Find Us On Social Media :

Bung Hatta Menggugat Rengasdengklok: Di Sana Kami Tidak Ngapa-ngapain

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 2 Agustus 2024 | 14:16 WIB

Dalam cacatatannya, Bung Hatta menyayangkan gerakan para pemuda dalam Peristiwa Rengasdengklok. Bahkan menyebut Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telat sehari gara-gara peristiwa itu.

Menuju Rengasdengklok

Pada tanggal 16 Agustus 1945, pukul 10.00, hadirlah para anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan beberapa orang terkemuka serta pers yang diundang di gedung Pejambon 2. Tetapi yang tidak hadir ialah yang mengundang, yaitu Soekarno dan Hatta yang pagi itu, pukul 04.00, "dilarikan" Sukarni dan teman-temannya ke Rengasdengklok.

"Alasan yang dikemukakan Sukarni untuk membawa kami ialah begini," tulisnya selanjutnya. Oleh karena Bung Karno tidak mau menyatakan kemerdekaan Indonesia sebagaimana mereka kehendaki, maka pemuda, Peta, dan rakyat akan bertindak sendiri. Di Jakarta akan ada revolusi merebut kekuasaan dari Jepang.

Karena itu, Bung Karno dan Bung Hatta perlu disingkirkan ke Rengasdengklok untuk meneruskan pemerintahan Indonesia dari sana. "Mendengar alasan ini, tergambarlah di muka saya bencana yang akan menimpa Indonesia. Tindakan gila-gilaan dari pemuda ini pasti gagal. Putsch ini akan membunuh Revolusi Indonesia."

Hari itu juga ternyata, pemuda-pemuda yang berdarah panas itu tidak dapat merealisasikan teori mereka sendiri. Putsch tidak terjadi, di luar Jakarta tidak ada persiapan sama sekali. Hanya Jepang yang telah siap dengan peralatan yang masih lengkap untuk menyambut segala kemungkinan.

Bung Hatta mengungkapkan, di Rengasdengklok tidak ada perundingan satu pun. "Di sana kami menganggur satu hari lamanya, seolah-olah mempersaksikan dari jauh gagalnya suatu cita-cita yang tidak berdasar realitet," tulisnya. Tetapi ia mengakui, kalau ada satu tempat di Indonesia di mana betul-betul ada perampasan kekuasaan, tempat itu ialah Rengasdengklok.

Atas anjuran Sukarni atau dari Jakarta, pasukan Peta di sana menangkap dan menawan wedana yang berkuasa di sana beserta dua atau tiga orang Jepang "Sakura" yang mengurus hal beras. Kebetulan juga hari itu Sutardjo Kartohadikusumo yang pada waktu itu menjabat Syucokan Jakarta, singgah di Rengasdengklok untuk memeriksa keadaan persediaan beras dan ia ikut ditawan.

"Coup d'etat" ini terjadi dalam keadaan aman dan tentram, sehingga tidak banyak orang yang mengetahui. Mungkin seorang yuris yang tajam pandangannya akan bertanya, "Untuk siapa dan atas nama siapa Peta itu merebut kekuasaan setempat? Untuk dan atas nama Indonesia Merdeka? Indonesia Merdeka pada waktu itu belum lahir. Pemerintah Revolusioner pun belum ada!"

Waktu sore datang Mr. Subardjo sebagai utusan Gunseikanbu menjemput Bung Karno dan Bung Hatta, Sukarni tidak menentang. "Demikianlah malam itu kami kembali ke Jakarta disertai Sutardjo dan Sukarni. Satu-satunya soal yuridis yang timbul ialah pertanyaan kepada pasukan Peta di sana: Apa yang akan diperbuat dengan wedana yang ditawan?' Kami jawab, lepaskan saja."

Mulai malam itu juga, pimpinan revolusi jatuh kembali ke tangan Soekarno - Hatta.

Lewat tengah malam setelah mengadakan perundingan dengan Sumobuco di mana ternyata Jepang telah mengambil sikap sebagai juru kuasa menerima perintah dari Sekutu, diadakanlah pertemuan yang dihadiri segenap anggota Badan Persiapan, wakil-wakil pemuda dan wakil-wakil dari beberapa golongan masyarakat.

Dalam sidang tersebut, atas anjuran golongan pemuda ditetapkan dengan suara bulat bahwa proklamasi Indonesia Merdeka hanya ditandatangani oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia.