Penulis
Rengasdengklok hampir saja jadi pusat pemerintahan Indonesia Merdeka jika skenario perebutan kekuasaan dari Jepang yang direncanakan para pemuda pada tahun 1945 berjalan mulus. Tetapi karena Bung Karno dan Bung Hatta "dilarikan" ke kota kecil ini pula, hari keramat jatuh pada tanggal 17 bukan 16 Agustus.
Penulis: Her Suganda untuk Intisari edisi Agustus 1993 dengan judul asli "Proklamasi Mundur Sehari Karena Rengasdengklok"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Nama Rengasdengklok selalu muncul mengisi halaman media massa pada saat menjelang peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI. Soalnya, sehari menjelang proklamasi kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta "dilarikan" ke kota kecil yang letaknya 20 km sebelah utara Karawang, Jawa Barat, ini.
Sudah banyak versi yang mengungkapkan, bagaimana kisah dua tokoh proklamator tersebut selama dalam perjalanan sampai berada di tangsi Peta (Pembela Tanah Air) Rengasdengklok dan akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Tetapi dari sedikit catatan tentang peristiwa itu, ternyata almarhum Bung Hatta sebagai salah seorang pelakunya pernah menulis Peristiwa Rengasdengklok.
Bung Hatta juga pernah berkunjung ke kota kecil ini pada 1973 bersama Brigjen Nugroho Notosusanto yang saat itu menjabat kepala Pusat Sejarah ABRI.
Tidak banyak diketahui umum hasil pembicaraan dalam rekonstruksi sejarah proklamasi kemerdekaan RI dengan kota kecil ini karena pembicaraan dilakukan di ruang tertutup. Namun jauh sebelumnya, Bung Hatta pernah menuangkan pengalamannya dalam Mimbar Indonesia 17 Agustus 1951 no. 32/33, menanggapi buku Sedjarah Perdjuangan Indonesia yang kemudian dijadikan salah satu lampiran buku Documents Historica yang disusun Osman Raliby.
Tulisan tersebut bertujuan meluruskan sejarah detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan RI, ketika Bung Karno, Bung Hatta, dan Ibu Fatmawati bersama Guntur yang saat itu baru berusia sekitar tiga bulan, dibawa ke Rengasdengklok. Kisah perjalanan yang acap kali disebut sebagai "penculikan" itu sudah banyak diungkapkan dengan banyak versi.
Sebagai salah seorang pelaku yang mengalami langsung peristiwa tersebut, untuk pertama kalinya Bung Hatta menuangkan pengalamannya secara tertulis dan sekaligus memberikan analisisnya tentang kegagalan skenario proklamasi Indonesia Merdeka yang direncanakan para pemuda. Ketika menyusun tulisan tersebut, tentu saja ingatan Bung Hatta masih sangat segar. Peristiwa yang dialami, baru enam tahun berlalu.
Sebuah versi
Tulisan itu terutama sekali menyoroti halaman 90 buku karangan Muhammad Dimyati yang dijadikan acuan tulisan tersebut tentang bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok.
Satu dari banyak versi kisah "penculikan" yang termuat dalam buku itu antara lain mengungkapkan:
"Pada tanggal 16 Agustus djam 4.30 pagi berangkatlah Bung Karno-Hatta keluar dari kota Djakarta, dengan mobil, diantarkan oleh Sukarni dan 3 Kunto menudju ke tangsi Rengasdengklok, karena dikuatirkan kedua pemimpin itu akan diperalatkan oleh Djepang kalau tetap tinggal dirumahnja. Tangsi Peta Rengasdengklok pada waktu itu sudah dikuasai oleh pemuda-pemuda Indonesia jang akan memberontak kepada Djepang. Disana diadakan perundingan untuk segera memproklamirkan Indonesia Merdeka. Karena belum tertjapai kata sepakat dan kebulatan tekad, kemudian pada malam tanggal 17 Agustus djam 12 perundingan diteruskan disebuah gedung di Nassauboulevard-straat kota Djakarta. Disitulah berkumpul segenap pemimpin-pemimpin Indonesia dan anggota panitia persiapan kemerdekaan Indonesia jang tadinja dilantik oleh Djepang tapi sedjak waktu itu Sukarni menjorongkan teks Proklamasi Indonesia Merdeka dimana dibawahnya memakai kalimat: 'Bahwa dengan ini rakjat Indonesia menjatakan kemerdekaannja. Segala badan-badan jang ada harus direbut dari orang asing jang masih mempertahankannja."'
Susunan kalimat serupa itu tidak mendapat persetujuan dari hadirin dan minta diubah yang agak halus. Akhirnya Sajuti Melik (MI Sajuti) dapat memecahkan kesulitan itu dengan mengemukakan susunan:
"Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lainnja diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja".
Menurut Bung Hatta, di sini "dongeng" telah berubah. Soekarno dan Hatta yang dilarikan ke Rengasdengklok "karena" dikhawatirkan kedua pemimpin itu akan diperalat oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya, dibawa kembali ke Jakarta untuk meneruskan perundingan yang tidak selesai di Rengasdengklok.
Dalam uraian yang beberapa kalimat saja; begitu selanjutnya Bung Hatta menulis, sudah ada jalan pikiran yang bertentangan. Dikhawatirkan kedua pemimpin akan diperalat oleh Jepang, tetapi mereka dibawa kembali ke Jakarta.
Dalam legenda baru ini muncul Sajuti Melik sebagai seorang yang memberikan kata penghabisan tentang isi proklamasi. Menurut Bung Hatta, dokumen yang asli membuktikan bahwa proklamasi itu ditulis oleh Bung Karno sendiri, sedangkan patokan kalimatnya dan gaya bahasanya sama sekali tak sesuai dengan stijl Sajuti Melik.
Sebelum jagung berbunga
Tampil dengan judul tulisan "Legenda dan Realitat Sekitar Proklamasi 17 Agustus", Bung Hatta mengungkapkan awal pengalamannya tatkala bersama-sama dengan Bung Karno dan Dr. Radjiman Wedjodiningrat diundang ke Dalat (Indocina) oleh Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara Jenderal Terautji untuk menerima putusan pemerintah Jepang tentang Indonesia Merdeka.
Dalam pertemuan resmi tanggal 12 Agustus itu, Jenderal Terautji berkata, "Terserah kepada Tuan-tuan akan menetapkan kapan Indonesia akan merdeka."
Waktu kembali, di Singapura, ketiga utusan tersebut secara kebetulan bertemu dengan Mr. Teuku Hasan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas yang semuanya adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Sumatra.
Secara bersama-sama, mereka juga akan bertolak ke Jakarta. Selain itu juga mereka mendengar kabar bahwa Rusia sudah mengumumkan perang kepada Jepang dan sudah menyerbu ke Mancuria. Setelah bertukar pikiran, "Kami semua berkeyakinan bahwa kalahnya Jepang tidak akan berbilang bulan lagi. Melainkan berbilang minggu. Karenanya, pernyataan Indonesia Merdeka harus dilakukan secepatnya."
Setelah tiba di Jakarta, tanggal 14 Agustus 1945, masih di Lapangan Terbang Kemayoran, Bung Karno berpidato di depan masyarakat yang menyambutnya: "Kalau dulu saya berkata, sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga."
Sore hari itu juga, Sjahrir datang kepada Bung Hatta menyampaikan berita bahwa Jepang telah meminta damai kepada Sekutu, lalu ia bertanya bagaimana soal kemerdekaan kita. "Jawab saya, soal kemerdekaan kita adalah semata-mata di tangan kita," tulisnya.
Sjahrir mengusulkan, pernyataan kemerdekaan Indonesia janganlah dilakukan oleh Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sebab Indonesia Merdeka yang lahir semacam itu akan dicap oleh Sekutu sebagai Indonesia buatan Jepang. Sebaik-baiknya, Bung Karno sendiri saja menyatakannya sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan melalui corong radio.
Ternyata Bung Karno tidak setuju dengan usul Sjahrir, karena sebagai Ketua Badan Persiapan, dia tidak bisa bertindak sendiri dengan melewati saja badan tersebut. Selanjutnya Bung Karno menyatakan ingin mendapat keterangan dulu dari Gunseikanbu tentang berita Jepang menyerah itu.
"Setelah keesokan harinya, tanggal 15 Agustus, ternyata Jepang memang meminta berdamai," tulis Bung Hatta selanjutnya, "kami putuskan mengundang Panitia Persiapan rapat tanggal 16 Agustus pukul 10 pagi di kantor Dewan Sanyo Pejambon 2."
Pernyataan Indonesia Merdeka harus dilakukan secepatnya, Undang-Undang Dasar harus dimufakati dengan tiada banyak berdebat dan susunan pemerintahan Indonesia di pusat dan di daerah harus dapat diselenggarakan dalam beberapa hari saja. Anggota Panitia Persiapan dari luar Jawa harus kembali selekas-lekasnya ke daerah masing-masing dengan membawa instruksi yang lengkap dari pemerintah Indonesia Merdeka.
Waktu tidak boleh terbuang, karena kalau terlambat pulang, mungkin mereka dialang-alangi berangkat oleh Jepang yang sejak menyerah, kedudukannya di Indonesia hanya sebagai juru kuasa Sekutu saja. Sungguh Jepang telah menyetujui kemerdekaan Indonesia, tentara Jepang di Indonesia boleh diperintah Sekutu untuk menindas dan melikuidasi Indonesia Merdeka.
"Kami juga harus memperhitungkan bahwa Sekutu akan mencoba mengembalikan Indonesia ke bawah pemerintah Hindia-Belanda," tulisnya selanjutnya. Karena itu, revolusi yang diorganisasikan harus ada sehingga barulah kemerdekaan dapat dipertahankan dengan perjuangan yang dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan atas keyakinan inilah Bung Hatta menolak teori merebut kekuasaan oleh pemuda, Peta, dan rakyat yang dianjurkan kepadanya pada sore hari itu juga oleh almarhum Subianto dan Subagio. Menurut Bung Hatta, perebutan kekuasaan harus didahului oleh pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno melalui corong radio.
"Kepada kedua pemuda itu saya tegaskan bahwa saya suka revolusi, akan tetapi menolak putsch," tuturnya. Tetapi keterangan tersebut rupanya tidak memuaskan, bahkan sebaliknya menimbulkan kekecewaan.
Di kemudian hari, Subianto yang sejak zaman pendudukah Jepang memiliki hubungan yang akrab seperti anak dengan ayahnya, akhirnya menjauhi Bung Hatta. Tetapi belakangan, pemuda yang kecewa itu kembali lagi ke orang yang menganggapnya sebagai anak dan menyatakan pendirian Bung Hatta yang benar. Sejak itu ia menerima tugas-tugas penting dari Bung Hatta sampai akhirnya meninggal di Serpong.
Menuju Rengasdengklok
Pada tanggal 16 Agustus 1945, pukul 10.00, hadirlah para anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan beberapa orang terkemuka serta pers yang diundang di gedung Pejambon 2. Tetapi yang tidak hadir ialah yang mengundang, yaitu Soekarno dan Hatta yang pagi itu, pukul 04.00, "dilarikan" Sukarni dan teman-temannya ke Rengasdengklok.
"Alasan yang dikemukakan Sukarni untuk membawa kami ialah begini," tulisnya selanjutnya. Oleh karena Bung Karno tidak mau menyatakan kemerdekaan Indonesia sebagaimana mereka kehendaki, maka pemuda, Peta, dan rakyat akan bertindak sendiri. Di Jakarta akan ada revolusi merebut kekuasaan dari Jepang.
