Seperempat pertama abad ke-20 di Indonesia merupakan masa ketika lahir nama-nama besar yang kelak menjadi pahlawan bagi negeri ini. Nama-nama besar ini juga diikat dengan berbagai kemunculan organisasi dan aksi-aksi kepemudaan yang pengaruhnya sangat luas hingga seluruh wilayah Indonesia.
Oleh Dani Kosasih untuk Intisari edisi Juni 2021
---
Intisari kini hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Surakarta pada awal abad XX menjadi bagian penting dalam sejarah pergerakan pemuda, khususnya berbasis Islam, yang pada akhirnya menjadi “kendaraan” ideologis untuk perlawanan terhadap kolonialisme.
Perang ideologi pun melahirkan aksi pergerakan yang diekspresikan melalui banyak medium seperti surat kabar, rapat umum, serikat buruh, pemberontakan, karya sastra, hingga lagu-lagu yang sengaja diciptakan untuk membangkitkan semangat anggota organisasi yang tentunya akan bermuara pada semangat nasionalisme.
Pada masa-masa pergerakan inilah dunia politik Indonesia mulai merekah dan menjadi cikal bakal tiga aliran besar yaitu nasionalisme, islamisme, dan komunisme menemukan tokohnya.
Haji Merah
Dari banyak nama besar yang mencuat, muncul nama Haji Mohammad Misbach. Namun sayang, ia terlempar dari pusaran nama-nama pahlawan kita. Alasan pastinya tidak pernah jelas, namun banyak peneliti dan sejarawan percaya hilangnya nama Misbach tidak lepas dari julukannya sebagai Haji Merah.
Lika-liku kehidupan Haji Misbach sangat sporadis, tidak terpetakan karena sering kali berbagai tindakannya merupakan respons dari keadaan yang terjadi di hadapannya saat itu. Seperti keberadaan Sarekat Islam, kehadiran Muhammadiyah, hingga pergerakan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Seluruh respons yang diberikan oleh Haji Misbach selalu berakar dari keresahan, kepedulian dan rasa ketidakadilan yang menurutnya merupakan inti dari ajaran Islam.
Lalu siapa Haji Misbach sebenarnya?
Misbach lahir sekitar era 1876 di Kauman, Surakarta, dengan nama kecil Achmad. Masa kecil Achmad banyak dihabiskan dengan membantu ayahnya berdagang batik. Ayah Achmad adalah seorang pedagang batik yang kaya raya. Mereka tinggal di sisi barat alun-alun utara, dekat Masjid Agung Surakarta. Kauman sendiri adalah tempat bermukimnya para pegawai keagamaan para Sunan.
Sang ayah bukanlah pejabat keagamaan yang terkenal, namun, karena Achmad lahir dan besar di kawasan yang sangat religius di Surakarta, maka dia menghabiskan sebagian besar masa sekolahnya di pesantren.
Basis pendidikan di pesantren serta lingkungan keraton Surakarta inilah yang kemudian memengaruhi sosok Misbach ketika menjadi seorang mubalig, meskipun dia juga menempuh pendidikan di sekolah bumiputera “Ongko Loro”.
Setelah menikah, Achmad merubah namanya menjadi Darmodiprono. Ketika ia menunaikan kewajiban untuk berangkat ke Tanah Suci, namanya berubah menjadi Haji Muhammad Misbach. Namun ada yang hilang dari sejarah Haji Misbach, bahkan jika membaca buku Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 karya Takashi Shiraishi. Dari ratusan halaman yang dihasilkan melalui studi kepustakaan yang luas dan mendalam, sulit sekali menemukan fase saat Haji Misbach hidup sebagai seorang ayah dan suami. Nama dari sang istri pun sulit ditemukan.
