Penulis
[ARSIP Intisari]
Pariwisata Bali, yang berpengalaman mengatasi krisis, kali ini tak berdaya. Surutnya jumlah turis ketika meletus Perang Teluk (1991), isu makanan beracun, aneka penyakit, dan virus ensefalitis (radang otak), disusul tragedi WTC (2001) paling lama pulih dalam enam bulan. Tapi bom di Denpasar dan Kuta 12 Oktober 2002 (Bom Bali I) benar-benar membenturkan industri pariwisata Bali yang pada dasarnya memang “cair” dan labil pada ketidakpastian.
Penulis: Mayong Suryo Laksono & I Gede Agung Yudana, tayang di Majalah Intisari November 2002
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Satu tahun, satu bulan, dan satu hari lewat dari Tragedi WTC, 11 September 2001, pariwisata Bali baru menuju kebangkitan. Itulah masa-masa mendekati akhir tahun, ketika hotel dan sektor terkait memanen keuntungan karena banyaknya jumlah wisatawan asing maupun domestik.
Ketika itu, tingkat hunian penginapan telah mencapai 60-70%. Tapi apa boleh buat, bom meledak di kawasan Renon, Denpasar, dan Jalan Legian, Kuta. Tak ada korban di Renon, namun di Kuta, hampir 190 manusia kehilangan nyawa dan 300-an lainnya luka-luka.
Sabtu, 12 Oktober 2002, sekitar pukul 23.15 WITA, Sari Club Bar dan Paddy's Restaurant mendekati puncak keriuhan. Aktivitas di kedua tempat berseberangan, dipisahkan Jl. Legian selebar 6 m yang hampir selalu macet, itu selalu tinggi setiap malam. Apalagi Sabtu malam.
"Ledakan pertama tidak besar. Kami kira tabung gas atau trafo listrik. Tapi sekitar empat-lima detik berikutnya, ledakan sangat besar. Bumi bergetar, kaca-kaca pecah, dan listrik mati," kata Putu, chef pada Grand Bleu Restaurant yang berjarak sekitar 150 m dari titik ledakan.
"Beberapa detik suasana sunyi senyap, disusul bunyi besi dan kayu berjatuhan, serta kaca-kaca hancur berantakan. Tak ada teriakan. Dari arah ledakan membumbung asap putih, berubah hitam, lantas disusul nyala api. Barulah orang kalang kabut dan terdengar teriakan di sana-sini," lanjut Putu.
Ida Bagus Putu, satpam pada gedung tiga lantai bekas kantor BDNI yang terletak 70-an meter di selatan Sari Club, saat itu sedang membawa segelas kopi yang baru selesai dibuatnya.
"Saya tak ingat setelah ledakan pertama atau kedua lampu langsung padam, karena selisih waktunya hanya beberapa detik. Saya langsung menyelamatkan diri dari reruntuhan kaca dan plafon. Saya rangkul istri sambil menariknya keluar. Baru beberapa langkah di antara pecahan kaca di teras, bum! Ada kepala bule jatuh di dekat kaki saya. Saya langsung tarik istri menyelamatkan diri," ceritanya.
Di Nusa Dua, sekitar 5 km dari titik ledakan, orang menyangka ada gempa. Sedangkan beberapa petani di Jimbaran, menyangka dentuman itu guntur, pertanda musim hujan segera tiba. Di Denpasar, 11 km dari Legian, ledakan pun terdengar jelas.
"Tak seorang pun menyangka itu ledakan bom, karena orang Bali belum pernah dengar suara bom," kata I Made Wendra R., pemilik Aquarius Star Hotel, sekitar 150 m dari titik ledakan. Klian (ketua adat) Desa Adat Kuta ini segera mengerahkan warga desanya untuk membantu. Dia menggunakan mobil pikapnya untuk mengangkut enam korban ke Rumah Sakit Graha Asih, disusul dengan aktivitas lain, termasuk berkoordinasi dengan aparat keamanan dan pemadam kebakaran.
"Walaupun tak ada warga Kuta yang jadi korban, kami tidak membeda-bedakan. Kami bekerja demi kemanusiaan. Malah ada tetangga saya yang sepuluh kaji bolak-balik ke rumah sakit mengangkut korban," kata Wendra.
Kegiatan tak berhenti hingga Minggu pagi dan hari-hari berikutnya. Wendra pula yang mengerahkan pemuda desa untuk menjaga keamanan, menjadi relawan, serta mengkoordinasi serangkaian upacara pada hari-hari kemudian menyusul peristiwa tragis itu.
Dari upacara permintaan maaf kepada Sang Pencipta, pembersihan dari roh-roh jahat hingga penempatan arwah para korban pada tempatnya yang layak, baik yang dilakukan di pura, mra/an, atau lokasi komersial macam hotel dan restoran.
Mendadak sepi
Berbondong-bondong turis menuju Bandara Ngurah Rai untuk mengakhiri kunjungannya di Bali saat itu juga. Empat penerbangan reguler dan satu penerbangan ekstra Garuda pada 13 Oktober, serta tiga penerbangan ekstra Qantas dan satu penerbangan ekstra Garuda pada dini hari 14 Oktober ke Australia, mengangkut 1.860 orang.
