Mengungkap Tradisi Selir Raja Jawa, Perkawinan Politik dan Pergeseran Nilai

Afif Khoirul M

Penulis

Sebagian besar selir-selir raja-raja Mataram Islam didatangkan dari Jawa Timur. Tak sekadar cantik, ada motif politik di dalamnya.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

--

Intisari-online.com - Di balik gemerlap istana dan kemegahan kerajaan Jawa, tersimpan kisah tentang tradisi selir yang sarat makna dan kompleksitas.

Jauh dari asumsi kolonial Belanda yang menyederhanakannya sebagai pemenuhan hasrat seksual raja, tradisi selir menyimpan misi politik dan dimensi sosial yang erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan, loyalitas, dan mobilitas sosial.Perkawinan Politik: Strategi Mempertahankan TakhtaPada masa kerajaan Mataram Islam, tradisi selir menjadi salah satu strategi penting dalam mempertahankan kekuasaan. Raja-raja Mataram mengambil selir dari kalangan putri bangsawan bawahan, sebuah langkah yang lazim dikenal sebagai "perkawinan politik".

Di balik perkawinan ini, terjalin benang-benang aliansi dan kesetiaan yang memperkuat posisi sang raja di tengah perebutan pengaruh dan teritorial.Selir yang berasal dari keluarga bangsawan ternama menjadi simbol loyalitas dan pengakuan atas kekuasaan raja. Bagi para bangsawan, menikahkan putrinya dengan raja merupakan cara untuk meningkatkan status sosial dan politik mereka, sekaligus memperkuat hubungan dengan istana.

Bagi rakyat biasa, menawarkan putrinya sebagai selir raja membuka peluang untuk meningkatkan derajat sosial dan ekonomi keluarga.Pesona Wanita dari 11 Kabupaten: Pemasok Selir dan Pergeseran NilaiSeiring tradisi ini berkembang, muncullah 11 kabupaten di Jawa yang tersohor sebagai pemasok perempuan menawan untuk kerajaan.

Kabupaten-kabupaten ini, seperti Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan, Pati, Jepara, Grobogan, Wonogiri, Indramayu, Karawang, dan Kuningan, dikenal dengan reputasi kecantikan para wanitanya yang menarik perhatian istana.Namun, di balik pesona dan tradisi tersebut, terdapat sisi kelam yang tak terelakkan.

Para perempuan yang dibawa ke keraton dengan harapan menjadi selir raja, tidak selalu mendapatkan takdir yang mereka impikan.

Tak jarang, mereka yang gagal menjadi selir ditempatkan di daerah terpencil, terpinggirkan dari kemegahan istana. Nasib mereka yang kurang beruntung ini, ironisnya, menjadi cikal bakal munculnya praktik pergundikan dan prostitusi di kemudian hari.

Baca Juga: Ini Yang Namanya Real Musuh Dalam Selimut, Tragisnya Nasib Sultan Hamengkubuwono V Yang Tewas Ditusuk Selirnya SendiriPergeseran Nilai dan Dampak KolonialismePergeseran nilai yang signifikan terjadi pasca Perang Jawa (1825-1830).

Kolonial Belanda, dengan ambisi dan kepentingannya, membawa perubahan drastis pada lanskap sosial dan ekonomi Jawa.

Pembangunan perkebunan, jalan raya, pabrik gula, dan intensifikasi pelabuhan, mendatangkan banyak pekerja laki-laki yang jauh dari keluarga. Kebutuhan akan companionship dan pelampiasan hasrat seksual memicu maraknya praktik prostitusi.11 kabupaten yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok selir raja, kini bertransformasi menjadi pemasok perempuan untuk industri seks di kota-kota besar.

Kolonial Belanda, dengan sistem dan nilai-nilainya, secara tidak langsung memperparah eksploitasi dan degradasi perempuan yang rentan dalam masyarakat Jawa.

Tradisi Selir, Politik, dan Pergeseran NilaiTradisi selir raja Jawa, meskipun telah lama berlalu, meninggalkan jejak sejarah yang kompleks dan penuh makna. Tradisi ini mencerminkan strategi politik, dinamika sosial, dan pergeseran nilai yang terjadi di masa lampau.

Memahami tradisi ini dengan segala kompleksitasnya, membuka wawasan tentang bagaimana kekuasaan, gender, dan moralitas saling terkait dan bertransformasi dalam perjalanan sejarah.Lebih dari sekadar kisah tentang nafsu dan romansa, tradisi selir raja Jawa adalah cerminan realitas politik, mobilitas sosial, dan eksploitasi perempuan di masa lampau.

Dengan mempelajari tradisi ini, kita dapat memahami akar sejarah yang membentuk masyarakat Jawa saat ini, dan belajar dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih adil dan setara.

1. Jumlah Selir dan Posisi

Jumlah selir yang dimiliki seorang raja tidak dibatasi. Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja

Mataram Islam yang terkenal, diperkirakan memiliki lebih dari 50 selir.

Selir tidak memiliki kedudukan resmi di istana seperti permaisuri. Namun, beberapa selir yang dikaruniai anak laki-laki berhak atas tahta kerajaan.

Selir dibagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan status dan kedekatannya dengan raja.

Baca Juga: Gegara 1 Wanita Istri Orang Ini, Amangkurat I Tega Sekap Lalu Bantai 42 Selirnya

2. Proses Pemilihan Selir

Raja biasanya memilih selir dari kalangan putri bangsawan, wanita cantik dari rakyat biasa, atau bahkan janda bangsawan.

Proses pemilihan selir bisa melalui berbagai cara, seperti penculikan, persembahan, atau hadiah dari penguasa bawahan.

Selir yang terpilih harus menjalani serangkaian ritual dan pelatihan sebelum memasuki istana.

3. Kehidupan Selir di Istana

Selir tinggal di kompleks khusus yang disebut keputren.

Mereka mendapatkan pendidikan agama, seni, dan budaya istana.

Selir memiliki tugas utama untuk melayani raja dan melahirkan penerus tahta.

Selir yang tidak disukai raja bisa dipindahkan ke daerah lain atau bahkan dibunuh.

4. Kisah Selir Ternama

Ratu Malang: Selir Sultan Agung yang terkenal karena kecantikannya dan menjadi ibu dari Amangkurat I.

Ratu Ayu: Selir Pakubuwono II yang menjadi ibu dari Pakubuwono III dan terkenal karena ketegasannya.

Ratu Kencana: Selir Amangkurat II yang menjadi ibu dari Amangkurat III dan terkenal karena kecerdasannya.

5. Tradisi Selir: Kontroversi dan Dampak

Tradisi selir di masa Mataram Islam menimbulkan pro dan kontra. Ada yang melihatnya sebagai bentuk eksploitasi perempuan, namun ada pula yang menganggapnya sebagai bagian dari strategi politik dan menjaga kelangsungan dinasti.

Tradisi ini memiliki dampak sosial dan budaya yang kompleks, seperti mobilitas sosial, poligami, dan persepsi gender.

Penutup

Memahami tradisi selir di kerajaan Mataram Islam bagaikan membuka jendela sejarah yang penuh dengan intrik politik, dinamika sosial, dan kompleksitas budaya.

Tradisi ini, meskipun telah lama berlalu, meninggalkan jejak yang masih terasa hingga saat ini.

Mempelajari tradisi selir membuka ruang untuk refleksi dan diskusi tentang peran perempuan, kekuasaan, dan moralitas dalam konteks sejarah dan budaya Jawa.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

--

Artikel Terkait