Angin berembus pelan melalui lembah-lembah hijau Parahyangan, membawa serta aroma teh yang baru dipetik dan bisikan-bisikan masa lalu. Di tengah keindahan alam yang memukau, tersimpan kisah pilu tentang perjuangan sia-sia sebuah kelompok yang terjebak di antara arus sejarah yang tak terbendung.
Mereka adalah Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah gerakan separatis yang berjuang mempertahankan Negara Pasundan, sebuah entitas politik yang lahir dari rahim kolonialisme Belanda.
APRA dipimpin oleh seorang mantan Kapten KNIL, Raymond Westerling, sosok karismatik yang diselimuti aura misteri dan keberanian. Westerling, yang telah menorehkan namanya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui operasi militernya yang gemilang, kini berdiri di sisi yang berlawanan.
Baginya, kemerdekaan Indonesia adalah sebuah ancaman terhadap tatanan dunia yang ia kenal dan perjuangkan.
Di balik topeng patriotismenya, Westerling dan APRA sebenarnya merindukan masa kejayaan kolonialisme Belanda. Negara Pasundan, bagi mereka, adalah simbol terakhir dari kekuasaan dan kemakmuran yang pernah mereka nikmati.
Mereka melihat Indonesia yang baru lahir sebagai sebuah negara yang rapuh dan penuh ketidakpastian.
APRA bukanlah sekedar kelompok petualang yang haus kekuasaan. Mereka memiliki keyakinan yang mendalam bahwa Negara Pasundan adalah satu-satunya jalan untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran di Jawa Barat.
Mereka khawatir bahwa Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno akan terjerumus ke dalam kekacauan dan kemiskinan.
Dengan semangat membara, APRA melancarkan pemberontakan pada tanggal 23 Januari 1950. Mereka menyerang kota Bandung dengan harapan bisa menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengembalikan Negara Pasundan ke pangkuan Belanda.
Namun, perjuangan mereka berakhir tragis. Tentara Nasional Indonesia (TNI) berhasil mematahkan perlawanan APRA dan menangkap Westerling.
Elegi Kolonialisme
Pemberontakan APRA adalah sebuah elegi kolonialisme, sebuah ratapan pilu atas masa lalu yang telah berlalu. Mereka adalah korban sejarah, terjebak dalam pusaran waktu yang tak bisa mereka kendalikan.
Mereka berjuang untuk sebuah mimpi yang telah sirna, sebuah utopia yang tak pernah bisa mereka raih.
Di balik kegagalan mereka, tersimpan kisah tentang kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan. Mereka adalah manusia-manusia biasa yang terjebak dalam situasi luar biasa. Mereka adalah patriot-patriot yang salah jalan, yang berjuang untuk sebuah tujuan yang telah usang.
Kisah APRA dan Negara Pasundan adalah sebuah pengingat bahwa sejarah bukanlah sebuah garis lurus yang menuju kemajuan. Sejarah adalah sebuah labirin yang penuh lika-liku, di mana masa lalu dan masa kini saling berkelindan.
Di tengah perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan, terdapat kisah-kisah kelam tentang mereka yang tertinggal di belakang, yang terjebak dalam pusaran waktu yang tak bisa mereka kendalikan.
Mereka adalah bayang-bayang masa lalu, yang mengingatkan kita akan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam membangun sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Mereka adalah bagian dari sejarah kita, sebuah sejarah yang harus kita pelajari dan kita hargai, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Sumber: Westerling: Kasusnya, 1950, M.C. Ricklefs, Grafiti Pers, 1990
*