Bagaimana Sistem Sewa Tanah Pada Masa Kolonialisme di Nusantara

Afif Khoirul M

Penulis

Penyerbuan Jawa 1811 atau Perang Napoleon di Jawa 1811 memaksa Belanda untuk menyerahkan Pulau Jawa kepada Inggris.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Di bawah langit Nusantara yang dulu jernih, kini terbentang awan kelabu penjajahan. Tanah yang subur, yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi rakyatnya, kini menjadi bidak dalam permainan kekuasaan asing.

Masa kolonialisme di Nusantara bukan hanya meninggalkan luka sejarah, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan masyarakat, termasuk bagaimana mereka berinteraksi dengan tanah yang mereka pijak.

Salah satu warisan paling pahit dari era ini adalah sistem sewa tanah, sebuah kebijakan yang merampas hak rakyat atas tanah mereka sendiri.

Lahirnya Land Rent System

Sistem sewa tanah, atau yang lebih dikenal dengan istilah Land Rent System, diperkenalkan oleh Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Jawa pada awal abad ke-19.

Raffles, dengan keyakinan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik sah atas seluruh tanah di Nusantara, mewajibkan rakyat untuk membayar sewa atas tanah yang mereka garap, bahkan jika tanah itu adalah warisan leluhur mereka.

"Pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah," demikianlah prinsip yang mendasari kebijakan Raffles. Prinsip ini, yang bertentangan dengan adat dan budaya masyarakat Nusantara, menjadi landasan bagi sistem sewa tanah yang eksploitatif.

Rakyat, yang selama berabad-abad hidup dalam harmoni dengan tanah mereka, kini harus tunduk pada aturan baru yang asing dan menindas.

Pelaksanaan sistem sewa tanah dijalankan dengan tangan besi. Petani, yang dulu bebas menggarap tanah mereka sendiri, kini harus membayar sewa kepada pemerintah kolonial. Besarnya sewa ditentukan berdasarkan jenis dan produktivitas tanah, sebuah sistem yang seringkali tidak adil dan memberatkan rakyat kecil.

Pembayaran sewa dilakukan dalam bentuk uang tunai, sebuah perubahan besar dari sistem tradisional yang lebih fleksibel. Rakyat, yang sebagian besar masih bergantung pada pertanian subsisten, harus berjuang untuk mengumpulkan uang tunai yang cukup untuk membayar sewa.

Banyak yang terpaksa menjual hasil panen mereka dengan harga murah atau bahkan menggadaikan tanah mereka untuk memenuhi kewajiban ini.

Bagi mereka yang tidak memiliki tanah, penderitaan tidak berhenti di situ. Mereka dikenakan pajak kepala, sebuah pungutan yang harus dibayar oleh setiap individu tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka. Pajak kepala, yang seringkali memberatkan rakyat miskin, menjadi simbol lain dari penindasan kolonial.

Dampak yang Mendalam

Sistem sewa tanah memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan masyarakat Nusantara. Secara ekonomi, kebijakan ini menyebabkan kemiskinan meluas dan memperburuk kesenjangan sosial.

Rakyat, yang terbebani oleh sewa dan pajak yang tinggi, semakin terjerumus dalam lingkaran kemiskinan. Sementara itu, pemerintah kolonial dan segelintir elit lokal yang bekerja sama dengan mereka menikmati keuntungan besar dari sistem ini.

Secara sosial, sistem sewa tanah merusak tatanan masyarakat tradisional. Hak-hak komunal atas tanah, yang selama berabad-abad menjadi dasar kehidupan bersama, diabaikan. Rakyat, yang dulu hidup dalam solidaritas dan gotong royong, kini terpecah belah oleh persaingan untuk mendapatkan tanah yang subur dan menghindari beban sewa yang tinggi.

Secara politik, sistem sewa tanah memperkuat cengkeraman kekuasaan kolonial. Rakyat, yang kehilangan hak atas tanah mereka, semakin tergantung pada pemerintah kolonial.

Kebijakan ini juga menciptakan kelas baru tuan tanah absentee, yaitu orang-orang yang memiliki tanah tetapi tidak menggarapnya sendiri, melainkan menyewakannya kepada petani dengan harga tinggi. Tuan tanah absentee, yang seringkali berasal dari kalangan elit kolonial atau lokal, menjadi pilar penting dalam mempertahankan kekuasaan asing.

Meskipun menghadapi penindasan yang berat, rakyat Nusantara tidak pernah menyerah. Perlawanan terhadap sistem sewa tanah dan penjajahan secara umum terus berkobar di berbagai pelosok Nusantara.

Pemberontakan petani, gerakan sosial, dan perjuangan politik menjadi saksi bisu dari semangat rakyat untuk merebut kembali hak mereka dan tanah air mereka.

Salah satu contoh perlawanan yang paling terkenal adalah Perang Diponegoro, sebuah perang besar yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19.

Perang ini, yang dipicu oleh berbagai faktor termasuk ketidakadilan sistem sewa tanah, menunjukkan betapa besarnya kebencian rakyat terhadap penjajahan dan kebijakan-kebijakannya yang menindas.

Sistem sewa tanah pada masa kolonialisme di Nusantara adalah sebuah kisah pilu tentang perampasan hak, eksploitasi, dan perlawanan. Kebijakan ini, yang lahir dari keserakahan dan arogansi penjajah, meninggalkan luka mendalam pada masyarakat Nusantara. Namun, di tengah penderitaan dan ketidakadilan, semangat perjuangan rakyat tak pernah padam.

Mereka terus berjuang, melawan arus penindasan, untuk merebut kembali hak mereka dan tanah air mereka. Kisah ini, meskipun pahit, adalah bagian penting dari sejarah Nusantara, sebuah pengingat akan pentingnya keadilan, kemerdekaan, dan hak atas tanah bagi setiap insan.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait