Find Us On Social Media :

Saksi Bisu di Ruang Forensik Jenazah Korban G30S 1965: Tak Ada Pencungkilan Mata dan Pemotongan Kemaluan

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 14 September 2024 | 11:10 WIB

Puluhan tahun fakta kecil itu hanya beredar di ruang kelas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mengungkap kebenaran tidak berarti mengurangi derajat kepahlawanan Pahlawan Revolusi.

Puluhan tahun fakta kecil itu hanya beredar di ruang kelas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mengungkap kebenaran tidak berarti mengurangi derajat kepahlawanan Pahlawan Revolusi.

Penulis: Tjahjo Widyasmoro, untuk Majalah Intisari September 2009

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Oktober 1965, bisa disebut masa kelam bagi dunia pers di Indonesia. Media-media cetak kala itu, yang dipelopori media milik penguasa militer, ramai memuat kisah kekejaman dari peristiwa penculikan enam jenderal dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat. Korban dari peristiwa yang disebut Gerakan 30 September (G30S) itu kemudian kita kenal sebagai Pahlawan Revolusi.

Harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha menulis bahwa mata Jenderal Achmad Yani dicungkil. Lebih sadis lagi digambarkan, kemaluan para korban juga diiris-iris memakai silet, lalu dipermainkan oleh para pelaku yang kebanyakan perempuan.

Kisah-kisah mengerikan tentang tindakan brutal para pelaku itu akhirnya dikutip media-media lain dan menyebar luas di masyarakat.

Akibatnya sungguh di luar dugaan. Kemarahan rakyat yang antara lain dipicu kisah-kisah kekejaman itu, lalu memunculkan gelombang pembantaian terhadap massa Partai Komunis Indonesia yang dicap sebagai pelaku utama G30S. Diperkirakan sekitar lima ratus ribu sampai 1,5 juta orang mati dibunuh dengan cara-cara yang tak kalah kejam.

Tidak terbukti

Cerita "pencungkilan mata" dan "pemotongan penis" sebenarnya sudah lebih dulu beredar di masyarakat. Tepatnya sesaat setelah para korban G30S ditemukan di dalam sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, 4 Oktober 1965 pagi hari. Tujuh jenazah yang membusuk itu lalu dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk diautopsi.

Kekejaman itu pula yang didengar oleh tim dokter yang diperintahkan Pangkostrad, Mayjen. Soeharto, untuk mengautopsi jenazah. Tim terdiri atas dua dokter RSPAD, yaitu dr. Brigjen. Roebiono Kertopati dan dr. Kolonel. Frans Pattiasina; serta tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman (sekarang Ilmu Forensik) Universitas Indonesia (Ul), yaitu Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay.