Penulis
[ARSIP Intisari]
Bom Bali II tak kalah dahsyatnya dari Bom Bali I. Febri menceritakan bagaimana dirinya selamat dari ledakan itu sementara beberapa temannya harus pergi duluan meninggalkannya.
Pertama tayang di Majalah Intisari Desember 2005
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Itulah salah satu misteri kehidupan. Namun, Febrian Indri Wahyuningrat (26) menjadi salah satu orang yang beroleh untung karena luput dari efek ledakan bom Bali II yang dahsyat itu.
Padahal dia termasuk orang yang berada sangat dekat dengan titik ledakan. Febri, begitu ia akrab disapa, dengan susah payah berusaha merangkai cerita dan mengingat-ingat kembali peristiwa nahas yang menimpa diri dan teman-teman sekantornya.
Secara fisik karyawan sebuah perusahaan kargo swasta di Jakarta itu tidak mengalami luka berarti. Hanya sedikit lecet-lecet terkena serpihan benda.
Tampaknya, meski telah beberapa bulan peristiwa itu berlalu, sampai sekarang Febri masih sulit mengubur kepedihan hatinya. Peristiwa memilukan itu masih melekat kuat di benaknya.
"Kalau sekarang diajak ke Bali, aku akan pikir-pikir dulu," ujarnya dengan bibir bergetar; meskipun ia juga sadar betul, maut bisa menjemput di mana pun dan kapan saja.
Hidangan disikat habis
Di mata Febri masih terbayang dengan jelas raut wajah teman-temannya satu demi satu yang meninggal terkena ledakan bom. Di telinganya hingga saat ini masih terngiang suara ledakan bom yang sangat keras bunyinya itu.
Sambil sesekali menghela napas panjang, Febri mulai bertutur, mengisahkan kembali saat-saat yang tak akan pernah dia lupakan sepanjang hidupnya itu.
"Waktu itu rombongan karyawan kantor kami, berjumlah 26 orang, pergi ke Bali untuk berwisata. Kami berangkat dengan pesawat terbang dan menggunakan dua bus, untuk berkeliling Bali," cerita Febri. "Hari Sabtu, tanggal 1 Oktober 2005, setelah seharian berkeliling mulai dari Bedugul, Alas Kedaton, sampai Tanah Lot, kami bermaksud mengakhiri hari dengan melihat indahnya Matahari terbenam di pantai di Jimbaran."
"Pantai Bali memang indah," ucap Febri dengan sorot mata menerawang, seolah keindahan itu ada di depan matanya. Di Jimbaran mereka tak hanya dipuaskan dengan berjalan-jalan di pinggir pantai nan indah, tapi juga berencana melanjutkan kegembiraan di Menega Cafe.
"Seorang dari kami mengusulkan kafe ini. Selain karena lokasinya di bibir pantai, katanya hidangan seafood-nya terkenal enak," sambungnya.
Sekitar pukul 18.55 WITA, rombongan bus pertama tiba lebih dahulu di Menega Cafe. Kalau Febri tidak salah hitung, bus kloter awal itu berpenumpang 16 orang, yaitu Kus, Wali, Enny, Elly, Mega, Fenny, Hendrik, Renol, Iwan, Amin, Kamal, Ifen, Siska, Wiyono, Erna, dan Lily.
Di kafe itu mereka mengambil tempat duduk paling ujung, berjarak sekitar 500 m dari garis pantai.
Lima menit kemudian, sekitar pukul 19.00, rombongan bus kedua tiba. Bus ini berpenumpang 10 orang saja. Di situ ada Melly, Sherly, Rita, Diana, Hery, Atan, Vivi, Surya, Stefan, dan Febri sendiri.
"Malam itu kami meminta pelayan kafe untuk menyatukan meja, agar muat untuk 26 orang. Mejanya disusun memanjang ke arah pantai, masing-masing di sisi kanan dan kiri, terisi 13 orang. Sambil menunggu makanan tiba, kami bergembira, berkelakar, dan sesekali potret-potret," kenang Febri.
Sekitar sepuluh menit kemudian, minuman pun disajikan. Tak lama disusul hidangan pertama, ikan bakar dan nasi.
"Berhubung kami sudah lapar, hidangan langsung kami santap. Lalu hidangan kedua datang, berupa udang asam manis. Makin tambah lahap saja kami menyantapnya. Sekitar dua menit kemudian, menu ketiga berupa cumi bakar juga datang. Makan malam bersama teman-teman di pantai saat itu memang pengalaman yang sangat menyenangkan," ungkap Febri hampir tak bisa menahan haru.
Cumi pun lenyap
Sungguh, tak seorang pun menyangka, hanya dalam hitungan menit keceriaan mereka malam itu sirna dan segera berubah menjadi isak tangis dan kepiluan yang mendalam.
"Sekitar jam 19.20, aku ingat benar, pada saat tanganku mengambil cumi bakar, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang sangat keras. Guncangannya sangat terasa di telapak kakiku. Semburan pasir terasa panas di kaki. Gendang telingaku terasa sakit sekali, dan pandanganku langsung menjadi gelap," ceritanya bergetar.
"Beberapa saat aku terdiam. Cumi bakar yang ada di tanganku lenyap, entah terlempar ke mana. Melly yang duduk tepat di sebelah kananku tiba-tiba sudah bersandar di bahuku. Langsung saja kupeluk Melly dan kularikan sampai ke dekat toilet. Maksudnya, seandainya Melly terluka bakar, bisa langsung aku siram air. Aku pikir itu adalah ledakan tabung gas yang terbakar. Aku tidak tahu kalau suara itu ternyata berasal dari ledakan bom."
Bisa diduga, tidak lama kemudian, keadaan menjadi kacau balau. Semua orang panik, karena tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Apalagi jarak pandangan hanya sebatas satu meter, karena lerselimuti asap putih. Aku mencoba untuk kembali mendekati meja. Namun, baru dua langkah aku berjalan, ledakan kedua terdengar lagi. Saat itu aku baru sadar, kalau itu adalah ledakan bom. Aku jadi ikut panik dan langsung lari keluar."
Pada saat panik itulah, sambil berlari Febri sempat sesekali menengok ke belakang. Dia melihat rekan-rekannya, di antaranya Diana, Hery, Ibu Kus, berjalan dengan tubuh berlumuran darah. Darah segar itu mengalir dari kepala, kuping, dan dada.
Febri berhenti, kemudian berlari kencang, kembali menuju kafe untuk melihat keadaan teman yang lain. "Pikirku, pasti masih banyak rekanku yang lain yang juga terluka di sana."
Benar saja, Febri segera mendapati Sherly menangis histeris, sembari menarik-narik tangannya menuju meja tempat sebelumnya mereka makan.
"Sesampai di meja, aku melihat Hendrik terkapar di kursi. Dengan susah payah aku berusaha membawanya, tapi terlalu berat sehingga aku terjatuh dua kali. Lalu datang orang yang membantuku mengangkatnya keluar menuju pantai. Hendrik saat itu dalam keadaan tidak sadar, sehingga kusiram air supaya siuman."
Setelah itu Febri kembali lagi ke dalam kafe. Saat itu, dia sempat berpapasan dengan Wiyono dan Sherly yang masih menangis sambil membopong Mega yang kelihatannya sudah tak bernapas lagi.
Febri lalu berlari ke dalam lagi dan menemukan Enny dan Elly dalam kondisi yang mengenaskan. Terdapat potongan kayu kira-kira sepanjang 10 cm tertancap menembus leher Elly. Sementara kondisi Enny lebih parah, tempurung kepalanya terkelupas di bagian depan.
"Aku mengangkat keduanya bersama dengan Atan dan Stefan menuju ke bus. Menyaksikan itu semua, aku berusaha tabah dengan mengambil napas panjang dan kembali lagi ke lokasi. Berikutnya aku menemukan Ibu Wati juga dalam kondisi mengenaskan, terdapat lubang menganga di lehernya. Dia juga tergeletak tak berdaya."
Bersama kawan-kawannya, Febri mengangkat Ibu Wati keluar dari pantai, tapi tak ada kendaraan yang mau membawanya. Akhirnya, mereka terpaksa menghentikan seorang pengendara sepeda motor dan memintanya melarikan korban ke rumah sakit. Untunglah, orang itu bersedia membantu.
