Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di bawah langit malam yang bertabur bintang, kota Solo tahun 1948 berdenyut dengan semangat yang berbeda.
Bukan dentum meriam atau raungan sirene yang mengisi udara, melainkan sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah yang menggema dari Stadion Sriwedari.
Di sinilah, di tengah puing-puing perang yang belum sepenuhnya pulih, Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama digelar.
Sebuah peristiwa bersejarah yang tak hanya menjadi ajang adu kekuatan dan ketangkasan, tetapi juga simbol perjuangan dan harapan bangsa yang baru saja merdeka.
Namun, di balik gemerlap panggung olahraga, tersembunyi kisah-kisah perjuangan para atlet yang jarang terungkap. Jauh dari sorotan kamera dan gegap gempita penonton, mereka menjalani hari-hari dengan penuh kesederhanaan dan pengorbanan.
Salah satu kisah yang paling mengharukan adalah tentang bagaimana para atlet ini harus tidur beralaskan jerami di barak-barak sederhana yang didirikan di sekitar stadion.
Barak Bambu dan Kasur Jerami: Saksi Bisu Perjuangan
Bayangkan, para atlet yang telah berjuang keras di lapangan, harus kembali ke tempat istirahat yang jauh dari kata nyaman.
Barak-barak bambu yang didirikan di lapangan Mangkubumen dan barak-barak militer menjadi saksi bisu perjuangan mereka.
Dinding bambu yang tipis tak mampu menahan dinginnya malam, sementara kasur jerami yang digelar di lantai tanah menjadi satu-satunya alas tidur mereka.
Tak ada keluhan atau protes yang terdengar. Semangat juang dan rasa cinta tanah air telah membakar jiwa mereka. Mereka tahu, perjuangan mereka di arena olahraga adalah cerminan perjuangan bangsa yang baru saja lepas dari belenggu penjajahan.
Keterbatasan dan ketidaknyamanan tak mampu memadamkan api semangat yang berkobar di dada mereka.
Kwik Ing Djie: Sang Perenang Legendaris yang Rela Berkorban
Salah satu atlet yang turut merasakan kerasnya kehidupan di barak jerami adalah Kwik Ing Djie, perenang legendaris yang telah mengharumkan nama Indonesia di berbagai kejuaraan internasional.
Meski terbiasa dengan kenyamanan dan kemewahan, ia tak ragu untuk tidur beralaskan jerami demi membela tanah airnya.
Kisah Kwik Ing Djie menjadi inspirasi bagi banyak atlet lainnya. Ia membuktikan bahwa semangat olahraga sejati tak mengenal status sosial atau materi.
Yang terpenting adalah tekad dan dedikasi untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Semangat PON I: Warisan yang Abadi
PON I di Solo tahun 1948 mungkin telah berlalu, namun semangat dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tetap abadi.
Kisah para atlet yang tidur beralaskan jerami menjadi pengingat bagi generasi penerus tentang arti penting perjuangan, pengorbanan, dan cinta tanah air.
Di tengah gemerlapnya dunia olahraga modern, kita patut merenungkan kembali semangat para pahlawan olahraga masa lalu.
Mereka telah mengajarkan kita bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih prestasi. Yang terpenting adalah tekad, semangat juang, dan cinta yang tulus pada bangsa dan negara.
Sumber Artikel: Kisah Atlet PON I Solo, Tidur Beralas Kasur Jerami/Kompas.id
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---