Find Us On Social Media :

Mengenang Sejarah Lahirnya VOC: Ketika Batavia Gagal Sampai Di Batavia, Kecebur Laut Tamat Riwayat

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 24 Juli 2024 | 15:43 WIB

Ternyata Batavia tak hanya nama lama Kota Jakarta. Nama itu pernah (dan masih) disandang sebuah kapal buatan Belanda. Sedihnya, kedua nama kembar itu tak pernah saling bertaut, karena Kapal Batavia tak pernah berlabuh di Batavia. Artikel ini sebagai persembahan mengenang lahirnya VOC.

Di kapal itu para prajurit yang bernasib paling malang. Tugas utama mereka yang berperang bila Batavia bertemu musuh. Agar tak berselisih dengan para pelaut, mereka dikurung di bawah geladak bersama meriam. Ruangan mereka amat tidak nyaman, langit-langitnya cuma setinggi 1,5 meter. Sepanjang pelayaran, tentu mereka harus duduk berjongkok atau berbaring sambil menghabiskan waktu.

Untuk 340 penumpang dan ABK pun cuma ada empat kamar kecil. Hanya ruang nahkoda yang pantas, artinya dilengkapi kamar tidur pribadi.

Pembagian strata masyarakat di kapal pun amat mencolok. Siang hari meja besar ruang nahkoda untuk menggelar peta dan berdiskusi. Malamnya menjadi meja makan mewah untuk para perwira. Mereka bersantap dalam pakaian lengkap dan etiket resmi, menikmati sajian di piring perak atau gelas kristal.

Sebaliknya, pelaut dan prajurit yang di atas atau bawah geladak, harus makan beramai-ramai, satu piring kayu untuk berenam. Menunya nyaris tak berubah selama melaut, roti keras plus daging asin, karena terlalu lama dalam pengawetan.

Belum lagi bahaya jatuh ke laut. Setiap kapal layar, apalagi ukuran besar, selama berlayar tidak pernah bisa berhenti. Kapal tidak mungkin berhenti, mundur, atau berbalik, apalagi hanya untuk memungut yang bernasib sial itu.

Jangan pula membayangkan menemukan peta lengkap, serta radio. Alat penduga jarak serta pelacak mata angin pun selalu kurang akurat. Maka, tiap kali nakhoda keliru menghitung posisi kapal, terutama saat menentukan kapan harus berbelok di tengah Samudera Hindia, tiupan angin serta arus laut bisa mengacaukan rute pelayaran dan mengempaskannya ke batu karang.

Drama menjelang fajar

"... Sekitar dua jam sebelum fajar menyingsing, mendadak terasa guncangan hebat, disusul gemuruh keras sekali. Saya meloncat dari kabin sambil melirik catatan di meja. Tertulis, Senin 4 Juni 1929, posisi kapal 28 - 28,5° Lintang Selatan," demikian laporan kecelakaan tulisan Pelsaert, terbit tahun 1647 dalam judul Ongeluckige Vojagie Van’t Schip Batavia, Nae de Oost-Indien (Pelayaran Naas Kapal Batavia Ketika Menuju India Timur).

Ternyata kerusakan kapal jauh lebih parah dari dugaan. "Kapal menabrak batu karang, sebagian dindingnya jebol, 40 orang hilang, air laut mengalir masuk, menyebabkan Batavia pecah dua, dan perlahan tenggelam…”

Musibah akibat kesalahan manusiawi belaka. Nakhoda Jacobsz mabuk, ditambah petugas anjungan lalai. Gemerlap gugusan pulau karang di cuaca cerah, disangka pantulan sinar bulan di permukaan air. Akibatnya fatal, Batavia melaju menghantam karang, di lokasi yang kini dikenal sebagai wilayah perairan Kepulauan Houtman Alborhos, lepas pantai Australia Barat.

Setelah mengamati kerusakan, Pelsaert berprakarsa mencari pertolongan dengan naik perahu ke Pulau Jawa, sekitar 900 mil laut arah utara. Itu dilakukan sesudah percobaan pelayaran ke timur hanya menemukan, "Daratan tandus misterius tanpa sumber air."

Dia keluru. Kalau saja terus berlayar ke timur, Pelsaert akan menemukan benua baru, satu abad mendahului pelaut Inggris Kapten James Cook yang mendarat di Teluk Botany, Australia Utara. Bisa-bisa Pelsaert yang tercatat sebagai "penemu" Australia.

Pelsaert pergi dengan membawa kekhawatiran. Mencari pertolongan dengan cuma membawa 47 eks penumpang Batavia. Sebanyak 268 penumpang terpaksa ditinggal di lokasi kecelakaan.

Kekhawatirannya beralasan sebab komplotan Jeronimus Cornelisz, seorang pedagang, ingin menguasai muatan kapal. Begitu Pelsaert pergi, Cornelisz mengangkat diri sebagai "gubernur" dan meneror sisa penumpang Batavia. Sebagian prajurit menyelamatkan diri ke pulau terdekat. Tapi, yang tidak sempat lari disiksa dan dibunuh. Sebanyak 96 nyawa melayang.

Di luar dugaan, hanya 22 hari berlayar Pelsaert tiba di Nusakambangan, Jawa Tengah, dan dan langsung meminta pertolongan ke Batavia. Dengan menumpang kapal kecil, 17 September 1629 Pelsaert tiba di lokasi kecelakaan. Selain menyelamatkan penumpang, dia bertugas melucuti pemberontak.

Sesuai hukum VOC, dilangsungkan sidang di tempat dengan keputusan, tujuh tersangka dijatuhi hukuman gantung. Si pemimpin, "Gubernur” Cornelisz, mendapat hukuman paling berat. Selain naik tiang gantungan paling awal, kedua tangannya dipenggal sebelumnya.

Sejarah memang sering pahit. Hanya 154 penumpang Batavia yang selamat tiba di Batavia. Sedangkan seluruh muatannya hampir tiga abad terkubur di dasar laut. Selama ratusan tahun musibah Batavia dan muatannya memicu minat para pelacak sejarah dan pemburu harta karun. Namun, lokasi musibah tidak ditemukan, sampai tahun 1950 disingkapkan sejarawan Henrietta Drake-Brockman.

Namun, akibat kesulitan teknis, baru 13 tahun kemudian dimulai penyelamatan terhadap sekitar 15.000 artefak eks Batavia. Kini semua koleksi berharga itu, termasuk calon Pintu Gerbang Pelabuhan Batavia, dikoleksi Western Australian Maritime Museum di Fremantle, Selatan Perth, Australia Barat. (Julius Pour).