Tubuh Ibu Wati pun dinaikkan ke jok belakang sepeda motor, sambil dipegangi oleh Stefan di belakangnya. Proses evakuasi yang melelahkan jiwa-raga ini kurang lebih memakan waktu 45 menit.
Bersyukur diberi umur
"Rasanya seperti tidak percaya. Tidak mengira semua ini terjadi pada kami. Waktu kira-kira menunjukkan pukul 20.15, ketika Surya, Atan, Wiyono, dan aku masih berada di pelataran parkir. Tak tahan juga, akhirnya kami pun menangis. Hanya kami berempat yang tidak mengalami luka serius," terang Febri seraya tak henti-hentinya mengucap syukur.
Saat itu mereka sendiri bingung harus ke mana untuk mencari tahu nasib rekan-rekan mereka yang lain, karena mereka diangkut dengan kendaraan yang berlainan.
Sekitar pukul 20.30, ada seorang petugas polisi yang bersedia mengantarkan mereka pergi. Namun, Febri dan kawan-kawan sempat bingung hendak menuju ke mana. Atan lalu mencoba menelepon Rita untuk mencari informasi.
Rita memberi tahu kalau teman-teman mereka banyak yang dilarikan ke RS Sanglah.
"Kami lalu memutuskan minta diantar ke RS Sanglah oleh polisi itu. Perjalanan dari Jimbaran ke RS Sanglah membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Kira-kira pukul 21.15, kami tiba di rumah sakit itu. Kami berempat langsung menuju ruang ICU dan melihat banyak rekan kami sudah berada di atas tempat tidur dengan kondisi luka yang parah. Aku dan Atan menghitung rekan-rekan yang sudah berada di RS Sanglah."
Kemudian mereka sibuk menghubungi pihak keluarga dari rekan-rekan yang menjadi korban.
"Namun, baterai handphone sudah melemah, ditambah lagi sinyal sedang tidak bagus. Entah kebetulan atau tidak, semua jaringan juga error, sehingga sangat susah untuk melakukan hubungan telepon," ucap Febri.
Sekitar pukul 22.20 mereka berempat masih mendampingi rekan-rekan lain untuk di-scan dan dirontgen serta menjalani pemeriksaan intensif. Beberapa teman ada yang divonis pecah gendang telinga, patah tulang rusuk, dan lain-lain.
Saat itu semua terpencar di kamar yang berbeda. "Aku berinisiatif meminta kepada suster jaga, agar semua rekan kami dikumpulkan pada ruang yang sama untuk mempermudah penanganan dan pengawasannya."
Waktu terus berjalan. Kira-kira pukul 02.00 dini hari, Febri diberi tahu oleh Stefan bahwa lima orang rekan mereka, yaitu Mega, Elly, Wati, Enny, dan Fenny, menghembuskan napas terakhir. Stefan melihat dan mengidentifikasi dengan mata kepalanya sendiri.
"Aku bersama Surya, Atan, dan Wiyono segera pulang pada hari Minggu. Sedangkan sisanya masih menjalani perawatan. Total dari 26 rombongan kami, lima orang meninggal, lima orang luka ringan, dan 16 luka parah," kata Febri.
Di hari pertama masuk kantor, suasana berduka kental sekali terasa. Kesibukan beberapa hari sejak mereka masuk kantor hanya berkisar menerima ungkapan belasungkawa dari relasi dan kerabat dekat, juga mengurus teman-teman yang masih dalam perawatan di rumah sakit di Bali.
"Dalam suasana begini, kadang kesedihan tiba-tiba muncul, terutama saat membaca dan menonton berita ledakan bom yang begitu gencar diliput media massa," ungkap Febri.
Kini suasana kantornya sudah berangsur pulih. "Aku sungguh bersyukur masih diberi umur panjang. Mungkin Tuhan masih memberiku kesempatan untuk memperbaiki hidupku," bilang Febri bijak. "Saya akan mengisi sisa hidup ini dengan hal-hal positif dan kalau bisa menolong orang yang membutuhkan, sebanyak-banyaknya," begitu janji Febri.
Kisah yang ternyata tak hanya menyimpan trauma, tapi juga hikmah. Setidaknya, buat Febrian Indri Wahyuningrat.