Find Us On Social Media :

Mengungkap Tradisi Selir Raja Jawa, Perkawinan Politik dan Pergeseran Nilai

By Afif Khoirul M, Sabtu, 13 Juli 2024 | 15:30 WIB

Sebagian besar selir-selir raja-raja Mataram Islam didatangkan dari Jawa Timur. Tak sekadar cantik, ada motif politik di dalamnya.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

--

Intisari-online.com -  Di balik gemerlap istana dan kemegahan kerajaan Jawa, tersimpan kisah tentang tradisi selir yang sarat makna dan kompleksitas.

Jauh dari asumsi kolonial Belanda yang menyederhanakannya sebagai pemenuhan hasrat seksual raja, tradisi selir menyimpan misi politik dan dimensi sosial yang erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan, loyalitas, dan mobilitas sosial.Perkawinan Politik: Strategi Mempertahankan TakhtaPada masa kerajaan Mataram Islam, tradisi selir menjadi salah satu strategi penting dalam mempertahankan kekuasaan. Raja-raja Mataram mengambil selir dari kalangan putri bangsawan bawahan, sebuah langkah yang lazim dikenal sebagai "perkawinan politik".

Di balik perkawinan ini, terjalin benang-benang aliansi dan kesetiaan yang memperkuat posisi sang raja di tengah perebutan pengaruh dan teritorial.Selir yang berasal dari keluarga bangsawan ternama menjadi simbol loyalitas dan pengakuan atas kekuasaan raja. Bagi para bangsawan, menikahkan putrinya dengan raja merupakan cara untuk meningkatkan status sosial dan politik mereka, sekaligus memperkuat hubungan dengan istana.

Bagi rakyat biasa, menawarkan putrinya sebagai selir raja membuka peluang untuk meningkatkan derajat sosial dan ekonomi keluarga.Pesona Wanita dari 11 Kabupaten: Pemasok Selir dan Pergeseran NilaiSeiring tradisi ini berkembang, muncullah 11 kabupaten di Jawa yang tersohor sebagai pemasok perempuan menawan untuk kerajaan.

Kabupaten-kabupaten ini, seperti Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan, Pati, Jepara, Grobogan, Wonogiri, Indramayu, Karawang, dan Kuningan, dikenal dengan reputasi kecantikan para wanitanya yang menarik perhatian istana.Namun, di balik pesona dan tradisi tersebut, terdapat sisi kelam yang tak terelakkan.

Para perempuan yang dibawa ke keraton dengan harapan menjadi selir raja, tidak selalu mendapatkan takdir yang mereka impikan.

Tak jarang, mereka yang gagal menjadi selir ditempatkan di daerah terpencil, terpinggirkan dari kemegahan istana. Nasib mereka yang kurang beruntung ini, ironisnya, menjadi cikal bakal munculnya praktik pergundikan dan prostitusi di kemudian hari.

Baca Juga: Ini Yang Namanya Real Musuh Dalam Selimut, Tragisnya Nasib Sultan Hamengkubuwono V Yang Tewas Ditusuk Selirnya SendiriPergeseran Nilai dan Dampak KolonialismePergeseran nilai yang signifikan terjadi pasca Perang Jawa (1825-1830).

Kolonial Belanda, dengan ambisi dan kepentingannya, membawa perubahan drastis pada lanskap sosial dan ekonomi Jawa.

Pembangunan perkebunan, jalan raya, pabrik gula, dan intensifikasi pelabuhan, mendatangkan banyak pekerja laki-laki yang jauh dari keluarga. Kebutuhan akan companionship dan pelampiasan hasrat seksual memicu maraknya praktik prostitusi.11 kabupaten yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok selir raja, kini bertransformasi menjadi pemasok perempuan untuk industri seks di kota-kota besar.