Find Us On Social Media :

Sejarah Gelar Haji di Indonesia Dari Zaman Kolonial

By Afif Khoirul M, Selasa, 9 Juli 2024 | 07:30 WIB

Dulu, hanya orang-orang yang benar-benar kaya bisa berangkat haji. Pada 1965, ongkos haji berkisar dari 1,1 juta hingga 1,2 juta. Itu angka yang sangat besar.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di Indonesia, meyandang gelar Haji atau Hajjah merupakan sebuah kehormatan besar bagi umat Muslim. Gelar ini tidak hanya menunjukkan status religius seseorang, tetapi juga melambangkan keberhasilan mereka dalam menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah.

Namun, tahukah Anda bahwa tradisi penyematan gelar Haji di Indonesia memiliki sejarah panjang yang kompleks, dengan perpaduan antara makna religius, budaya lokal, dan pengaruh kolonialisme Belanda?

Akar Tradisi, Kehormatan dan Penanda Keberhasilan

Sejak awal penyebaran Islam di Nusantara, ibadah haji telah menjadi simbol ketaatan dan keimanan yang tinggi. Bagi mereka yang mampu menunaikan ibadah haji, perjalanan tersebut bukan hanya ritual spiritual, tetapi juga pencapaian luar biasa yang membutuhkan pengorbanan besar.

Kesulitan dan bahaya yang dihadapi selama perjalanan, serta biaya yang tidak sedikit, membuat mereka yang berhasil kembali ke tanah air dengan selamat dianggap sebagai individu yang istimewa dan patut dihormati.

Tradisi penyematan gelar Haji di Indonesia pun berkembang dari rasa hormat dan kekaguman masyarakat terhadap para peziarah Tanah Suci.

Gelar ini menjadi penanda bagi mereka yang telah menyelesaikan rukun Islam kelima, dan sekaligus pembeda dari mereka yang belum berkesempatan.

Nuansa Kolonial: Simbol Status dan Kontrol Sosial

Namun, sejarah gelar Haji di Indonesia tidak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-20, Belanda mulai menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk mengontrol dan memanipulasi umat Islam di Hindia Belanda.

Salah satu strategi yang mereka gunakan adalah dengan mengakui dan bahkan mendorong tradisi penyematan gelar Haji.

Belanda melihat gelar Haji sebagai alat untuk menciptakan hierarki sosial di kalangan Muslim. Mereka memberikan berbagai kemudahan dan privilese bagi para pemegang gelar Haji, seperti pembebasan pajak dan kesempatan untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan lokal.

Hal ini bertujuan untuk menciptakan kelas elit Muslim yang pro-Belanda dan dapat membantu mereka dalam menjalankan politik kolonialnya.

Baca Juga: UFO di Langit Jawa Timur, Kisah Nyata TNI Diganggu Benda Asing pada Operasi Dwikora

Perpaduan Makna: Tradisi, Religiusitas, dan Status Sosial

Meskipun memiliki nuansa kolonial, tradisi penyematan gelar Haji di Indonesia tetap memiliki makna religius dan budaya yang kuat. Bagi umat Muslim, gelar ini menjadi pengingat akan komitmen mereka terhadap agama dan pencapaian spiritual mereka.

Gelar Haji juga menjadi simbol kedewasaan dan kebijaksanaan, dan seringkali diasosiasikan dengan sosok pemimpin yang patut dihormati dan diteladani.

Seiring waktu, tradisi penyematan gelar Haji di Indonesia telah beradaptasi dan berkembang. Makna religius dan budayanya tetap lestari, namun pengaruh kolonialisme Belanda semakin memudar.

Gelar Haji saat ini lebih dilihat sebagai penanda ketaatan dan keimanan, serta pencapaian spiritual yang luar biasa, tanpa konotasi status sosial yang kuat seperti di masa kolonial.

Kesimpulan: Tradisi yang Bertahan dengan Makna yang Berkembang

Sejarah gelar Haji di Indonesia merupakan contoh menarik bagaimana tradisi lokal dapat beradaptasi dan bertransformasi dalam konteks sosial dan politik yang berubah.

Tradisi ini, meskipun memiliki akar kolonial, telah menjadi bagian integral dari budaya Muslim di Indonesia dan terus dilestarikan hingga saat ini.

Gelar Haji tetap menjadi simbol kehormatan, ketaatan, dan pencapaian spiritual bagi umat Muslim di Indonesia, dengan makna yang terus berkembang seiring dengan zaman.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---