Penulis
[ARSIP Intisari]
Ini terjadi setahun sebelum penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Sebuah fenomena langka terjadi sepanjang 2008 silam, ketika tiba-tiba saja batik ngetren sebagai busana harian. Anak muda tidak gengsi lagi berbatik-ria untuk pergi ke kampus, mal, pesta, termasuk buat gaul. Penjualan batik laris manis diserbu pembeli yang tidak mau "ketinggalan mode". Semua gara-gara Malaysia.
Penulis: Cahyo Widyasmoro
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Banyak yang sepakat, fenomena "mendadak batik" terjadi karena disulut pemberitaan media massa tentang motif-motif batik tradisional kita yang dipatenkan Malaysia. Terlebih batik bukan satu-satunya yang coba dipatenkan Malaysia. Lagu Rasa Sayange, angklung, reog, baju minang, sampai rendang.
Maka yang kemudian terjadi, batik hadir di mana-mana: mal, kampus, bahkan kantor. Batik bukan lagi bajunya "orang kondangan" atau acara formal lain. Mereka yang biasanya cuek, tidak melirik bahkan menyentuh batik, ikut-ikutan genit memakai sebagai pakaian sehari-hari.
Nasionalisme yang terusik sampai berpengaruh ke tren busana bagi sebagian orang ternyata menggelikan. Salah satunya Nusjirwan Tirtaamidjaja, perancang busana yang sudah lebih dari 40 tahun menggeluti batik.
Baca Juga: 7 Fakta Menarik dari Batik: Motif, Arti, hingga Pengakuan Dunia
"Sama Malaysia kita tidak usah kelabakan. Kalau kelabakan, berarti kita enggak pede. Mereka boleh patenkan lima atau sepuluh motif, kita punya ribuan motif kok," kata pria yang lebih dikenal sebagai Iwan Tirta itu.
Iwan mempersilakan motif-motif batik tradisional untuk dicontek. Masalahnya, apa mereka tahu filosofi dari motif-motif itu? Mereka juga tidak bisa mencuri proses membatik secara tradisional yang tidak sembarangan itu. Ada ritual-ritual khusus dalam membatik seperti puasa dan pengucapan mantra-mantra, yang tidak mudah dijalankan.
Desainer kelahiran Blora 18 April 1935 ini mengajak kita untuk memahami batik itu sendiri. Apakah kain batik yang sesuai pakem aslinya atau sekadar tekstil bermotif batik saja. Keduanya serupa tapi tak sama.
Kerjaannya pelaku industri
Batik yang asli menggunakan lilin (wax) sebagai perintang warna dalam proses pembuatannya. Begitu amanat konvensi batik internasional di Yogyakarta tahun 1997. Adanya lilin ini membuat batik memiliki bau yang khas.
Gambar pada kain juga akan terlihat tembus pada bagian sebaliknya. Pada batik superhalus, pelilinannya bahkan dilakukan dua sisi. Jadi, batik asli, jika kain dibolak-balik, tetap sama kualitasnya.
Detail gambar pada kain batik asli juga relatif sederhana. Nyaris mustahil ditemukan gambar berukuran kecil dengan warna-warna gelap akibat keterbatasan proses pelilinan. Pemakaian canting saat menggambar juga membuat ragam hias (corak) berbeda-beda pada setiap kain. Perbedaan corak juga bisa terjadi pada batik cap sekalipun.
Merujuk sederet syarat tadi, baju batik yang ngetren saat ini lebih tepat disebut tren tekstil bermotif batik. Soalnya, batik asli dari dulu hingga sekarang ternyata tetap adem ayem saja.
Achmad Haldani, seniman batik kontemporer dari Bandung, menilai tren itu sebagai kerjaannya orang-orang di industri tekstil yang jeli melihat peluang. "Momennya peristiwa Malaysia, lalu digosok ke arah nasionalisme. Padahal motivasinya tetap saja ekonomi," jelasnya.
Sisi positifnya, tren itu membuat kita tersadar, batik yang katanya sudah jadi identitas bangsa itu, selama ini malah tidak pernah kita lirik sebagai pilihan busana sehari-hari. Batik lebih banyak tergantung rapi dan wangi di almari. Ketika sudah lama dipakai atau muncul potongan baru yang lebih populer, baru kemudian orang beli baju batik lagi.
"Sampai booming yang kemarin itu, sebelumnya kita tidak pernah mengalami tren batik," begitu Haldani mencatat. Akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an, sempat muncul busana yang memanfaatkan batik-batik lama. Tapi menurut pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, waktu itu semangatnya retro.
Baca Juga: Batik Biasa Saja Sudah Mahal, apalagi Batik Sutra yang Eksklusif
Menyasar menengah ke atas
Sebagai penggiat batik tradisi, Iwan Tirta justru tidak mau jika batik dijadikan komoditas perdagangan secara jorjoran. "Pemerintah melihat batik sebagai barang dagangan saja sih, bukannya seni," katanya mengomentari istilah "ekonomi kreatif" yang beberapa tahun ini jadi wacana untuk peningkatan ekspor batik. "Tren batik itu cuma cari uang saja. Seni batiknya sendiri ditinggalkan."
Negara lain yang mengakui batik sebagai tradisi mereka, menurut Iwan, unggul dalam promosi. Indonesia sendiri malah jarang berpameran di luar negeri. Kalaupun tampil di acara-acara promosi budaya atau pariwisata mancanegara, batik dibawakan orang yang tidak tepat, seperti misalnya para miss kecantikan.
Sementara Haldani lebih prihatin pada nasib batik di negeri sendiri yang tidak beruntung. Selama ini ada dua paradigma tentang pemakai batik: orang itu priyayi atau malah ndeso sekali. Kalangan kelas menengah yang populasi dan potensi ekonominya besar malah tidak ada yang peduli.
Padahal, bukan tidak mungkin batik jadi pilihan pakaian keseharian kita, seperti halnya baju-baju tradisional yang jadi pakaian sehari-hari di Cina, India, atau Filipina. "Harus dicari ideologi dan karakter dari batik. Ideologi 'kan sifatnya bisa masuk ke jiwa," tutur pria asli Bogor ini.
Para pengusaha tekstil dan perancang busana sebenarnya punya kekuatan untuk mendekatkan batik ke masyarakat. Sayangnya, menurut Haldani, para pemodal kuat itu terkesan cuma mau melayani kalangan atas saja.
Begitu juga dengan sang perancang busana batik yang identik sebagai perancang busana kalangan atas. Belum ada upaya membuat rancang busana yang baik tapi murah sehingga terjangkau masyarakat kelas bawah.
Anggapan tadi ada benarnya jika menengok harga-harga baju batik di sejumlah butik atau gerai di Jakarta. Rerata masih terasa mahal untuk ukuran kantong masyarakat kebanyakan. Sebuah kemeja batik berkualitas sedang harganya bisa Rp 200 ribu. Lokasi tempat berjualan yang terletak di mal atau kawasan elite seolah ikut mempertegas kalangan yang disasar.
Untuk kalangan menengah ke bawah diisi batik-batik cetakan yang motifnya nyaris seragam bikinan industri kecil dan menengah (UKM) tekstil. Dalam sejarahnya, jelas Haldani, UKM inilah yang dulu berjasa "mengeluarkan" batik dari habitat asalnya di keraton ke masyarakat luas. Dari kreasi mereka pula muncul motif-motif pesisiran seperti batik Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Barat.
Baca Juga: Batik Betawi Hidup Lagi Lewat Batik Seraci, Ada Monas dan Si Pitung di Dalamnya
Batik ramah tradisi
Haldani mengakui bahwa lebih memasyarakatkan batik jelas bukan perkara gampang, meski juga bukan mustahil. Apalagi kalau bisa masuk ke anak muda yang dikenal sangat peduli mode.
"Harus ditemukan batik yang gue banget itu seperti apa wujudnya. Bahasa-bahasa anak muda itu harus diterjemahkan. Jadi nantinya memakai batik jadi pilihan keseharian mereka," jelas dosen yang dikenal akrab dengan mahasiswanya ini.
Toh cara ini tidak pula menjamin anak muda suka batik. Salah satu merek internasional, Adidas, pernah mencoba melakukannya dengan memasarkan pakaian dan sepatu olahraga bermotif batik.
"Tapi gagal. Soalnya anak muda bilang, 'gue juga enggak gitu-gitu banget'," kata Haldani. Namun, mau tak mau kesan batik yang formal harus dikikis habis. Batik harus bisa untuk santai, ceria, atau bisa dipadu jin dan sneakers.
Perkembangan batik juga terhambat "perdebatan" klasik antara pihak yang ingin melestarikan batik sesuai pakem tradisionalnya dengan mereka yang mencoba memperbarui. Batik-batik kreasi baru dari para pembatik generasi muda kerap mendapat cibiran dari para perancang batik yang sudah lebih dulu mapan.
Padahal menurut Haldani, dulu para perancang itu juga melakukan terobosan dengan mempopulerkan batik-batik yang dulunya hanya terbatas untuk kalangan istana saja. Mengapa sekarang terjadi pertentangan?
Karena itu, ia selalu meminta para mahasiswanya untuk mengambil jalan tengah: kenali filosofi batik, tanpa harus melibatkan diri dalam hakikatnya.
"Mengenal itu perlu agar selanjutnya kita dapat berkreasi dengan sadar," begitu selalu pesannya tentang etika berbudaya. Mahasiswa harus terus berkreasi, agar kata "pelestarian" jangan cuma menjadi jargon, sementara batiknya sendiri malah mandek.
Dengan karya-karya yang disebutnya ramah tradisi itu, batik terbuka untuk dikawinkan dengan berbagai motif dari daerah lain. Motif-motif dari Jawa yang selama ini mapan, bisa dipadukan dengan Sumatra, Kalimantan, bahkan Papua. Batik tidak akan mati, justru semakin hidup dan kaya kreativitas.
Catatan tambahan:
Setelah sempat ngetren pada 2008, pada 2009, tepatnya 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan Karya Agung Budaya Lisan dan Nonbendawi dari Indonesia. Ketika itu batik resmi menjadi bagian dari 76 seni dan tradisi dari 27 negara yang diakui UNESCO.
Proses peresmian batik sebagai Warisan Budaya Bukan Benda itu berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 2 Oktober 2009. Kini, pada tanggal yang sama, masyarakat Indonesia merayakan Hari Batik Nasional.
Menurut Kompas.com (2021), perjalanan batik hingga diakui menjadi warisan budaya dunia tak benda ini bermula pada 2008. Ketika itu pada 4 September 2008, Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, mewakili pemerintah dan komunitas batik Indonesia, mengajukan batik Indonesia untuk mendapatkan status intangible cultural heritage (ICH).
Pengajuan itu resmi diterima oleh kantor UNESCO di Jakarta pada 9 Januari 2009. Beberapa bulan kemudian, yakni pada 30 September 2009, UNESCO melalui situs resminya mengumumkan bahwa batik Indonesia masuk ke dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia UNESCO.
Menurut catatan Harian Kompas (2009), beberapa hari kemudian, tepatnya pada 2 Oktober 2009, sidang keempat Komite Antar-Pemerintah tentang Warisan Budaya Nonbendawi meresmikan batik menjadi bagian dari Warisan Kemanusiaan Karya Agung Budaya Lisan dan Nonbendawi di UNESCO.
Batik menjadi satu-satunya warisan budaya milik Indonesia dari 76 seni dan tradisi dari 27 negara yang diakui UNESCO.
Pengakuan batik menjadi warisan budaya dunia tak benda itu membuat Pemerintah Indonesia mengemban tanggung jawab baru, yakni melestarikan batik. Oleh karena itu, pada 17 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2009. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa Hari Batik Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober, tanggal di mana batik diakui dunia sebagai warisan budaya tak benda.
Peringatan Hari Batik Nasional bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia dalam melindungi dan mengembangkan batik Indonesia.