Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Senja meredup di atas geladak USS Renville, kapal perang Amerika yang menjadi saksi bisu sebuah perjanjian yang kelak mengguncang sendi-sendi perjuangan bangsa.
Tanggal 17 Januari 1948, delegasi Indonesia yang dipimpin Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian dengan Belanda.
Harapan akan perdamaian dan pengakuan kedaulatan penuh pupus sudah.
Renville, alih-alih menjadi jembatan menuju kemerdekaan, justru menjadi jurang pemisah yang menganga lebar.
Keputusan ini menyisakan luka mendalam, terutama bagi laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah yang telah berjuang mati-matian mempertahankan tanah Sunda dari cengkeraman Belanda.
Mereka merasa dikhianati, ditinggalkan oleh pemerintah pusat yang seolah tak peduli pada nasib rakyat Jawa Barat.
Luka yang Menganga di Tanah Pasundan
Kekecewaan terhadap Perjanjian Renville menjadi bara api yang menyulut semangat perlawanan di Jawa Barat.
Tokoh-tokoh karismatik seperti Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo melihat perjanjian ini sebagai bukti ketidakmampuan pemerintah Republik dalam melindungi rakyatnya.
Kartosuwiryo, yang sebelumnya merupakan Menteri Muda Pertahanan, memutuskan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949.
Gerakan separatis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pun lahir dari rahim kekecewaan ini. DI/TII bercita-cita mendirikan negara Islam yang merdeka dan berdaulat, terlepas dari Republik Indonesia yang dianggap telah gagal memenuhi janji-janjinya.
Jawa Barat, dengan segala potensi dan sumber dayanya, menjadi medan perjuangan utama bagi DI/TII.
Perjuangan di Tengah Belantara
Perjuangan DI/TII di Jawa Barat bukanlah kisah heroik yang mudah diceritakan. Mereka harus berhadapan dengan dua musuh sekaligus: tentara Belanda yang masih bercokol di beberapa wilayah, dan tentara Republik yang menganggap mereka sebagai pemberontak.
DI/TII bergerilya di hutan-hutan lebat, membangun basis-basis perlawanan di pelosok-pelosok desa.
Rakyat Jawa Barat terbelah dalam sikapnya terhadap DI/TII. Sebagian mendukung perjuangan mereka, melihat DI/TII sebagai pejuang sejati yang membela kepentingan rakyat.
Namun, sebagian lainnya memilih setia kepada Republik, menganggap DI/TII sebagai ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Perjuangan DI/TII di Jawa Barat berlangsung selama bertahun-tahun, memakan korban jiwa dari kedua belah pihak.
Pemerintah Republik melancarkan operasi militer besar-besaran untuk menumpas gerakan separatis ini. Puncaknya, pada tahun 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap dan kemudian dieksekusi.
Dengan ditangkapnya Kartosuwiryo, gerakan DI/TII di Jawa Barat pun perlahan-lahan meredup. Namun, luka yang ditinggalkan oleh Perjanjian Renville dan pemberontakan DI/TII tak mudah hilang begitu saja.
Kenangan akan perjuangan dan pengorbanan mereka tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa Barat.
Renville: Pelajaran Berharga bagi Bangsa
Kisah hubungan antara Perjanjian Renville dan gerakan separatis DI/TII di Jawa Barat adalah pengingat akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat dapat menjadi benih perpecahan yang mengancam kedaulatan negara.
Pemerintah harus selalu mendengarkan aspirasi rakyat, terutama dari daerah-daerah yang merasa terpinggirkan.
Dialog dan komunikasi yang terbuka adalah kunci untuk mencegah konflik dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber:
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 1992. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Perang Kemerdekaan 1945-1950. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C. 2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1300. 4th Edition. London: Palgrave Macmillan
Kahin, George McTurnan. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---