Haji Misbach dalam masa Pergerakan
Sebelum era 1910-an, Misbach bukanlah tokoh yang dikenal. Dia banyak menghabiskan hari-harinya dengan berdagang batik membantu ayahnya. Sebagai seorang pedagang, dia cukup lihai dan apik dalam mengelola bisnisnya. Terlebih lagi pada era abad XX, Surakarta merupakan sentra batik di pulau Jawa.
Kepiawaiannya dalam berdagang membuatnya mendirikan rumah kerja batik dan menjadi pengusaha batik yang sukses pada masa itu.
Misbach tidak menguasai bahasa Belanda dengan fasih sehingga dia tidak mampu membaca dan menulis dalam bahasa Belanda. Misbach juga tidak memiliki teman maupun sahabat dari Belanda. Namun dia sangat fasih berbahasa Arab.
Karena keterbatasan inilah, banyak penulis isu pergerakan menganggap bahwa Misbach relatif banyak dikenal dalam lingkungan pesantren dan pendidikan agama dibandingkan di kalangan tokoh-tokoh pergerakan.
Misbach pertama kali tampil sebagai tokoh pergerakan kaum muda Islam di Surakarta pada pertengahan 1910-an. Saat Sarekat Islam didirikan di Surakarta pada 1912, Misbach mendaftar menjadi anggota, namun tidak terlalu aktif karena urusan perdagangan batik.
Nama Misbach baru mulai naik saat terlibat pergerakan pada 1914, ketika ia ikut dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) bentukan Mas Marco Kartodikromo, murid dari Tirto Adhi Surjo. Selain Mas Marco, ada juga Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono, dan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri lainnya.
IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal. Sejumlah anggotanya sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda. Alasan Misbach bergabung dengan IJB sangat sederhana: ia merupakan pelanggan setia surat kabar Doenia Bergerak, yang merupakan organ dari IJB.
Perjalanan pergerakan Haji Misbach berkelok-kelok seperti dituliskan oleh Shiraishi. Buletin Suara Muhammadiyah juga runtun merekam perjalanan kisah Haji Misbach, mulai dari yang awalnya menjadi sekutu hingga menjadi penyerang organisasi besutan K.H. Ahmad Dahlan ini. Bermula dari kawan hingga akhirnya menjadi pemikir yang berseberangan.
Sang Haji Merah
Kisah pergerakan Haji Misbach juga terkenal di kalangan masyarakat buruh. Kepedulian pada nasib buruh dan keahlian mengatur strategi saat melakukan aksi mogok kerja membuatnya dicap sebagai propagandis.
Pun julukan Haji Merah atau Kyai Merah muncul di masa-masa kedekatannya dengan aksi-aksi buruh dan kelompok-kelompok komunis. Mungkin karena paham kiri yang dianutnya itu, membuat Haji Misbach nyaris tidak disebut dalam sejarah pergerakan Islam di Nusantara.
Padahal, Islam dan komunisme adalah paham yang sejalan menurutnya. Sebagaimana yang diajarkan oleh komunisme, Islam, menurutnya adalah agama yang melawan penindasan dan ketidakadilan. Haji Misbach sangat sadar akan kondisi penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan yang dialami oleh saudara-saudaranya.
Shiraishi merekam apa yang dikatakan oleh Marco Kartodikromo tentang Haji Misbach dan kedekatannya dengan masyarakat saat itu.
Marco dalam tulisannya berjudul "Tjatatan Singkat Tentang Kawan Haji Misbach" di Medan Moeslimin (1926) mengatakan, "... Misbach memandang bahwa tidak ada bedanya antara seorang pencuri biasa dengan orang berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Karena alasan itu, Misbach lebih gemar memakai kain kepala daripada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut 'Haji'."
Nama Haji Merah adalah julukan yang termanisfetasi dari kekecewaannya terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum marjinal. Saat CSI atau Central Sarekat Islam pecah, Haji Misbach memilih untuk merapat ke SI Merah yang lebih dekat dengan PKI dan bahkan menjadi pimpinan PKI di Surakarta.
Keyakinannya hanya satu, antikapitalis.