Karena itu, Bung Karno dan Bung Hatta perlu disingkirkan ke Rengasdengklok untuk meneruskan pemerintahan Indonesia dari sana. "Mendengar alasan ini, tergambarlah di muka saya bencana yang akan menimpa Indonesia. Tindakan gila-gilaan dari pemuda ini pasti gagal. Putsch ini akan membunuh Revolusi Indonesia."
Hari itu juga ternyata, pemuda-pemuda yang berdarah panas itu tidak dapat merealisasikan teori mereka sendiri. Putsch tidak terjadi, di luar Jakarta tidak ada persiapan sama sekali. Hanya Jepang yang telah siap dengan peralatan yang masih lengkap untuk menyambut segala kemungkinan.
Bung Hatta mengungkapkan, di Rengasdengklok tidak ada perundingan satu pun. "Di sana kami menganggur satu hari lamanya, seolah-olah mempersaksikan dari jauh gagalnya suatu cita-cita yang tidak berdasar realitet," tulisnya. Tetapi ia mengakui, kalau ada satu tempat di Indonesia di mana betul-betul ada perampasan kekuasaan, tempat itu ialah Rengasdengklok.
Atas anjuran Sukarni atau dari Jakarta, pasukan Peta di sana menangkap dan menawan wedana yang berkuasa di sana beserta dua atau tiga orang Jepang "Sakura" yang mengurus hal beras. Kebetulan juga hari itu Sutardjo Kartohadikusumo yang pada waktu itu menjabat Syucokan Jakarta, singgah di Rengasdengklok untuk memeriksa keadaan persediaan beras dan ia ikut ditawan.
"Coup d'etat" ini terjadi dalam keadaan aman dan tentram, sehingga tidak banyak orang yang mengetahui. Mungkin seorang yuris yang tajam pandangannya akan bertanya, "Untuk siapa dan atas nama siapa Peta itu merebut kekuasaan setempat? Untuk dan atas nama Indonesia Merdeka? Indonesia Merdeka pada waktu itu belum lahir. Pemerintah Revolusioner pun belum ada!"
Waktu sore datang Mr. Subardjo sebagai utusan Gunseikanbu menjemput Bung Karno dan Bung Hatta, Sukarni tidak menentang. "Demikianlah malam itu kami kembali ke Jakarta disertai Sutardjo dan Sukarni. Satu-satunya soal yuridis yang timbul ialah pertanyaan kepada pasukan Peta di sana: Apa yang akan diperbuat dengan wedana yang ditawan?' Kami jawab, lepaskan saja."
Mulai malam itu juga, pimpinan revolusi jatuh kembali ke tangan Soekarno - Hatta.
Lewat tengah malam setelah mengadakan perundingan dengan Sumobuco di mana ternyata Jepang telah mengambil sikap sebagai juru kuasa menerima perintah dari Sekutu, diadakanlah pertemuan yang dihadiri segenap anggota Badan Persiapan, wakil-wakil pemuda dan wakil-wakil dari beberapa golongan masyarakat.
Dalam sidang tersebut, atas anjuran golongan pemuda ditetapkan dengan suara bulat bahwa proklamasi Indonesia Merdeka hanya ditandatangani oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 waktu Indonesia, proklamasi dikumandangkan ke seluruh penjuru tanah air dan dunia, lalu disusul penaikan Sang Saka Merah Putih. Menurut Bung Hatta, sejak itu revolusi mulai berjalan. Keesokan harinya Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah ditambah anggotanya dengan keputusan sendiri, mulai bekerja menyusun sendiri pemerintahan negara.
Tidak menjadi soal
Bung Hatta dalam tulisan itu selanjutnya menyimpulkan, dari bukti-bukti yang nyata, pernyataan kemerdekaan Indonesia tidak menjadi soal. Yang menjadi soal ialah caranya.
Golongan pemuda di Jakarta yang bernama Angkatan Pemuda Indonesia (API), mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran, serta golongan Sjahrir berpendapat, setelah diketahui Jepang menyerah maka proklamasi Indonesia Merdeka dilakukan secara revolusioner, yaitu melepaskan segala yang berbau buatan Jepang.
Tetapi menurut Bung Hatta, proklamasi Indonesia Merdeka harus ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia karena mereka dianggap mewakili seluruh Indonesia. Jika perlu ditambah dengan beberapa anggota, lainnya yang mewakili berbagai golongan dalam masyarakat. Rasa persatuan ini dinilai sangat penting dalam menyelenggarakan revolusi nasional.
Dia juga berpendapat, soal masa datang setelah proklamasi, bukanlah soal terhadap Jepang yang tidak berkuasa lagi. Tetapi sikap terhadap Sekutu yang akan mengembalikan kekuasaan Belanda atas Indonesia. Sebab itu persiapan revolusi bukanlah seharusnya ditujukan kepada Jepang yang sudah masuk zaman lampau, melainkan terhadap Belanda yang akan kembali menjajah.
Menganalisis kegagalan rencana para pemuda itu, Bung Hatta melihat adanya kelemahan yang terbukti mereka tidak mengerti hukum revolusi. Bahwa revolusi tidak dapat dipimpin oleh seorang boneka melalui gertak dan intimidasi, tetapi maunya langsung dipimpin sendiri dengan tanggung jawab penuh.
Revolusi hanya berhasil jika dikemudikan oleh pemimpin yang tahu apa maunya, pandai membuat perhitungan yang tepat, dan pandai mengukur tenaganya sendiri terhadap tenaga lawannya. Kelemahan lainnya, kombinasi "API - Mahasiswa - Sjahrir" tidak satu dalam tujuan dan semangat.
"Jauh daripada suatu kemenangan dan pemuda," tulis Hatta selanjutnya, "penculikan Soekarno - Hatta ke Rengasdengklok dan kembalinya hari itu juga ke Jakarta adalah suatu pembuktian kepada sejarah, bangkrutnya suatu politik dengan tiada perhitungan yang semata-mata berdasar sentimen. Pernyataan pula dari politik tidak mampu! Dan karena penculikan itulah maka proklamasi Indonesia Merdeka yang mulanya kami tetapkan tanggal 16 Agustus, jadi terlambat satu hari."
Hatta menyadari, kupasannya tentang detik-detik menjelang proklamasi itu sama sekali bukan bertujuan mengecilkan jasa pemuda dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jasa pemuda bahkan dinilai besar sekali, termasuk mereka yang berbeda pendirian. Tetapi sebagai orang tua dia mengingatkan, sikap mereka yang mau benar sendiri dan segera curiga kepada mereka yang berbeda pendirian, banyak menyulitkan jalannya perjuangan.
Namun apabila semangat mereka itu tidak meluap-luap pada permulaan revolusi nasional, Hatta juga membayangkan akan sangat sukar menghidupkan perjuangan rakyat yang begitu hebat hingga sanggup menderita bertahun-tahun lamanya.
Pada bagian akhir tulisannya, tokoh proklamator ini menyampaikan nasihatnya untuk golongan pemuda yang gagal memenuhi kehendaknya untuk memegang pimpinan revolusi agar jangan menyalahkan orang lain tetapi tanyalah kepada diri sendiri dan pada hukum sejarah.
Dia mengingatkan, pimpinan dalam revolusi tidak dapat dituntut, melainkan diperoleh atas kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Pilihan rakyat mungkin salah, tetapi selama rakyat percaya pada pemimpinnya, selama itu revolusi dijunjungnya. Hanya kepercayaan rakyat akan kemenanganlah yang membawa kemenangan bagi revolusi