Menengok Kerasnya Corak Pertandingan Sepakbola Tempo Dulu di Indonesia

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Pada prinsipnya, sepakbola zaman dulu dan sepakbola zaman sekarang tidak ada bedanya. Jikapun ada gesekan-gesekan, itu adalah sesuatu yang lumrah terjadi.

[ARSIP]

Pada prinsipnya, sepakbola zaman dulu dan sepakbola zaman sekarang tidak ada bedanya. Jikapun ada gesekan-gesekan, itu adalah sesuatu yang lumrah terjadi.

Penulis: Tanu Trh untuk Majalah Intisari

---

Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Waktu itu tahun tiga puluhan, sekitar pukul 07.30 - 08.00 petang. Kereta api Eendaagsche (Kereta api ekspres Batavia-Surabaya dan sebaliknya yang bertolak pada pagi hari dari Batavia atau Surabaya dan tiba pada malam harinya di tempat tujuan) baru saja masuk Stasiun Gambir.

Di peron penjemput-penjemput telah siap. Saya termasuk dalam kelompok penjemput yang akan menyambut kembalinya regu sepakbola Union Makes Strength (UMS) dari Kejuaraan Hwa Nan Voetbal Bond (federasi klub-klub sepakbola golongan Cina se-Jawa) di Surabaya.

Kami menunggu dengan hati berdebar-debar karena sehari-dua sebelumnya di Jakarta tersiar berita-berita bahwa banyak pemain regu tersebut menderita cedera, malah ada yang cedera berat akibat pertandingan final yang berlangsung keras lawan klub Tiong Hoa Surabaya. Keduanya adalah musuh bebuyutan.

Desas-desus menggemparkan mengatakan, penjaga gawang UMS, Tan Eng Siat, sempat tergeletak dalam keadaan pingsan di depan gawangnya sekian lama. Kata orang karena "dimakan" pemain-pemain Surabaya. Tetapi Tan Chin Hoat, bek kiri Tiong Hoa Surabaya, juga terkenal sebagai "macannya kesebelasan Soerabaiasche Voetbal Bond", (ayah si macan bola L.H. Tanoto) memberikan versi lain mengenai peristiwa ini dalam omong-omong dengan saya baru-baru ini.

Penjelasannya akan saya kutip sebentar.

Seorang demi seorang pemain-pemain UMS turun dari gerbong. Ada beberapa di antaranya yang terpincang-pincang, malah ada pula yang memakai tongkat. Suasana tertekan meliputi ofisial dan suporter UMS yang menyambut. Bukan saja karena pemain-pemainnya banyak yang "rusak", melainkan pula karena sekaligus UMS kehilangan gelar juara Hwa Nan V.B. dalam pertandingan final tersebut.

Seolah-olah, mereka bukan menyambut regu sepakbola tetapi serdadu-serdadu yang kalah perang dan kembali dalam keadaan yang menyedihkan!

Saya, tidak melihat Eng Siat turun atau dibantu turun dari gerbong. Mungkin dalam kesibukan penyambutan itu, saya tidak melihatnya turun dari kereta api dan meninggalkan stasiun. Lebih-lebih karena perhatian saya terutama tercurah kepada keadaan Oey Giok Sing, bek UMS yang paling muda usia dan berperawakan paling kecil.

Dia menuruni gerbong, terpincang-pincang. "Bukan main bola lagi deh, tetapi ‘perang saudara’," demikian salah satu komentar yang tiba di telinga saya pada waktu itu.

Kiranya komentar itu berlebih-lebihan, meskipun dapat dibayangkan bahwa pertandingan berlangsung keras lawan keras. Bukankah kedua belah pihak yang bertanding adalah musuh-musuh bebuyutan yang masing-masing berpendirian "boleh kalah dari yang lain tetapi jangan dari yang satu itu". Ditambah pula bahwa gelar juara Hwa Nan V.B. menjadi pertaruhannya.

Permainan "tempo dulu" lebih keras?

Peristiwa-peristiwa di lapangan hijau semacam yang saya paparkan di atas jumlah yang mungkin menyebabkan pecandu-pecandu sepakbola angkatan muda dewasa ini bertanya-tanya, apakah corak permainan sepakbola "tempo dulu" lebih keras, lebih kasar daripada sekarang ini?

Ditambah pula dengan cerita-cerita yang sering didengarnya dari pihak pecandu-pecandu sepakbola angkatan tua — yakni dari zaman sebelum Perang Dunia II tentang permainan gasak-menggasak dalam pertandingan-pertandingan tertentu di zaman itu.

Atau tentang teman saya "macan-macan bola" yang dikatakannya sangat disegani lawan, seperti:

Sarim, bek kesebelasan Ster anggota Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) yang di zaman setelah peleburan NIVU ke dalam PSSI, bertindak sebagai wasit, dalam kompetisi Persija. Dia juga pernah menjadi anggota pengurus bond tersebut.

Lalu Bong Joeng Khin, poros halang dan "macan UMS" yang berasal dari Bangka; Aluwi, bek dan "macan" dari klub Tjahaja Kwitang yang kemudian tampil sebagai palang pintu pertahanan klub Hercules dalam kompetisi Voetbalbond Batavia & Omstreken (VBO) di masa prafusi yang dimaksudkan di atas; Tan Chin Hwat, "macan" klub Tiong Hoa dan SVB yang sudah disebutkan di atas.

Saya tidak heran kalau julukan “macan-macan” itu mengarahkan asosiasi pikiran pecandu-pecandu sepakbola angkatan sekarang ke corak permainan yang keras bahkan kasar.

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas pernah pula diajukan kepada saya. Lebih-lebih karena saya pun pernah punya pengalaman dalam "adu rangsak" di lapangan hijau dari zaman itu. Bahkan sampai sekarang saya masih "menyimpan" souvenir dari masa itu, yakni bekas cedera pada lutut sebelah kanan (terkilir persendiannya) yang sampai sekarang — meski sudah berpuluh tahun berselang — terkadang masih menimbulkan rasa ngilu.

Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan tadi, maka — dengan maksud mencoba memberi gambaran setepat mungkin kepada generasi yang sekarang mengenai corak pertandingan-pertandingan sepakbola “tempo dulu”-- saya mengecek pengalaman-pengalaman saya dengan dua tokoh yang boleh dianggap berwewenang untuk bicara.

Saya beromong-omong santai dengan mereka pada dua kesempatan yang berbeda. Tokoh yang pertama adalah Kadir Yusuf, kolumnis sepakbola yang pasti tidak asing lagi bagi Anda, perintis, bahkan boleh dikatakan “bapak” Galatama dan pernah pula bermain dalam kesebelasan BBSA “tempo dulu”. Tokoh yang kedua adalah Tan Chin Hwat yang sudah saya sebutkan di atas.

Daripada omong-omong tadi pada akhirnya saya menarik kesimpulan bahwa corak permainan sepakbola “tempo dulu”, apakah lebih keras dan lebih kasar daripada sekarang, pada hakikatnya tidak banyak berbeda dengan apa yang biasa kita saksikan sekarang ini.

Kalau “tempo dulu” pertandingan-pertandingan pada umumnya--khususnya yang penting-penting seperti kejuaraan-kejuaraan--berlangsung keras (hendaknya dicatat bahwa keras tidak selamanya berarti kasar atau licik/curang), kiranya di sana semangat “pantang menyerah” meliputi tiap pemain jangan dilupakan hendaknya bahwa zaman itu adalah “zaman amatir murni”, di mana clubliefde (rasa cinta kepada klub) dan dedikasi penuh terhadap kesebelasan yang sedang dibela memainkan peranan penting dan mendorong timbulnya semangat bertanding yang menyala-nyala.

Sehubungan dengan ini, kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekalahan dari kesebelasan yang sedang dibela ditanggapi oleh pemain-pemain sebagai pukulan bagi dirinya pribadi. Sebaliknya kemenangan berarti kehormatan pribadi bagi mereka.

(Sepintas lalu masih cukup kuatkah rasa cinta kepada klub dan dedikasi terhadap kese belasan sekarang ini, terutama dalam lingkungan klub-klub Galatama? Semoga jawabannya kelak ternyata positif).

Kalau dalam gairah pertandingan dan semangat bertanding yang dipaparkan di atas, ada pemain-pemain dari salah satu pihak atau kedua belah pihak yang mengalami cedera bahkan cedera hebat seperti Eng Siat yang diceritakan di atas, maka itu tak lain dan tak bukan adalah ekses-ekses yang dalam pertandingan-pertandingan sepakbola sekarang ini pun belum lagi dapat dicegah secara tuntas.

Tegasnya, itu bukan ciri dari permainan sepakbola “tempo dulu”.

Ditinjau dari sudut ini maka juga “macan-macan bola” yang disebutkan di atas pada hakikatnya tidak seganas yang mungkin dibayangkan penggemar-penggemar sepakbola masa kini. Kalau mereka bermain keras (tors), itu pun didasari oleh rasa cinta kepada perkumpulan dan dedikasi kepada kesebelasannya. Dan kalau, dalam gairah pertandingan terjadi ekses-ekses yang dimaksudkan, boleh dikatakan sesuatu yang wajar.

Kiper membawa pistol? Ah…!

Terkait peristiwa yang menimpa kiper Eng Siat, Tan Chin Hwat memberi penjelasan yang agak terperinci. Didahului oleh pernyataannya yang tegas-tegas bahwa ia sama sekali tidak dipengaruhi oleh rasa berpihak ke mana pun, ia menguraikan sebagai berikut:

Pada waktu itu bola melambung ke arah gawang UMS. Kiper (Eng Siat) keluar dari sarangnya dan melompat untuk memetik bola yang tengah melayang di udara. Pada saat yang sama seorang penyerang Surabaya (Chin Hwat menyebutkan namanya Siauw Ling) berada dalam posisi yang dibelakangi oleh kiper. Dia ditekel dari belakang oleh salah seorang pemain belakang Batavia sehingga terjerembab ke depan dan membentur tubuh kiper.

Akibat benturan di belakang pinggulnya, kiper pun terdorong ke depan dengan bagian atas badan condong ke belakang. Berbareng dengan kiper, seorang penyerang Surabaya yang lain, Hian Bie, turut melompat untuk mendahului kiper dan menyundul bola ke dalam jala. Gol! Pada saat tubuh Hian Bie dengan kedua kaki tertekuk melayang turun posisi tubuh kiper tepat di bawah lututnya. Tanpa dapat dihindarkan, lutut Hian Bie masuk ke perut kiper "hingga pingsan".

Chin Hwat menekankan, ini suatu insiden yang tidak disengaja. Malah ditambahkannya bahwa seusai pertandingan, wasit yang memimpin pertandingan itu mengatakan kepadanya bahwa jika tidak terjadi gol, wasit akan memberikan penalti untuk Surabaya karena tackling dari belakang oleh bek Batavia tadi.

Versi Chin Hwat ini jauh berbeda dari pada berita-berita yang diterima di Jakarta pada masa itu, yang sempat menimbulkan rasa getir suporter UMS terhadap Tiong Hoa Surabaya.

Akan halnya kiper, saya menerima pertanyaan benarkah “tempo dulu” ada kiper yang membawa pistol untuk membela diri? Masya Allah! Benar kiper pemain yang paling rawan. Kadang-kadang ada lawan-lawan “nakal” yang mencoba mempersulit gerak-gerik kiper. Apalagi kalau ia seorang penjaga gawang yang sangat tangguh. Tetapi bagaimanapun saya belum pernah mendengar ada kiper yang membawa pistol. Juga Kadir Yusuf, maupun Chin Hwat belum pernah mendengarnya.