Sedangkan 22 penerbangan lain ke negara selain Australia pada tanggal yang sama, serta empat penerbangan pada 14 Oktober dini hari - di antaranya dua Garuda tujuan Bangkok dan Nagoya, mengangkut 5.012 penumpang.
Penerbangan evakuasi medis dan tak terjadwal, pada 13 Oktober membawa keluar Bali 25 orang, 19 di antaranya luka-luka. Sejak dini hari berikutnya, sampai tengah hari 14 Oktober, 10 penerbangan tak terjadwal seperti pesawat Angkatan Udara Australia dan pesawat carteran Pemerintah Federal Australia, membawa keluar 94 orang dan 79 di antaranya luka-luka.
Memang, pada hari-hari setelah peristiwa bom, penumpang dari luar negeri bukannya tidak ada, walau jumlahnya jauh berkurang. Data pada Perum Angkasa Pura Cabang Bandara Ngurah Rai mencatat, GA-707 dari Brisbane pada 14 Oktober hanya mengangkut 54 penumpang.
Cathay Pacific CX785 dari Hongkong pada 13 Oktober membawa 291 penumpang, 14 Oktober mengangkut 252, tanggal 15 hanya 93 orang, dan tanggal 16 hanya membawa 63 orang.
Singapore Airlines dari Singapura pun dalam empat hari kehilangan 80% penumpangnya. SQ142, misalnya, tanggal 13 Oktober masih mengangkut 244 penumpang. Tapi hari berikutnya hanya 142, pada 15 Oktober 76 orang, dan 16 Oktober hanya membawa 64 orang.
Seminggu setelah pengeboman Kuta, manajemen Garuda Indonesia mengumumkan hilangnya 60% penumpang luar negeri menuju Bali. Ini pukulan telak bukan cuma bagi sektor pariwisata, melainkan juga bagi bidang usaha lain yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan pariwisata.
Kargo dan moda lain pengiriman barang ke luar Bali terhenti beberapa hari, langsung mengempiskan angka devisa dari ekspor barang dan jasa yang terkait.
Akibat dalam skala nasional juga terasa, karena nilai mata uang rupiah merosot dan bursa saham anjlok. Ditjen Pajak memprakirakan hilangnya Rp10,8 triliun potensi pajak akibat peristiwa itu, dan Rp192 miliar di antaranya penerimaan dari Bali.
Betapa terasa, Bali tiba-tiba menjadi sepi. Jalanan di sekitar Kuta yang biasanya dipenuhi turis lalu-lalang, kini lengang. Banyak toko dan art shop yang tutup, sedangkan yang buka pun sepi pembeli.
Tingkat hunian hotel merosot drastis. Beberapa tamu yang tersisa sekadar menghabiskan masa liburan. Sebagian restoran atau kafe tanpa musik ingar-bingar. Harapan hotel menangguk untung di akhir tahun pupus.
Beberapa pengelola penginapan menghitung, bulan Oktober hanya sisa-sisa tamu yang ada, bulan November pasti sangat sepi, dan - semoga - bulan Desember ada turis yang bersedia datang ke Bali.
Hampir tak ada hal lain yang bisa diharapkan. Karena pemesanan tempat dan janji untuk datang banyak yang batal. Santika Beach Hotel di Kuta, misalnya, sampai pukul 13.00 WITA pada 16 Oktober 2002, kehilangan 1.403 room night akibat pembatalan pemesanan tamu sampai 5 Januari 2002.
Artinya, kalau misalnya dari pemakaian kamar saja setiap malam bisa diraih uang Rp500.000, sampai tanggal itu Santika Beach kehilangan lebih dari Rp700 juta. Agen perjalanan di banyak negara tak cuma mendapat peringatan "Travel Warning" sebagaimana pernah terjadi di masa sebelumnya, tetapi "Stop Travelling".
Semoga pelanggan kembali
Bom Bali 12 Oktober memang membuat jeri. Tapi untunglah, di antara banyak trauma, tak sedikit turis yang masih memilih Bali sebagai tujuan wisata. Dari merekalah pariwisata berharap. Juga, bagi orang asing yang tinggal atau mempunyai usaha di Bali, peristiwa 12 Oktober hanya kemalangan sesaat.
Nyoman Sudana, misalnya, karyawan Bima Sena Rendezvous dengan 28 kamar, yang terletak 200-an m dari Paddy's Restaurant, beberapa kali diyakinkan oleh tamu-tamunya.
Mereka pasti datang lagi ke Bali. "Kebanyakan tamu saya sudah langganan, sudah beberapa kali ke sini, jadi sudah tahu situasi. Mereka tidak takut, walaupun juga mempertimbangkan peristiwa ini," kata Nyoman.
"Malah pelanggan saya orang Italia bilang, 'O, bim Kuta hanya satu kali. Di negara saya perang antar mafia, serangan bom, sering terjadi'."
