Find Us On Social Media :

Saksi Bisu di Ruang Forensik Jenazah Korban G30S 1965: Tak Ada Pencungkilan Mata dan Pemotongan Kemaluan

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 14 September 2024 | 11:10 WIB

Puluhan tahun fakta kecil itu hanya beredar di ruang kelas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mengungkap kebenaran tidak berarti mengurangi derajat kepahlawanan Pahlawan Revolusi.

Setelah meneliti secara cermat, Lim menyatakan tujuh fotokopi visum yang muncul di media, persis seperti aslinya. Visum yang beredar itu hanya berupa salinan dari salinan yang dibuat untuk keperluan pengadilan Heru Atmodjo. Di dalamnya termuat secara mendetail kondisi jenazah saat ditemukan, yakni ciri fisik, pakaian, kondisi tubuh, luka yang ditemui, dan diakhiri kesimpulan dari tim dokter.

Dalam ilmu kedokteran forensik, kata-kata dalam visum selalu ditulis baku sesuai kaidah keilmuan. Karena itu, Djaja dibantu rekannya, dr. Evi Untoro, dapat merekonstruksi kondisi tubuh para korban G30S. "Korban mendapat perlakuan kejam sebelum meninggal. Tapi kami juga tidak menemukan tentang pencungkilan mata dan pemotongan penis!" kata Djaja menegaskan.

Pada visum memang tertulis kondisi biji mata beberapa korban terlihat kempis dan keluar. Tapi menurut Djaja hal itu disebabkan oleh pembusukan jenazah. Berbeda jika mata sengaja dicungkil, karena pasti akan terdapat luka, tusukan, atau tulang yang patah di sekitar mata. Kondisi kemaluan para korban juga tertulis semuanya utuh. Buktinya bisa diketahui ada empat penis dikhitan dan tiga penis yang tidak.

Tusukan bayonet

Visum menggambarkan para korban umumnya terkena tembakan senjata api, yang menghasilkan luka tembak masuk dan luka tembak keluar. Jenazah Achmad Yani luka tembaknya terbanyak, yakni 10 luka tembak masuk dan tiga luka tembak keluar. Luka tembak Soetojo Siswomihardjo, S. Parman, dan D.I. Panjaitan, umumnya terdapat di kepala.

Pada jenazah P. Tendean, terdapat penganiayaan berat yang menyebabkan luka menganga pada puncak kepala dan dahi. Kekerasan benda tumpul ditemukan pada jenazah Soetojo, S. Parman, dan R. Soeprapto. Hanya jenazah M.T. Haryono yang tidak terdapat luka tembak, melainkan luka tusuk di bagian perut tembus ke punggung, serta di bagian tangan. "Akibat ditusuk bayonet," kata Djaja menyimpulkan.

Djaja menyatakan, tidak perlu meragukan hasil kerja tim dokter yang mengautopsi korban G30S. Saat itu mereka orang-orang yang berkompeten dalam ilmu kedokteran kehakiman, yang kini istilahnya kedokteran forensik. Meski sudah terkubur empat hari, jenazah juga masih dapat diidentifikasi dengan baik.

"Sudah puluhan tahun meninggal saja tetap bisa diidentifikasi kok," kata ahli DNA yang pernah mengidentifikasi kerangka tentara Jepang yang mati di Papua pada Perang Dunia II ini. Mungkin pertanyaan yang timbul saat ini, kata Djaja: mengapa tidak dilakukan autopsi dalam lewat pembedahan?

Jawabannya, karena perintah hanya sebatas itu. Dokter tidak berhak melanggar. Termasuk ketika Lim menemukan anak peluru sepanjang 4,7 mm. Benda itu diserahkannya kepada Soeharto. Sebenarnya jika ingin dilakukan proses pemeriksaan balistik, dapat diketahui asal senjatanya.

Dimarahi putri jenderal

Lim tidak pernah risau karena puluhan tahun tidak bisa mengungkapkan kebenaran. Selama itu ia hanya bercerita kepada murid-muridnya saja saat mengajar di FKUI. Hanya terkadang ia prihatin, karena ada bagian kecil dari sejarah yang salah tapi terus beredar di masyarakat.

Akhirnya setelah beberapa kali terungkap di media, menurut Djaja, tetap tidak ada upaya dari pemerintah untuk meluruskan sejarah. Hanya Arsip Nasional Republik Indonesia pernah menghubungi Lim untuk mengkonfirmasi kebenaran salinan visum yang mereka miliki. Juga pihak TNI Angkatan Udara yang mewawancarai Lim untuk pembuatan buku sejarah mereka. TNI Angkatan Darat pernah berusaha menghubungi, tapi Lim memilih tidak menerimanya.

Lim malah pernah ditelepon anak salah satu Pahlawan Revolusi yang marah-marah, lantaran Lim dianggap berusaha menghilangkan kenyataan telah terjadi penyiksaan terhadap para korban. Dia akhirnya hanya bisa menjelaskan bahwa meluruskan fakta itu tidak akan mengurangi derajat kepahlawanan para Pahlawan Revolusi. "Justru seharusnya dia merasa lega bahwa rumor itu tidak benar," kata Djaja yang ikut mengetahui kejadian itu.

Belakangan baru Lim mengetahui, rupanya anak jenderal itu membaca sebuah artikel majalah yang keliru mengutip kata-kata Lim. Akibatnya Lim yang kena semprot. Ah, lagi-lagi kesalahan media.