Menurutnya, siapa pun yang menyengsarakan rakyat itu sama saja dengan antek kapitalis. Saiful Hakam dari Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (PSDR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa Misbach memiliki gerakan membela kaum marjinal yang cukup keras.
Hal ini membuatnya menjauh dari pemuka-pemuka agama yang hanya mementingkan diri sendiri dan terus menerus mengumpulkan harta hanya untuk kepentingan perut mereka sendiri. “Haji Misbach banyak menyerang bangsawan Jawa yang saat itu hidup boros dan tidak memedulikan kaum marjinal,” ungkapnya.
Haji Misbach dan Kaum Muda Islam
Banyak dari pemikiran-pemikiran besar dan progresif Haji Misbach tertuang di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Kritik hingga serangan agitatif meluncur sangat deras dari dua surat kabar yang didirikannya ini.
Sebut saja “Semprong Wasiat”, sebuah kritik terhadap Tjokroaminoto, yang dimuat dalam surat kabar Medan Moeslimin (1923). Selain itu ada juga “Islam dan Gerakan” yang dimuat dalam surat kabar Medan Moeslimin (1923), serta “Islamisme dan Komunisme”, yang ditulisnya ketika diasingkan di Manokwari,dan dimuat dalam surat kabar Medan Moeslimin (1925).
Medan Moeslimin lahir pada 1915. Ceritanya, saat berada di dalam IJB, Haji Misbach berkenalan dengan Haji Fachrodin dari Kauman, Yogyakarta. Kedua tokoh agama ini sama-sama pedagang batik dan sama-sama berasal dari keluarga pejabat keraton. Muhammad Jazuli adalah nama kecil dari Haji Fachrodin.
Artikel di Suara Muhammadiyah berjudul “Pemred Suara Muhammadiyah dari Masa ke Masa” menceritakan bahwa Fachrodin merupakan seorang pengusaha, wartawan, aktivis pergerakan, dan mubalig. Bersamaan dengan lahirnya Medan Moeslimin, Fachrodin juga mendirikan Suara Muhammadiyah dan mencetuskan ide pembentukan posisi sebagai Pemimpin Redaksi di Suara Muhammadiyah.
Pada 1917, Misbach dan Fachrodin juga menerbitkan majalah Islam Bergerak yang sering digunakan sebagai corong perlawanan atas penindasan kolonial Belanda. Karena Fachrodin merupakan murid serta orang kepercayaan K.H. Ahmad Dahlan, maka tidak sulit bagi Fachrodin dan Misbach untuk mengajak pemimpin tertinggi Muhammadiyah itu bergabung menjadi kontributor penulis untuk Medan Moeslimin.
Bahkan namanya terpampang jelas di sudut kiri atas halaman depan surat kabar ini. Misbach adalah sosok yang disukai oleh anak-anak muda di Kauman. Dia merupakan sosok yang digemari untuk dijadikan lawan bicara ataupun diskusi. Sementara, bagi para penikmat wayang orang, Haji Misbach justru mendapat tempat yang lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang itu sendiri.
Marco (1924) juga menyebutkan dalam tulisannya di Medan Moeslimin yang dikutip oleh Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak, bahwa Misbach memiliki kawan dari setiap golongan untuk melakukan pergerakan. Tapi tidak bagi golongan Islam yang mementingkan diri sendiri dan hanya senang mengumpulkan harta benda dibandingkan menolong sesama.
Haji Misbach dan K.H. Ahmad Dahlan
Haji Misbach dan K.H. Ahmad Dahlan adalah dua sosok yang membawa banyak perubahan bagi pendidikan Islam di Solo dan Yogyakarta. Berbeda dengan di Surakarta, Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 memiliki pengaruh besar karena sosok K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah dengan cepat menjelma sebagai organisasi dan pusat pergerakan muslim yang saleh dan progresif.
Mungkin hal tersebut banyak disebabkan oleh keterlibatan para pemimpin dan aktivis Muhammadiyah yang berasal dari keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah dari K.H. Ahmad Dahlan sendiri merupakan Khatib Amin Masjid Agung. Ibunya adalah anak kepala pegawai keagamaan. K.H. Ahmad Dahlan sendiri telah menjadi Khatib Amin sejak 1900-an.
Terlebih, sistem birokrasi keagamaan di Yogyakarta dan tempat-tempat lain di Jawa pada saat itu adalah sebagai alat dari negara, sehingga wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam, tetapi karena jabatannya.
Meskipun kebanyakan dari mereka naik haji ke Mekah dan juga belajar Islam, tetapi pelajaran agamanya tidak terlalu dalam. Banyak pihak yang menuding bahwa pemuka agama yang menjadi alat negara pada saat itu tidak memiliki wibawa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kiai yang murni lahir dari pesantren dan tidak terikat oleh sistem birokrasi.
Atas dasar inilah, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan tujuan membimbing muridnya menjadi muslim “sejati”, dengan cara memperbaiki (menyucikan) dan memodernisasi praktik-praktik serta pemahaman keagamaan mereka.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, apa yang baik bagi Muhammadiyah adalah baik bagi Islam. Pemahaman ini membuat banyak kalangan reformis yang memiliki posisi strategis, khususnya mereka yang hidup di lingkungan keagamaan Yogyakarta, melihat bahwa Muhammadiyah telah menyatukan umat Islam yang saat itu sedang kocar-kacir hingga dengan sukarela bekerja penuh keyakinan demi Islam.
Sedangkan Surakarta tidak memiliki tokoh yang begitu berwibawa serta diagungkan seperti K.H. Ahmad Dahlan. Saat itu, di Surakarta sudah berdiri Madrasah Mamba’oel Oeloem, sekolah agama Islam yang didirikan oleh Patih R. Adipati Sosrodiningrat sejak 1906. Selain itu, dominasi Sarekat Islam juga cukup kuat di Surakarta. Oleh sebab itu pula banyak pegawai keagamaan yang progresif, kyai, guru ngaji, dan pedagang batik menemukan kenyamanan dan ketenangan bersama di dalam forum Medan Moeslimin.
Di Medan Moeslimin, mereka dapat mengekspresikan pendapat mereka yang sering berbeda satu sama lain. Takashi Shiraisi menulis bahwa mereka yang berkumpul di dalam Medan Moeslimin menyebut diri mereka sebagai kaum muda Islam yang progresif.
Misbach dan paham komunis
Nor Hiqmah, alumnus Fakultas Filsafat UGM sempat membukukan karya skripsinya yang berjudul H.M. Misbach: Kisah Haji Merah (2008). Buku ini bercerita tentang kedekatan Haji Misbach dan Muhammadiyah yang digambarkan dari pembentukan forum Sidik Amanah Tableg Vathonah (SATV) di Surakarta.
Forum yang banyak diisi oleh saudagar-saudagar batik ini dibentuk atas dasar memajukan umat Islam dan membela kaum tertindas. Pembentukan forum ini juga sebuah respons dari pembentukan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) yang diusung oleh Tjokroaminoto. Pada awalnya, forum ini hanya berisi pengajian agama di rumah Haji Misbach. Namun seiring berjalannya waktu, SATV tumbuh menjadi forum yang teratur dan bahkan memiliki program-program sistematis dan nyata.
Misalnya, menerbitkan surat kabar, menyelenggarakan pengajian, bahkan mendirikan sekolah Islam.
Pada 1919, Haji Misbach membuat karikatur yang cukup menghangatkan emosi pemerintahan Hindia-Belanda. Dia menggambar karikatur yang bercerita tentang kapitalis Belanda yang suka menindas petani dengan membebani buruh untuk kerja paksa dengan upah yang kecil dan pajak yang tinggi.
