Intisari-online.com -Langit Surakarta, 11 September 1948: Mentari pagi terbit dengan malu-malu, seakan enggan menyaksikan drama kelam yang akan terbentang di bawahnya.
Kota yang biasanya tenang, kini bergetar dalam ketegangan yang tak terucapkan.
Di tengah gejolak ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) muncul sebagai kekuatan yang diperhitungkan.
Dengan ideologi komunisme yang menjanjikan kesetaraan dan keadilan sosial, PKI berhasil menarik simpati banyak rakyat, terutama kaum buruh dan tani.
Namun, di balik cita-cita mulia itu, tersembunyi ambisi yang lebih besar.
PKI, di bawah pimpinan Musso, bermimpi mewujudkan revolusi proletariat di Indonesia. Mereka melihat peluang dalam situasi ketidakstabilan politik dan ekonomi yang melanda negeri.
Surakarta, kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa, menjadi salah satu panggung bagi drama politik PKI.
Surakarta: Kota Pusaka yang Terluka
Surakarta, atau Solo, adalah kota yang kaya akan sejarah dan tradisi. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri megah sebagai simbol kekuasaan dan kebudayaan Jawa.
Namun, di balik keindahannya, kota ini menyimpan luka yang mendalam akibat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan.
PKI melihat Surakarta sebagai basis strategis untuk memperluas pengaruhnya. Kota ini memiliki banyak buruh dan petani yang mudah dipengaruhi oleh propaganda komunis.
Selain itu, Surakarta juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai faksi politik yang saling bersaing, menciptakan situasi yang rentan terhadap konflik.
11 September 1948: Hari yang Kelam
Pada tanggal 11 September 1948, Surakarta terbangun dengan suasana yang berbeda. Ketegangan terasa di udara, seakan badai akan segera datang.
PKI, yang telah mempersiapkan diri secara matang, melancarkan pemberontakan bersenjata. Mereka menyerang pos-pos militer dan kantor-kantor pemerintah, berusaha mengambil alih kekuasaan di kota.
Suara tembakan memecah keheningan pagi. Asap mengepul dari bangunan-bangunan yang terbakar.
Rakyat Surakarta yang ketakutan bersembunyi di rumah mereka, sementara para pemberontak dan pasukan pemerintah terlibat dalam pertempuran sengit di jalan-jalan.
Mengapa PKI memilih Surakarta sebagai tempat pemberontakan? Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keputusan ini.
Pertama, PKI ingin menunjukkan kekuatannya kepada pemerintah dan rakyat Indonesia. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka mampu memimpin revolusi dan mewujudkan cita-cita komunisme.
Kedua, PKI ingin memanfaatkan situasi ketidakstabilan politik dan ekonomi yang melanda negeri. Mereka berharap dapat meraih dukungan dari rakyat yang kecewa dengan pemerintah.
Ketiga, PKI ingin menguasai Surakarta sebagai basis strategis untuk memperluas pengaruhnya ke daerah lain. Kota ini memiliki posisi yang penting di Jawa Tengah, sehingga dapat menjadi batu loncatan bagi PKI untuk mencapai tujuannya.
Pemberontakan PKI di Surakarta berlangsung selama beberapa hari. Pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto berhasil memadamkan pemberontakan tersebut.
Banyak korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak, termasuk warga sipil yang tidak bersalah.
Tragedi 11 September 1948 meninggalkan luka yang mendalam bagi Surakarta dan Indonesia. Pemberontakan PKI ini menjadi salah satu titik balik dalam sejarah bangsa.
Pemerintah semakin waspada terhadap ancaman komunisme, sementara PKI sendiri mengalami kemunduran akibat kegagalan pemberontakan tersebut.
Tragedi 11 September 1948 mengingatkan kita akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Kekerasan dan konflik hanya akan membawa penderitaan dan kehancuran. Kita harus belajar dari masa lalu, agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.
Surakarta, kota yang pernah terluka, kini telah bangkit kembali. Mentari pagi kembali bersinar cerah, menyinari kota yang damai dan tenteram.
Semoga kita semua dapat menjaga kedamaian ini, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Sumber:
Ricklefs, M. C. (2008).A History of Modern Indonesia Since c. 1200(4th ed.). Palgrave Macmillan.
Kahin, G. McT. (1952).Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.
Anderson, B. R. O'G. (1972).Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Cornell University Press.
Mortimer, R. (1974).Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Cornell University Press.