Banyak juga turis yang cukup rasional sekaligus bernyali, menyatakan bahwa kematian bisa terjadi di mana saja. "Tapi mungkin biaya ke sini jadi lebih mahal, karena nilai asuransi naik," kata Willem DeWilde, wisatawan asal Belanda.
Ada nada optimistis dari sektor industri kerajinan dan komoditas ekspor yang juga banyak melibatkan orang asing sebagai pelakunya. Walau sementara terpuruk, beberapa pekerja yang terlibat dengan produk ekspor meyakini, bahwa bisnis akan terus berjalan.
"Sebab, pasarnya sudah ada, dan mereka tentu tak mau usahanya gagal. Pasti semampunya diupayakan agar terus berjalan," kata Komang Suwarti, penjaga sebuah art shop di Jalan Raya Kuta yang sering melayani buyers mancanegara.
Tapi melihat kenyataan lesunya keadaan setelah peristiwa pengeboman Kuta, rasa ragu pun mencuat juga. Tak sedikit warga Bali yang pasrah pada keadaan. Seorang pelayan restoran Thailand yang mendadak sepi di Jl. Raya Kuta, dengan lugu berharap, semoga si teroris segera tertangkap dan orang tak takut lagi datang ke Bali.
"Tapi apa mungkin? Amerika saja yang sudah setahun tak sanggup membekuk teroris," ia ragu sendiri.
Agar gula tetap manis
Made Suryawan, profesional sekaligus tokoh masyarakat yang acap menjadi juru bicara 33 LSM di Bali, melihat peristiwa pengeboman itu dalam perspektif berbeda. Lepas dari kaitannya dengan afirmasi bahwa di Indonesia ada teroris, lepas dari pembalikan kenyataan bahwa Bali adalah daerah aman, ia menganggap peristiwa 12 Oktober itu sebagai puncak dari belitan persoalan Bali dalam menanggulangi dampak buruk pariwisata.
Beberapa kali Bali diganggu oleh konflik horizontal. Beberapa kali pula dicoba dipatahkan pesona, kenyamanan, dan keamanannya. Ketika Jakarta dilanda kerusuhan, Mei 1998, umpamanya, berduyun-duyun orang Jakarta pindah ke Bali. Ketika daerah lain terpuruk oleh krisis ekonomi, Bali bagai tak terpengaruh.
Saat banyak daerah lain dilanda bencana banjir atau. kekeringan, Bali tenang-tenang saja.
Menurut Made Suryawan, ledakan bom di Kuta bagai mengingatkan orang Bali bahwa pembangunan pariwisata sudah melenceng jauh. Di satu sisi memberi kehidupan bagi banyak orang, pada lain sisi menciptakan dampak yang sulit dikendalikan. Kriminalitas, misalnya, angkanya meningkat dari waktu ke waktu.
Belum lagi persoalan sosial lainnya. Dalam masalah ekonomi, makin banyak orang luar memiliki modal, menyebabkan orang Bali sendiri terpinggirkan. Akibat kuatnya tekanan ekonomi, sampai muncul sindiran, Pulau Seribu Pura itu telah berubah menjadi Pulau Seribu Ruko.
"Niat kami adalah membuat gula itu tetap terjaga kemanisannya, tapi yang datang pun tidak rakus menikmatinya hingga menghilangkan rasa manis itu," Made mengibaratkan.
Beberapa bentuk kepedulian diwujudkan setiap LSM. Ada yang menempuh cara simpatik, ada pula yang radikal dan destruktif. "Misalnya, mengusulkan bagaimana membuat Bali ribut dan tidak aman, agar orang tidak dengan gampangnya datang ke Bali," kata Made. "Tapi saya tolak gagasan itu. Saya bilang, kepedulian' tidak perlulah dengan jalan menggorok leher sendiri."
Ledakan jumlah penduduk, desakan kepentingan ekonomi, memang telah mengubah wajah Bali. Seorang pemuda di Pantai Berawa, sekitar 5 km dari Legian, yang merasakan betul dampak bom 12 Oktober berkata, "Kalau keadaan sepi turis berlangsung lama, kami tak tahu lagi harus berbuat apa. Sebagian besar orang Bali hidup dari pariwisata'. Kalau pariwisata lesu, kami menganggur. Mau kembali mencangkul, subak-subak sudah jadi hotel dan perumahan. Apa yang mau dicangkul?"
Bali pascaledakan bom 12 Oktober memang seiring dengan dampak pariwisata yang sudah mengkhawatirkan. Kalau keadaan tak kunjung membaik, atau tak dilakukan perbaikan cara menatanya, guncangan pasti terjadi. Bali memang tidak seperti dulu, dan tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
Ketika sawah masih luas dengan ternak yang tumbuh sehat, ketika warganya dengan leluasa memetik janur dari kebun sendiri untuk hiasan dan perlengkapan upacara, ketika tidak ada keributan dan pencurian, tidak ada kejahatan. Itulah Bali masa lalu.