Chin Hwat menambahkan, bisa saja dalam pertandingan-pertandingan sepakbola di kampung — di mana baik pemain-pemain maupun wasit tidak menguasai aturan-aturan permainan, terjadi ekses-ekses — ada kiper atau pemain lain yang mem bekap senjata untuk bersiap siaga (just in case). Tetapi paling banter senjata itu golok! Lagi pula tentu saja tidak diselipkan di pinggang selama pertandingan.

Mungkin diletakkan di bawah tumpukan pakaiannya di pinggir lapangan.

Lolos dari keroyokan di lapangan

Mengenai ekses-ekses sepakbola di kampung, saya punya pengalaman yang tidak mudah saya lupakan. (Sepintas lalu, ini cerita dari masa remaja saya, ketika saya masih selincah seekor kijang!).

Saya turut memperkuat kesebelasan kampung saya, Klenteng Pekapuran, dalam suatu pertandingan persahabatan lawan suatu kesebelasan dari sekitar Grogol. Pertandingan berlangsung di sebuah lapangan terbuka di dalam komplek Rumah Sakit Jiwa Grogol. Sejumlah pasien rumah sakit tersebut, dalam pakaian seragam dan di bawah pengawasan seorang petugas turut menonton.

Sejak kick off langsung terasa suasana panas meliputi pertandingan. Pihak tuan rumah mengembangkan permainan yang keras, berbatasan kasar, disokong oleh publik, yang terutama terdiri dari penduduk kampung sekitar itu, yang meneriakkan anjuran-anjuran kepada pemain-pemain regu mereka.

Wasit tampak nya tidak menguasai peraturan permainan, ia membiarkan saja pertandingan berkembang menjadi semacam “free fight” main terjang, main sikat terus. Sampai pada suatu saat terjadi tabrakan keras antara seorang pemain regu saya dan salah seorang pemain regu tuan rumah. Terjadilah pertengkaran yang kian memuncak.

Dalam sekejap kami, regu tamu, terkurung di tengah-tengah pemain pihak tuan rumah. Publik juga menyerbu masuk ke dalam lapangan. Saya menjadi sangat cemas karena di sekeliling saya nampak wajah-wajah yang marah dan tinju-tinju yang diacungkan, siap untuk dipukulkan ke tubuh kami. Bahkan ada saya lihat sebilah golok berkilau di bawah sinar matahari sore.

Saya tidak tahu apa yang mungkin terjadi kalau saat itu seorang pria yang berperawakan kekar dan nampak berwibawa tidak menyerbu ke tengah-tengah kerumunan dan menghardik dengan suara mengguntur, “Berhenti! Jangan diapa-apakan. Mereka juga orang-orang saya!”.

Orang itu yang sebenarnya tidak kami kenal, tampaknya seorang “cabang atas” yang sangat disegani di sekitar itu. Serta merta kepungan bubar dan kami bisa pulang dengan selamat. Tiada yang mencegat kami dalam perjalanan pulang, meskipun kami berjalan kaki! Dada kami dipenuhi rasa terima kasih kepada bapak “cabang atas” tadi, yang telah menolong kami lepas dari pengeroyokan.

Tidak selamanya pertandingan sepakbola di kampung berkesudahan seperti itu. Banyak pula yang berjalan lancar. Di lain pihak tidak selamanya pertandingan-pertandingan di kota bebas dari kericuhan-kericuhan. Yang orang kota namakan “sepakbola kampungan” kadang kala kini pun nampak juga di lapangan-lapangan sepakbola di kota ingat saja kericuhan-kericuhan yang beberapa kali pernah terjadi di Stadion Utama Senayan dan beberapa kota lain.

Bahkan ada yang pernah “dihiasi” dengan vandalisme seperti pernah terjadi di Senayan beberapa tahun yang lalu di mana publik meluapkan ketidakpuasan mereka dengan merusak tempat-tempat duduk di tribun dan sebagainya.

Banyak yang dapat diceritakan tentang sepakbola “tempo dulu”. Kiranya cukilan-cukilan yang dipaparkan di atas ini cukup memberikan gambaran kepada Anda terutama angkatan zaman ini mengenai corak permainan sepakbola di masa yang lampau itu.

Artikel Terkait