[ARSIP Intisari]
Tak semudah membatik mori, kain sutera butuh penanganan teliti. Tak heran harga sepotongnya sampai jutaan rupiah. Seperti dituturkan wartawan Intisari L.R. Supriyapto Yahya, pengolahan benang sutra hingga jadi kain batik perlu waktu 3 bulan. Belum lagi kerumitan dan keuletan dalam pemeliharaannya.
Penulis: L.R. Supriyapto Yahya, tayang di Majalah Intisari pada Maret 1992
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - Begitu peragawati terkenal itu berjalan melenggok dengan anggunnya di atas catwalk sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, segera saja tepuk tangan hadirin membahana. Penonton tentu saja bukan terpesona dengan kecantikan si kapstok berjalan, tetapi juga karena gaun yang diperagakannya memang menunjukkan mutu serta kelasnya.
Ya, yang diperagakan itu hasil karya seorang perancang terkenal.
Namun selain si peragawati sendiri, yang dikenal selalu nama perancangnya. Pernahkah orang berpikir bahwa kesuksesan itu semata-mata bukan hanya antara dua pihak saja, si perancang dan si peragawati?
Bahwa keterlibatan dua pihak di atas itu sudah tentu, tapi ada satu pihak lain lagi yang sering kali dilupakan, padahal tanpa dia tak mungkin sebuah pergelaran mode akan terlaksana. Dialah perajin, baik perajin batik maupun tenunan lain.
Jika peragaan busana selalu mengambil tempat di hotel-hotel mewah berbintang macam di Jakarta, Surabaya, dsb., justru para perajin ini sering kali hidup dalam ketenangan kota kecil. Yusman Siswandi (ketika diwawancara Intisari pada 1992 berusia 43 tahun, red), contohnya, salah seorang perajin batik sutera yang menetap di Solo.
Laki-laki berperawakan kecil ini mungkin tidak banyak yang mengenalnya, tapi para pelanggan Bin's House, sebuah butik papan atas di Jakarta yang menyediakan berbagai keperluan pakaian wanita dan sutera, pasti sudah pernah memakai atau sekurang-kurangnya pernah melihat serta mengagumi hasil karyanya.
Mengapa Yusman memilih Solo sebagai basis workshop-nya, ternyata ada alasannya. "Karena sejak kecil umumnya orang Solo sudah akrab dengan seni membatik. Jadi sudah memiliki keahlian. Mereka tinggal diberi pola dasar, kemudian sudah bisa jalan sendiri," katanya.
Yusman selalu memberi kebebasan kepada karyawannya untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam menciptakan goresan-goresan detail dan sebagainya, meskipun untuk pola keseluruhannya dia dan istrinya, Tinke, yang menciptakannya.
Dalam penampilan Yusman memang terlihat santai, tetapi tidak demikian dalam bekerja. "Kami mempunyai standar kualitas dan akan selalu berusaha meningkatkannya," kata Tinke Rafiadi Lubis, yang menjadi tangan kanan suaminya dalam soal pemantauan kualitas.
Bagaimana Yusman berkenalan dengan tenun dan batik?
Antropolog lulusan UGM ini sudah sejak tahun 70-an, tepatnya tahun 1973, menyusun rencana. Tahun 1974 ia melakukan penelitian ke beberapa tempat di Indonesia yang terkenal karena hasil tenunnya, seperti Makassar, Palembang, Bali, Singkawang, dan Tuban.
Bersama rekannya, Baron Manansang, dia membuat lurik dan tenun ikat sutra. Setelah itu mereka mulai melakukan modifikasi.
Dalam soal membatik, secara jujur Yusman mengakui bahwa dia tidak memiliki pendidikan formal. Karena niat dan keseriusanlah dia berhasil.
Dibantu komputer
Keseriusan Yusman dan istrinya dalam menangani bisnisnya itu terlihat dan jumlah karyawannya yang mencapai lebih dari seratus orang. Mereka terdiri antara lain atas para pemintal sutera mentah menjadi benang, penyepuh benang, dan pembatik.
"Dalam berproduksi Yusman berusaha menggunakan bahan sutra produksi dalam negeri, antara lain dari Pati (Jateng), Sukabumi (Jabar), dan Ujungpandang. "Hanya 10% saja bahan yang masih diimpor dari Cina, yaitu benang yang belum bisa diperoleh di sini,” katanya.
Kalaupun ada yang berani melakukan investasi untuk memproduksi benang jenis itu, pasti akan mahal. Benang itu dimanfaatkan Yusman hanya untuk struktur tertentu saja.
Menurut Yusman, biasanya orang memproduksi batik sutra dari sutra yang sudah jadi, bisa dari sutra Thailand, Cina, maupun beberapa negara Eropa yang terkenal karena kehalusan sutranya. Tapi hal ini tidak dilakukan Yusman.
Mulai dan merancang, menenun sampai final dengan bentuk serta motif yang dikehendaki, Yusman memproduksinya sendiri. "Kalau mau dikatakan suatu kelebihan, itulah kelebihan kami," katanya Yusman dengan bangga tanpa maksud menyombongkan diri. Dengan demikian, orang tidak akan mungkin memperoleh motif karya Yusman di pasaran.
Melihat urut-urutan produksi di workshop Yusman, membatik pada kain sutra memang merupakan suatu pekerjaan panjang dan rumit.
Sebagai perusahaan yang juga sudah memanfaatkan kecanggihan komputer, Yusman juga tidak menyia-nyiakan perangkat canggih itu dalam mendesain. "Pokoknya, komputer sangat membantu memaksimalkan kreativitas, selain meringankan pekerjaan saya,” katanya ketika ditanya alasan penggunaan alat tersebut.
