Penulis
Menjelang proklamasi, bendera yang dijahit Fatmawati ukurannya terlalu kecil. Seorang tangan kanan Tan Malaka yang tak tega lalu mencari kain baru yang lebih besar, dapat di sebuah warung soto.
Penulis: Djati Surendro dan I Gede Agung Yudana untuk Intisari edisi Agustus 2017
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tidak banyak yang tahu bahwa bendera merah putih sudah lama menjadi panji-panji bangsa Indonesia. Jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 digaungkan, panji merah putih sudah dipakai oleh Pangeran Diponegoro bahkan oleh Kerajaan Kediri tahun 1292.
Di saat tanah Jawa berada di puncak kejayaannya, Raja Jayakatong alias Jayakatwang dari Kediri pada saat melakukan perlawanan melawan Kerajaan Singasari di bawah tampuk kekuasaan Kertanegara, sudah mengibarkan panji berwarna merah putih, tepatnya pada tahun 1292.
Kala lampau itu, Jayakatong mengirimkan tentaranya yang penuh kemegahan panji dan umbul-umbul, diiringi bunyi gamelan ke utara Gunung Penanggungan, menuju ke jurusan pusat Keraton Singasari.
Namun, pasukan Jayakatong yang lebih kuat dan berjumlah besar, diam-diam bergerak ke arah selatan Gunung Penanggungan. Laskar inilah rupanya ujung tombak Kediri yang menjungkalkan Singosari, karena pasukan Singosari yang dipercayakan dipimpin Wijaya dan Ardaraja terkecoh dan memusatkan kekuatannya di arah utara, namun tiba-tiba terkejut mendapat tusukan serangan besar dari pasukan Jayakatong yang berpanji, umbul-umbul dan bendera warna merah putih!
Kertanegara sebagai raja di saat itu, rupanya meremehkan perlawanan Jayakatong. Suatu prasasti perunggu Gunung Butak yang ditemukan di dekat Surabaya antara lain menuturkan begini:
"...demikian keadaannya ketika tentara Sri Maharaja (Raden Wijaya) bergerak terus sampai Rabut Carat, tak lama kemudian datanglah musuh dari arah barat. Ketika itu juga Sri Maharaja bertempur dengan segala balatentaranya dan musuh pun tunggang langgang mengalami kekalahan besar. Tetapi dalam keadaan demikian, di sebelah timur Hanyiru nampak panji-panji musuh berkibar-kibar, warnanya merah dan putih. Melihat Sang Ardaraja meninggalkan pertempuran, berlaku hina lari menuju ke Kapundungan..."
Memang sejauh ini tidak ada sejarah yang jelas soal merah-putih, namun kedua warna itu jelas tersebut dan masih digunakan dalam abad-abad berikutnya. Prof. Muhammad Yamin dalam 6.000 Tahun Sang Merah Putih menulis antara lain seperti: "Bendera merah putih dalam Kerajaan Mataram dikenal sebagai Gula Kelapa, konon bendera Gula Kelapa itu diartikan gula sama dengan merah, kelapa sama dengan warna putih."
Sang Merah Putih pun disebutkan pernah menjadi bendera perjuangan Pangeran Diponegoro antara tahun 1825-1830. Di antara tahun-tahun perjuangan itu, masyarakat di sekitar Gua Selarong (kini di Kabupaten Bantul) mengibarkan bendera merah putih, saat Diponegoro berangkat dan memimpin pasukannya melawan Belanda.
Tinggal Merah Putih saja
Setelah itu, ditemukan lagi catatan soal bendera merah putih, yakni pada tahun 1920 di Belanda ketika Perhimpunan Indonesia di negara itu menerbitkan Majalah Indonesia Merdeka, lalu membuat panji-panji pergerakan berupa bendera merah putih yang berlukiskan kepala kerbau di tengahnya.
Menyusul kemudian saat pemuda Ir. Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927, lambang dan bendera organisasi itu pun berupa bendera merah putih dengan lambang kepala banteng.
Juga di bawah kibaran bendera merah putih pula, pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda Indonesia mengukuhkan kelahiran suatu bangsa yang bulat dan bersatu dengan satu bahasa persatuan dan satu tanah air.
Pada saat itu, bendera merah putih tergelar diiringi gesekan biola Wage Rudolf Supratman yang pertama kali mempersembahkan lagu karyanya, Indonesia Raya. Saat itu, bendera merah putih tidak lagi berhias kepala kerbau atau kepala banteng, namun berhiaskan gambar garuda terbang (kemudian hiasan garuda ini dijadikan lambang tersendiri), hingga tinggallah bendera berwarna merah dan putih saja.
Bersamaan berakhirnya riwayat kolonialisme Belanda di Indonesia, saat laskar tentara Jepang mendarat di bumi Indonesia tahun 1942, rakyat Indonesia di beberapa tempat menyambut peristiwa ini dengan kibaran bendera merah putih. Namun kejadian itu hanya sesaat, sebab pemerintahan Dai Nippon melarang pengibaran merah putih, lalu mengharuskan mengibarkan bendera kebangsaan Jepang, Hinomaru.
Ketika Jepang tahun 1944 merasa terdesak dan tak sanggup memenangkan perang raya,larangan ini agak dilonggarkan. Pada akhir tahun 1944, Ki Hadjar Dewantara selaku ketua panitia ditugaskan meneliti bendera dan lagu kebangsaan Indonesia.
