Find Us On Social Media :

Bu Kasur Genjot Sepeda Saat Peristiwa Bandung Lautan Api, Takut Lihat Pasukan Gurkha

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 28 Juli 2024 | 15:03 WIB

Ibu Kasur menjadi salah satu saksi hidup peristiwa atau sejarah Bandung Lautan Api. Ketika itu, wanita bernama asli Sandiah itu adalah seorang kurir.

Jangan heran kalau waktu itu semua orang bekerja bahu membahu mempertahankan kemerdekaan. Misalnya untuk mencari dana bagi pasukan Siliwangi, keluarga Pak Kasur mengadakan sandiwara Pelangi hijrah di Magelang. Selain itu mereka juga bertugas memberi penerangan kepada masyarakat desa yang dilewati bahwa Indonesia telah merdeka.

Mengenal tanah air

Dari sinilah rupanya rasa kebanggaan dan cinta tanah-air ingin ia tanamkan pada remaja, anak-anak pada khususnya. Antara lain dengan mengisi acara tetap di TV Mengenal Tanah Air. Sebelum TV masuk Indonesia pun ia telah aktif mengisi acara anak-anak di RRI, koran atau majalah.

"Dalam Mengenal Tanah Air ingin sekali ibu tanamkan kebanggaan yang masih ibu rasakan. Kita harus bangga betapa kayanya Indonesia dengan kebudayaannya, betapa luasnya tanah air kita", begitu menurut Bu Kasur, yang bersama Pak Kasur mulai mengajar sejak 1962.

Sehari-hari kalau kita ke rumah bu Kasur (saat itu) pun kita akan menemui anak-anak kecil yang sekolah di rumahnya. Pak Kasur mendirikan taman kanak-kanak di sebelah rumah induk yang mereka tempati sehari-hari. Rupanya mereka berdua, Pak dan Bu Kasur, merupakan pasangan yang selalu terlibat dengan anak-anak. Mereka begitu mencintai anak-anak, walaupun mereka sendiri mempunyai putera 5 orang.

Tapi tidak satu di antara mereka yang mengikuti jejak orangtuanya menyukai anak-anak. Hanya bakat musik dari Pak Kasur yang menurun ke putra sulung dan keempat. Pergaulan dengan dunia anak-anak selama ini ternyata telah membulatkan kecintaan yang utuh pada Bu Kasur — dan Pak Kasur tentunya. Membulat sikap filosofis, istilah kerennya.

Misalnya waktu naik kereta-api di Jawa tengah, Bu Kasur melihat dari jendela anak-anak yang membantu orangtuanya di sawah. "Ada rasa trenyuh di hati." Trenyuh bisa juga berarti terharu.

"Terpikir apa yang bisa Ibu berikan kepada mereka. Jangan sampai mereka turun-menurun hanya begitu terus. Bukan berarti harus meninggalkan sawah, melainkan bagaimana tetap menjadi petani modern dengan alat teknologi yang meningkatkan penghasilan.”

Setelah menghela nafas Bu Kasur bilang lagi, “Sayang itu hanya ada dalam pikiran saja.”

Dari segi lain, Bu Kasur bangga dengan anak-anak yang mampu mandiri. Mampu memotong dengan bekerja sendiri. Seperti yang terdapat dalam diri anak-anak penjual koran.

"Mereka bisa membantu orangtua dan tetap sekolah. Ketabahan mereka, anak-anak ini, mengagumkan. Tidak minta dari orangtua melulu. Walaupun ini terjadi karena keadaan, anak-anak ini pasti lebih bangga memperoleh hasil jerih payah sendiri."

Yah, tetapi kadang apa yang mereka dapatkan sangat kecil. Hanya sekedar lambahan. Bukan sebagai mukjizat yang bisa menyelesaikan uang sekolah dan sekaligus kebutuhan sehari-hari.Jumlah anak yang seperti itu, masih banyak.