Find Us On Social Media :

Bagaimana Sistem Sewa Tanah Pada Masa Kolonialisme di Nusantara

By Afif Khoirul M, Minggu, 22 September 2024 | 19:30 WIB

Penyerbuan Jawa 1811 atau Perang Napoleon di Jawa 1811 memaksa Belanda untuk menyerahkan Pulau Jawa kepada Inggris.

Bagi mereka yang tidak memiliki tanah, penderitaan tidak berhenti di situ. Mereka dikenakan pajak kepala, sebuah pungutan yang harus dibayar oleh setiap individu tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka. Pajak kepala, yang seringkali memberatkan rakyat miskin, menjadi simbol lain dari penindasan kolonial.

Dampak yang Mendalam

Sistem sewa tanah memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan masyarakat Nusantara. Secara ekonomi, kebijakan ini menyebabkan kemiskinan meluas dan memperburuk kesenjangan sosial.

Rakyat, yang terbebani oleh sewa dan pajak yang tinggi, semakin terjerumus dalam lingkaran kemiskinan. Sementara itu, pemerintah kolonial dan segelintir elit lokal yang bekerja sama dengan mereka menikmati keuntungan besar dari sistem ini.

Secara sosial, sistem sewa tanah merusak tatanan masyarakat tradisional. Hak-hak komunal atas tanah, yang selama berabad-abad menjadi dasar kehidupan bersama, diabaikan. Rakyat, yang dulu hidup dalam solidaritas dan gotong royong, kini terpecah belah oleh persaingan untuk mendapatkan tanah yang subur dan menghindari beban sewa yang tinggi.

Secara politik, sistem sewa tanah memperkuat cengkeraman kekuasaan kolonial. Rakyat, yang kehilangan hak atas tanah mereka, semakin tergantung pada pemerintah kolonial.

Kebijakan ini juga menciptakan kelas baru tuan tanah absentee, yaitu orang-orang yang memiliki tanah tetapi tidak menggarapnya sendiri, melainkan menyewakannya kepada petani dengan harga tinggi. Tuan tanah absentee, yang seringkali berasal dari kalangan elit kolonial atau lokal, menjadi pilar penting dalam mempertahankan kekuasaan asing.

Meskipun menghadapi penindasan yang berat, rakyat Nusantara tidak pernah menyerah. Perlawanan terhadap sistem sewa tanah dan penjajahan secara umum terus berkobar di berbagai pelosok Nusantara.

Pemberontakan petani, gerakan sosial, dan perjuangan politik menjadi saksi bisu dari semangat rakyat untuk merebut kembali hak mereka dan tanah air mereka.

Salah satu contoh perlawanan yang paling terkenal adalah Perang Diponegoro, sebuah perang besar yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19.

Perang ini, yang dipicu oleh berbagai faktor termasuk ketidakadilan sistem sewa tanah, menunjukkan betapa besarnya kebencian rakyat terhadap penjajahan dan kebijakan-kebijakannya yang menindas.

Sistem sewa tanah pada masa kolonialisme di Nusantara adalah sebuah kisah pilu tentang perampasan hak, eksploitasi, dan perlawanan. Kebijakan ini, yang lahir dari keserakahan dan arogansi penjajah, meninggalkan luka mendalam pada masyarakat Nusantara. Namun, di tengah penderitaan dan ketidakadilan, semangat perjuangan rakyat tak pernah padam.

Mereka terus berjuang, melawan arus penindasan, untuk merebut kembali hak mereka dan tanah air mereka. Kisah ini, meskipun pahit, adalah bagian penting dari sejarah Nusantara, sebuah pengingat akan pentingnya keadilan, kemerdekaan, dan hak atas tanah bagi setiap insan.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---