Apalagi setiap hari Yusman harus mencari motif baru. Dengan komputer-lah semua ini dilakukannya. Melalui layar monitor, Yusman atau Tinke, tinggal menyaksikan apakah itu sudah sesuai dengan daya imajinasi dan kreativitas yang mereka tuangkan.
Setelah desain baru itu selesai, tinggal 'ditembak' dengan film diapositif. Langkah selanjutnya, slide yang cocok diterawangkan ke layar sesuai ukuran yang diinginkan. Lalu dijiplak ke kertas pola.
Dibantu oleh istrinya yang psikolog dan berasal dari Medan itu, dalam beberapa tahun terakhir Yusman sudah menciptakan tidak kurang dari seratus lembar batik sutra yang pola dan warnanya berlainan.
Dalam soal motif dan warna, laki-laki yang senang berpakaian santai dengan celana panjang batik dan kaus oblong ini, memang tidak mau terpaku pada sesuatu yang tradisional saja. Dia berusaha memadukan sesuatu yang tradisional dengan hasil rancangannya sendiri, sehingga akan diperoleh sesuatu yang baru, selain melakukan modifikasi.
Tiap-tiap perancang biasanya memiliki ciri khas sendiri, sehingga sepintas saja orang sudah tahu karya siapa yang ada di hadapannya. Namun, tidak demikian dengan hasil karya Yusman.
"Karena variasi ciptaan saya terlalu luas sehingga kadang-kadang membingungkan orang. Tapi para pelanggan saya umumnya akan tahu bahwa itu suatu karya saya, meskipun motif dan warnanya sering berubah," katanya.
Kesulitan itu memang terlihat dari motif yang tergabung dalam hasil-hasil karyanya, karena di dalamnya bisa didapati motif tenun ikat, batik tradisional, jumputan, dan sebagainya.
Dari beberapa contoh yang diperlihatkan dan terpajang di ruang tamunya, pasangan ini tampaknya lebih senang memilih warna dan motif yang berhubungan dengan alam, seperti warna tanah dan motif daun-daunan serta hewan.
Soal warna juga, mereka tidak mau serampangan. Pasangan antropolog dan psikolog ini pernah meluangkan waktu untuk meneliti penggunaan beberapa pewarna alami, seperti tarum, misalnya.
Berkali-kali mereka mendatangi tempat-tempat yang merupakan penghasil tenunan, antara lain Tenganan Pegringsingan di Bali, Kerek di Tuban, Sumba, Lombok, dll. Dalam waktu sekitar tiga tahun, bersama kerabatnya, Yus berusaha menguasai teknik dengan pewarna alami ini.
Setelah mengalami berbagai macam kegagalan, akhirnya Yus yang tidak cepat putus asa ini berhasil bagaimana mengkombinasikan bahan pewarna alami ini, meskipun belum seratus persen.
"Berlainan dengan pewarna sintetis yang sudah memiliki standar, pewarna alami sulit sekali ditentukan standarnya," ungkapnya.
Diekspor ke Jepang
Orang yang melihat hasil akhir batik sutra karya Yusman ini boleh berdecak kagum, karena selain indah, juga halus. Jadi soal harga yang antara Rp100 ribu - Rp1 juta (untuk ukuran tahun 1992 itu adalah nilai yang begitu besar), untuk sehelai batik sutra kreasinya, untuk dibilang mahal itu relatif. Sedangkan untuk selembar kemeja dari sutra Cina, Yusman mamatok harga antara Rp150 ribu-Rp200 ribu.
Jika melihat proses yang rumit dan lama, orang pasti tidak akan sayang untuk merogoh kantungnya. Bayangan saya untuk membuat batiknya saja diperlukan waktu sekitar tiga minggu.
Sedangkan untuk sampai bentuk jadinya dibutuhkan waktu tidak kurang, antara 1,5- 3 bulan. Apalagi membatik pada sutra tidak semudah membatik pada kain mori umumnya, karena sering kali canting mudah terkait pada sutera yang halus dan tipis itu.
Dalam mencipta, pasangan ini sepakat untuk tidak memproduksi suatu motif dalam jumlah banyak. "Biasanya kami menciptakan suatu motif dengan warna yang sama hanya antara satu sampai lima potong saja. Selain agar eksklusif, supaya orang tidak bosan melihat hasil karya kami,” kata Tinke memberi alasan.
Meskipun kini sudah tak terhitung desain yang lahir dari tangan pasangan ini, mereka belum berniat untuk mematenkan karya mereka. Alasannya?
"Biar saja jika ada yang mau meniru hasil karya kami. Dengan demikian kami pun semakin terpacu untuk menciptakan sesuatu yang baru,” kata Yusman, yang pernah meraih piala The Fashion Foundation dan terpilih sebagai pemenang lima besar The International Textile Design Contest di Tokyo pada bulan Desember 1987.
Meskipun jauh dari gegap gempita mode ibukota, Yusman dan Tinke tetap mengikuti trend mode yang terus berputar sehingga mereka tidak merasa ketinggalan. Begitu pula jalur pemasarannya.
Selain melayani pembeli di workshop-nya, dia memasarkan hasil karyanya melalui Bin's House di Jakarta. Kebanyakan produksi Yusman berbentuk batik sutra lembaran, tetapi mereka juga sudah menyediakan yang siap pakai meskipun belum banyak.
"Hanya sesuai dengan permintaan saja," kata Tinke. Tapi untuk yang gemar memakai scarf dan selendang mereka pun menyediakannya. Pasangan ini juga mengekspor karya mereka ke Jepang.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR