Find Us On Social Media :

Bagaimana Sistem Sewa Tanah Pada Masa Kolonialisme di Nusantara

By Afif Khoirul M, Minggu, 22 September 2024 | 19:30 WIB

Penyerbuan Jawa 1811 atau Perang Napoleon di Jawa 1811 memaksa Belanda untuk menyerahkan Pulau Jawa kepada Inggris.

   

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di bawah langit Nusantara yang dulu jernih, kini terbentang awan kelabu penjajahan. Tanah yang subur, yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi rakyatnya, kini menjadi bidak dalam permainan kekuasaan asing.

Masa kolonialisme di Nusantara bukan hanya meninggalkan luka sejarah, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan masyarakat, termasuk bagaimana mereka berinteraksi dengan tanah yang mereka pijak.

Salah satu warisan paling pahit dari era ini adalah sistem sewa tanah, sebuah kebijakan yang merampas hak rakyat atas tanah mereka sendiri.

Lahirnya Land Rent System

Sistem sewa tanah, atau yang lebih dikenal dengan istilah Land Rent System, diperkenalkan oleh Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Jawa pada awal abad ke-19.

Raffles, dengan keyakinan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik sah atas seluruh tanah di Nusantara, mewajibkan rakyat untuk membayar sewa atas tanah yang mereka garap, bahkan jika tanah itu adalah warisan leluhur mereka.

"Pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah," demikianlah prinsip yang mendasari kebijakan Raffles. Prinsip ini, yang bertentangan dengan adat dan budaya masyarakat Nusantara, menjadi landasan bagi sistem sewa tanah yang eksploitatif.

Rakyat, yang selama berabad-abad hidup dalam harmoni dengan tanah mereka, kini harus tunduk pada aturan baru yang asing dan menindas.

Pelaksanaan sistem sewa tanah dijalankan dengan tangan besi. Petani, yang dulu bebas menggarap tanah mereka sendiri, kini harus membayar sewa kepada pemerintah kolonial. Besarnya sewa ditentukan berdasarkan jenis dan produktivitas tanah, sebuah sistem yang seringkali tidak adil dan memberatkan rakyat kecil.

Pembayaran sewa dilakukan dalam bentuk uang tunai, sebuah perubahan besar dari sistem tradisional yang lebih fleksibel. Rakyat, yang sebagian besar masih bergantung pada pertanian subsisten, harus berjuang untuk mengumpulkan uang tunai yang cukup untuk membayar sewa.

Banyak yang terpaksa menjual hasil panen mereka dengan harga murah atau bahkan menggadaikan tanah mereka untuk memenuhi kewajiban ini.