Ukuran aslinya 178 cm x 274 cm
17 Agustus 1945, di rumah kediaman Sukarno sekitar pukul 10.00, terjadi upacara proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang sederhana dan hanya dihadiri beberapa orang saja. Tanpa ada musik RoyalToto, tanpa barisan protokol, setelah Sukarno membacakan teks proklamasi memakai alat pengeras suara yang dicuri dari stasiun radio Jepang, bendera merah putih pun diikat Latief Hendraningrat dengan seutas tali kasar, yang lalu mengerek dan mengibarkan pada tiangnya.
Sejak itulah, bendera tersebut dikibarkan tiap tanggal 17 Agustus. Lalu pada tahun 1958 dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 40/1958, diputuskan bendera kebangsaan yang digunakan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945, menjadi bendera pusaka atau Sang Saka Merah Putih.
Namun, bendera (berasal dari bahasa Portugis bandeiia) pusaka yang kian tua itu, pada tahun 1968 tidak dikibarkan lagi, lalu diganti dengan duplikatnya yang berukuran asli persis 178 cm x 274 cm (sampai tahun 1970 bendera duplikat berbahan sutera alam sudah dibuat sebanyak 430 helai).
Di dunia ini Merah Putih kita itu punya kembarannya, yaitu bendera suatu negara kecil Monaco di Eropa. Juga Polandia memakai bendera berwarna merah putih juga, hanya letak corak warna ini terbalik: warna putih di atas belahan warna merah. Juga Republik Singapura memakai warna dasar benderanya merah dan putih, hanya warna merah di bagian atasnya diberi lambang bulan sabit dan lima bintang warna putih.
Bendera Indonesia sendiri, Sang Merah Putih, ternyata memiliki nilai sejarah luhur dari bangsa Indonesia. Itulah Sang Merah Putih kita yang selalu berkibar pada tiap tanggal 17 Agustus serta di hari-hari penting lainnya. Sang Merah Putih yang perwira, berkibarlah selama- lamanya.
Kain Bendera Pusaka Dari Tenda Warung Soto
Dari sejarah, orang pun tahu kalau Sang Saka Merah Putih yang berkibar untuk pertama kalinya 72 tahun lalu itu dijahit sendiri oleh Ibu Negara pertama RI Ny. Fatmawati. Tapi siapa sangka, kain merah bendera pusaka tersebut, ternyata bekas kain tenda sebuah warung kaki lima.
Seorang pelaku sejarah, Brigjen TNI (Purn) Lukas Kustaryo menuturkan bagaimana lika-likunya saat ia berupaya mencari kain merah untuk bendera pusaka. Konon, ide ini pun muncul secara tiba-tiba. Kala itu dari kancah romusha di Bayah, Banten Selatan, Shodanco Lukas diberi tugas secara inkognito membawa surat pribadi Tan Malaka untuk Bung Karno di Jakarta.
Sesampainya di Jln. Pegangsaan Timur no. 56, Kustaryo melihat Ny. Fatmawati menjahit bendera merah putih. Saat itu bulan Agustus 1945, para tokoh pergerakan memang sudah terlihat sibuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Apalagi di kediaman Bung Karno terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya. “Tapi saya lihat benderanya terlalu kecil, kira-kira hanya berukuran panjang setengah meter. Dalam hati saya berkata, kayaknya nggak pantas. Untuk proklamasi kok benderanya tak begitu bagus,” begitu ujar Kustaryo.
Karena tidak tega melihat bendera kecil itulah, atas inisiatif sendiri laskar Peta Pacitan ini berniat mencari kain yang lebih besar untuk bendera. “Kalau tak salah Bu Fat sudah mempunyai kain seprai putih yang cukup panjang,” tambahnya.
Tanpa tahu harus menuju ke mana untuk mencari kain merah, pemuda kelahiran Madiun, 20 Oktober 1920, ini lantas berjalan menyusuri rel KA dari Pegangsaan sampai Pasar Manggarai. Di pinggir pasar ia melihat sebuah warung soto bertenda kain merah.
Nah, kebetulan pikirnya. “Saya tak lagi mikir jenis kainnya bermutu atau tidak. Meski saya lihat sudah tidak begitu bagus bahkan sudah robek, pokoknya kain tersebut masih bisa dipakai,” kenangnya. Maklum, di zaman Jepang mutu kain yang dikonsumsi rakyat amat jelek.
Terdorong rasa kebangsaan yang meluap-luap untuk segera mendapatkan kain bakal bendera itu, Kustaryo segera mendatangi si pemilik warung tenda. Satu-satunya yang dipikirkan, bagaimana caranya mendapatkan barang tersebut.
“Saya beli kain ini dengan harga Rp500,00, terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri. Melihat uang segitu banyak, si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu tidak berlangsung lama.”
Setelah itu buru-buru ia membawa kain merah tersebut ke rumah Ibu Fat. Begitu diserahkan, Kustaryo langsung pergi lagi. Bahkan ketika bendera itu dikibarkan pada saat proklamasi, ia pun tidak tahu.
“Setelah itu saya lalu pergi dari Jakarta, kembali bergabung dengan rekan-rekan pejuang lain. Maklum waktu itu tentara Jepang yang bersenjata masih banyak berkeliaran. Belum lagi pasukan Inggris,” kenangnya.
Selang beberapa tahun kemudian, suatu hari Kustaryo ketemu Ibu Fat lagi di Yogyakarta. Iseng-iseng ia bertanya apakah bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi tersebut adalah bendera yang kain merahnya pemberian dia dulu.
“Bu Fat menjawab, benar! Kain merah yang saya jahit itulah pemberian Saudara. Saudara memang sungguh berjasa. Terima kasih ... saya sampai lupa,” begitu jawaban Ibu Fat seperti yang ditirukan Kustaryo.