Find Us On Social Media :

Saksi Bisu di Ruang Forensik Jenazah Korban G30S 1965: Tak Ada Pencungkilan Mata dan Pemotongan Kemaluan

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 14 September 2024 | 11:10 WIB

Puluhan tahun fakta kecil itu hanya beredar di ruang kelas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mengungkap kebenaran tidak berarti mengurangi derajat kepahlawanan Pahlawan Revolusi.

Mereka bekerja delapan jam dari pukul 16.30 pada 4 Oktober sampai pukul 00.30 pada 5 Oktober di kamar mayat RSPAD.

Sesuai perintah, tim dokter hanya bertugas melakukan identifikasi dan mengautopsi bagian luar jenazah. Hasilnya tim berkesimpulan, para korban mendapat perlakuan kejam di luar batas perikemanusiaan hingga menyebabkan kematian.

Tapi ada pula fakta mengejutkan: tidak ada pencungkilan mata dan pemotongan penis para korban. Tim sengaja berkonsentrasi pada pembuktian dua dugaan itu mengingat kabar sudah beredar di masyarakat.

Dalam kondisi politik saat itu, temuan fakta itu membuat tim dokter tertekan. Sebelum membuat visum et repertum (laporan pemeriksaan mayat) mereka sampai harus mengadakan pembicaraan khusus untuk menentukan sikap, akan menulis kebenaran atau mengikuti saja kabar di masyarakat. Ada ketakutan, kalau menuliskan apa adanya, mereka akan dicap pro-PKI.

Dikisahkan, setiap anggota tim mengemukakan pendapat, termasuk dr. Lim Joe Thay, yang saat itu termuda, berusia 39 tahun. "Kita dipertemukan Tuhan di sini, sehingga saya yakin Tuhan pasti mau yang terbaik. Kita juga disumpah sebagai dokter, jadi kita tulis saja apa adanya," kata Lim seperti diceritakan kembali oleh dr. Djaja Surya Atmadja, dokter ahli forensik FKUI. Bagi Djaja, sikap bekas gurunya itu sangat mengesankan.

(Ketika tim Intisari mengunjunginya pada 2009 lalu, Dr Lim sudah dua kali terkena stroke pada pertengahan tahun 2000-an dan kondisi kesehatannya dalam kondisi buruk. Dia juga sudah mulai pikun. Segala keterangan menyangkut aktivitas Lim di tahun 1965 kini diwakil- kan ke dr. Djaja. red)

Pagi itu akhirnya tim dokter bersepakat untuk menulis fakta apa adanya, dengan pertimbangan kesetiaan kepada sumpah profesi untuk menyatakan kebenaran. Mereka juga sepakat untuk siap masuk penjara karena mengambil sikap itu.

Persis seperti aslinya

Pada masa Orde Baru, sekeping kebenaran dari kamar mayat RSPAD itu tidak pernah terungkap di publik. Visum et repertum juga seolah hilang. Setelah selesai disusun, hasil visum saat itu diberikan kepada Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua) yang selalu mengawasi tim dokter saat bekerja. Dalam pengadilan militer anggota TNI AU, Heru Atmodjo pada perkara G30S, visum dijadikan alat bukti. Tapi setelah itu tak tentu rimbanya.

"Pak Lim bukan tidak mau ngomong, tapi tidak bisa ngomong" kata Djaja menjelaskan sikap Lim Joe Thay semasa Soeharto berkuasa. Pemerintah tidak menekannya, tapi Lim sadar situasi politik saat itu tidak memungkinkan orang berbicara terus terang. Akhirnya ia memilih diam.

Baru pada April 1987, Benedict Anderson, ahli Indonesia dari Cornell University, memuat visum itu pada artikelnya "How Did the Generals Die?" di jurnal Indonesia. Pada masa Reformasi, sejumlah media cetak dan media elektronik baru berani mengungkapkan fakta kecil itu meminta konfirmasi kepada Lim.

(Ketika artikel ini pertama ditulis pada September 2009, dari lima anggota tim autopsi, hanya tersisa dua orang yang masih hidup. Satu lagi dr. Liau Yan Siang yang tinggal di Amerika Serikat, tapi ia tidak pernah mau berbicara soal ini, red.)