Karena perlawanannya yang tidak pandang bulu terhadap kapitalis, bukan hanya pemerintah kolonial yang diserang oleh Haji Merah ini. Para penguasa feodal seperti Pakubuwana X yang dikenal sangat akrab dengan Belanda pun ikut mendapat serangan.
Hingga akhirnya retorika Haji Misbach berhasil menggerakkan aksi mogok para petani di beberapa perkebunan Belanda pada 1919. Karena terlalu vokal, Haji Misbach pun ditangkap dan dipenjara pada 1920 karena dianggap menjadi pemicu aksi pemogokan buruh tebu di Desa Nglungge, Klaten, Jawa Tengah.
Selama di dalam tahanan, antara Klaten dan Pekalongan, Misbach berkenalan dengan banyak aktivis Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), yang merupakan embrio dari Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga akhirnya Misbach mendalami paham-paham Marxisme.
Saat itu, kata Saiful Hakam, salah satu alat yang paling mudah untuk membaca dan melihat realitas sosial adalah Sosialisme-Marxisme. “Haji Misbach mencoba melakukan analisis mengapa kesenjangan sosial bisa terjadi,” tambahnya. Peristiwa dipenjaranya Misbach ternyata memberi dampak bagi hubungan akrabnya dengan Muhammadiyah.
Selepasnya dari penjara, Misbach mulai mengambil alih kepemimpinan Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak yang sebelumnya berada di bawah kendali Fachrodin. Karena mendapat dukungan yang cukup deras dari para pengikutnya, Muhammadiyah pun terpaksa melepas dua surat kabar yang mereka bentuk bersama itu. Dari sinilah paham-paham perlawanan Misbach mulai terdengar.
Misbach mulai tidak sejalan dengan Muhammadiyah yang dianggap lembek dan tidak mau menempuh jalur politis untuk membela rakyat yang ditindas oleh kolonial Belanda. Tidak hanya Muhammadiyah, Sarekat Islam yang dahulu dekat dengannya pun turut menjadi sasaran serangan.
Sarekat Islam diserang setelah kasus penggelapan uang organisasi dianggap tidak diselesaikan dengan bijak oleh H.O.S Tjokroaminoto. Shiraisi bahkan menceritakan bahwa Darsono sempat menyerang Tjokroaminoto dengan menuduhnya telah menyalahgunakan uang organisasi.
Karena telah berbeda haluan, Misbach bersama dengan Semaoen dan Darsono memecahkan diri dan membentuk Sarekat Islam Merah yang kelak melebur dengan PKH menjadi PKI. Dalam satu mimbar, Misbach bahkan berani menyerang dan menyebut perhimpunan yang bermarkas di Yogyakarta itu sebagai antek kapitalis dan turut terlibat dalam dugaan penggelapan uang internal Sarekat Islam.
Kisah Haji Misbach membawa kita pada era saat pemikiran-pemikiran tentang pembebasan bagi kaum buruh dan kaum tertindas lahir. Nor Hiqmah dalam bukunya berjudul H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi Pemikirannya (2000), membuat kita merenung bahwa kebebasan memang harus diraih. Terlebih bagi mereka yang tertindas.
Misbach, kata Saiful Hakam, memiliki keberanian mengkritik semua posisi yang sedang “duduk” nyaman di atas status quo. Bagi Misbach, memerangi kapitalis adalah hal yang wajib dilakukan oleh umat muslim karena kapitalis merupakan kaum serakah yang menebar kezaliman dan kekejian.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah nama Haji Misbach akan mulai mewarnai tokoh-tokohIslam dan pendidikan nusantara, seperti halnya Tjokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan seperti saat ini. Saiful Hakam menutup wawancara dengan mengatakan bahwa, “Yang menarik saat ini adalah, penghilangan nama Haji Misbach atau mungkin Tan Malaka, mereka yang beraliran kiri dalam masa pembentukan ideologi Indonesia adalah hal yang sia-sia. Karena nama mereka justru semakin besar di ruang-ruang diskusi yang bahkan terbuka.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News