Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Indonesia, negeri yang merdeka berkat kobaran semangat juang para pahlawan, memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya di tahun 1959.
Setelah melewati masa Demokrasi Liberal yang penuh gejolak, sang proklamator, Presiden Soekarno, mengibarkan panji Demokrasi Terpimpin.
Sebuah sistem yang digadang-gadang akan membawa stabilitas dan persatuan, namun justru menuntun negeri ini ke lorong-lorong kekuasaan yang kelam.
Pada tanggal 5 Juli 1959, bak petir di siang bolong, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang membubarkan Konstituante dan kembali memberlakukan Undang-Undang Dasar 1945.
Demokrasi Liberal yang dianggap gagal menciptakan stabilitas politik pun berakhir. Dekrit ini menjadi tonggak awal berdirinya Demokrasi Terpimpin, sebuah sistem yang menempatkan presiden sebagai pemegang kendali utama dalam pemerintahan.
Soekarno, sang pemimpin kharismatik, memiliki visi besar untuk Indonesia. Ia mendambakan persatuan dan stabilitas nasional di tengah kemajemukan bangsa.
Demokrasi Terpimpin dianggap sebagai jalan terbaik untuk mewujudkan cita-citanya. Ia percaya bahwa dengan kepemimpinan yang kuat dan terpusat, Indonesia dapat mengatasi berbagai tantangan dan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.
Konsep Nasakom: Harmoni yang Semu
Dalam Demokrasi Terpimpin, Soekarno memperkenalkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) sebagai landasan politik.
Ia berusaha menyatukan tiga kekuatan besar yang ada di Indonesia untuk bersama-sama membangun bangsa.
Namun, konsep ini justru menimbulkan friksi dan persaingan antar kelompok, yang pada akhirnya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Di bawah Demokrasi Terpimpin, peran parlemen semakin terpinggirkan. Presiden memiliki wewenang yang sangat besar, bahkan dapat membubarkan parlemen jika dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem pemerintahan, di mana kekuasaan terpusat di tangan presiden dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya menjadi lemah.
Soekarno juga memperkenalkan Manipol-USDEK (Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara) sebagai pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia.
Doktrin ini berisi ajaran-ajaran Soekarno tentang politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Namun, Manipol-USDEK justru membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, karena setiap warga negara dituntut untuk setia dan mengikuti ajaran-ajaran tersebut.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Soekarno membentuk berbagai lembaga ekstrakonstitusional, seperti Front Nasional dan Dewan Pertimbangan Agung.
Lembaga-lembaga ini memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan politik, meskipun tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini semakin mengikis nilai-nilai demokrasi dan memperkuat cengkeraman kekuasaan presiden.
Di era Demokrasi Terpimpin, Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan negara-negara Barat, terutama Malaysia dan Belanda.
Soekarno dengan lantang menyuarakan anti-imperialisme dan kolonialisme, serta memperjuangkan kemerdekaan bagi negara-negara jajahan.
Politik konfrontasi ini membawa Indonesia ke kancah internasional, namun juga menguras sumber daya dan energi bangsa.
G30S/PKI: Tragedi yang Mengguncang Negeri
Pada tanggal 30 September 1965, terjadi peristiwa G30S/PKI yang mengguncang Indonesia. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam perjalanan Demokrasi Terpimpin.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelumnya menjadi salah satu kekuatan politik utama, dituduh sebagai dalang di balik peristiwa tersebut.
Pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI pun terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Tragedi G30S/PKI menciptakan kekacauan politik dan keamanan di Indonesia. Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Supersemar menjadi awal dari berakhirnya Demokrasi Terpimpin dan dimulainya era Orde Baru.
Demokrasi Terpimpin merupakan periode yang penuh paradoks dalam sejarah Indonesia.
Di satu sisi, Soekarno berhasil menciptakan stabilitas politik dan membawa Indonesia ke panggung dunia.
Namun di sisi lain, Demokrasi Terpimpin juga mencederai nilai-nilai demokrasi, membatasi kebebasan, dan menciptakan kultus individu.
Sumber:
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kahin, G. McT. (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Feith, H. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Cribb, R. (1991). Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949. Sydney: Allen & Unwin.
Legge, J. D. (1972). Sukarno: A Political Biography. London: Allen Lane.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---