban, Australia 40 korban, Jerman empat korban, Amerika empat korban, Inggris 10 korban, Belanda satu korban, Prancis dua korban, dan Jepang dua korban.
Pengalaman unik kami hadapi dengan para korban dari Australia, beberapa di antaranya pemain rugby. Umumnya anak-anak- muda Australia bergigi bagus karena berhasilnya program pencegahan kerusakan gigi dengan fluoridasi air minum. Lalu apakah kemudian mereka tidak mempunyai cetakan gigi?
Untungnya, para pemain rugby biasanya harus membuat pelindung gigi, maka kami mendapat kiriman model cetakan gigi dari dokter gigi mereka. Dari cetakan itu dibuat cetakan negatif lagi, kemudian cetakan tersebut dipaskan ke jenazah yang diduga. Foto polaroid yang dibuat menunjukkan ketepatan 100%.
Tak diputuskan sendiri
Oleh Direktur RS Sanglah dr. I Gusti Lanang M.. Rudiartha MHA, sebuah ruang yang baru dibangun di bagian THT RS Sanglah disiapkan menjadi Reconciliatio Room yang nyaman. Di sini kami seperti bermain bingo (kiri untuk di Indonesia).
Data-data postmortem digelar di meja panjang, kemudian masing-masing dokter memegang formulir antemortem. Kami mulai mencari dan membandingkan data jenazah dengan data korban semasa hidup.
Data-data antemortem kiriman Interpol Swedia, Denmark, dan Hongkong melalui Markas Besar Interpol di Lyon sangat lengkap. Ada foto rontgen, foto korban, ciri-ciri tato beserta sertifikat pembuat tatonya, bahkan juga ada nomor pen yang dipasang pada kaki yang pernah patah.
Data terakhir ini tentu diperoleh dari dokter ortopedi yang merawat korban. Data yang lengkap sangat memudahkan kerja tim identifikasi.
Biasanya, jika menemukan data yang cocok para dokter asing akan menunjukkan ekspresi dengan setengah berteriak, "Bingo!" Bagi yang mendapat "bingo" - setelah berdiskusi dengan rekan lain - wajib memberikan paparan di hadapan Majelis Rekonsiliasi (Reconciliation Board Meeting) yang berlangsung dua kali setiap hari, pukul 09.00 dan 15.00 WITA.
Dalam Majelis Rekonsiliasi para ahli dan polisi harus siap melakukan debat, argumentasi, serta memperlihatkan bukti ilmiah yang dapat meyakinkan semua pihak.
Jika ada satu pihak ragu atau kurang setuju, berkas tersebut turun ke lantai. Harus dilakukan pemeriksaan ulang ke jenazahnya, membuat foto sinar X baru, foto baru, cetakan gigi, dll.
Sebaliknya, jika hasil disepakati, para wakil ahli patologi forensik, ahli odontologi forensik, ahli sidik jari/polisi harus menandatangani formulir tersebut, untuk terakhirnya nanti disahkan oleh Chief DVI Indonesia Kombes Pol Dr. Edi Saparwoko.
Tanpa pengesahan pimpinan DVI Indonesia hasil identifikasi dinilai tidak berlaku. Peraturan itu ditaati oleh semua pihak asing yang terlibat, karena hal itu menyangkut pembuatan sertifikat kematian, sertifikat autopsi, dan sertifikat pengeluaran jenazah dari RS Sanglah.
Selesai rekonsiliasi, pihak Australia meminta waktu 24 jam untuk menghubungi pihak keluarga korban secara resmi di negara masing-masing, sebelum hasil temuan diumumkan ke media massa.
Informasi terakhir pada 16 November telah teridentifikasi 131 jenazah, sedangkan 121 jenazah telah diambil keluarganya. Namun, tidak satu pun jenazah orang Indonesia yang diidentifikasi melalui gigi. Mayoritas teridentifikasi secara visual atau pengenalan oleh keluarga. Itu karena jenazah masih dapat dikenali.
Untuk itu PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) atau Departemen Kesehatan RI perlu diimbau agar menganjurkan para dokter gigi kita untuk mempunyai rekaman data gigi pasien yang lengkap dan baik sesuai standar internasional (Odontogram Interpol) di klinik masing-masing. Bukankah identifikasi adalah hak asasi setiap manusia terutama di era globalisasi saat ini?