Mengapa DI/TII Tak Merengkuh Dukungan Umat?

Afif Khoirul M

Penulis

Pemberontakan DI/TII tak hanya terjadi di Jawa Barat. Di Jawa Barat, gerakan serupa juga terjadi, dipimpin oleh Amir Fatah, mantan pimpinan Hizbullah.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di negeri zamrud khatulistiwa, di mana azan berkumandang lima kali sehari dan masjid-masjid berdiri megah di setiap sudut kota, Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.

Namun, sejarah mencatat sebuah ironi yang menggugah: gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang bercita-cita mendirikan negara Islam, justru tak mampu merengkuh dukungan mayoritas rakyat.

Gerakan DI/TII lahir dari rahim ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan.

Tokoh-tokoh seperti Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Daud Beureu'eh di Aceh merasa bahwa perjuangan umat Islam selama masa revolusi tak dihargai.

Perjanjian Renville, yang dianggap merugikan wilayah Indonesia, menjadi pemicu utama pemberontakan di Jawa Barat.

Sementara itu, di Aceh, kekecewaan terhadap pembubaran Provinsi Aceh dan penghapusan jabatan gubernur militer memicu perlawanan sengit.

Cita-cita DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) berlandaskan keyakinan bahwa sistem pemerintahan Islam akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Namun, mimpi ini terbentur pada realitas yang kompleks. Mayoritas umat Islam Indonesia, meskipun taat beragama, tetap setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila.

Mereka percaya bahwa Pancasila, meskipun bukan berasal dari ajaran Islam, tetap mampu mengakomodasi nilai-nilai Islam dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh rakyat.

Perjuangan Kemerdekaan yang Milik Semua

Perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan seluruh rakyat, tanpa memandang agama, suku, atau golongan. Umat Islam, bersama dengan umat beragama lainnya, bahu-membahu melawan penjajah dan mengorbankan jiwa raga demi meraih kemerdekaan.

Oleh karena itu, gagasan untuk memecah belah bangsa dengan mendirikan negara Islam dipandang sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan para pahlawan.

Para ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahid Hasyim, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa pemberontakan DI/TII adalah tindakan haram.

Fatwa ini memiliki pengaruh besar dalam meredam dukungan umat Islam terhadap gerakan tersebut. Ulama-ulama tersebut menegaskan bahwa NKRI adalah negara yang sah dan sesuai dengan syariat Islam, sehingga wajib bagi setiap muslim untuk mendukung dan mempertahankannya.

Rakyat Indonesia telah belajar dari sejarah bahwa persatuan dan kesatuan adalah kunci utama dalam membangun bangsa yang kuat dan bermartabat.

Perbedaan agama, suku, dan budaya bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan secara harmonis. Semangat gotong royong dan toleransi telah menjadi perekat yang mempersatukan bangsa ini dalam menghadapi berbagai tantangan.

Operasi Militer yang Mengakhiri Pemberontakan

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menghadapi pemberontakan DI/TII. Operasi militer besar-besaran dilancarkan untuk menumpas gerakan tersebut.

Di Jawa Barat, Operasi Pagar Betis dan Operasi Bratayudha berhasil mengakhiri perlawanan DI/TII pada tahun 1962.

Sementara itu, di Aceh, pemberontakan baru dapat dipadamkan pada tahun 1962 setelah Daud Beureu'eh menerima tawaran amnesti dari pemerintah.

Gerakan DI/TII meninggalkan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Bahwa persatuan dan kesatuan adalah modal utama dalam membangun bangsa yang kuat.

Bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk berpecah belah, melainkan kekayaan yang harus dijaga dan dirawat. Bahwa toleransi dan saling menghormati adalah kunci untuk hidup berdampingan secara harmonis.

Di bawah naungan cahaya bulan, kita merenung tentang sejarah bangsa yang penuh liku. Gerakan DI/TII, meskipun tak berhasil meraih dukungan mayoritas umat Islam, tetap menjadi bagian penting dari perjalanan panjang Indonesia menuju kemerdekaan dan persatuan.

Semoga kita selalu belajar dari sejarah, agar kesalahan masa lalu tak terulang kembali. Semoga persatuan dan kesatuan senantiasa terjaga, agar Indonesia tetap tegak berdiri sebagai bangsa yang besar dan bermartabat.

Sumber:

Sejarah Nasional Indonesia VI oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia oleh Anton Lucas

Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia oleh Bahtiar Effendy

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait