Find Us On Social Media :

Ketika Orde Baru Menyerahkan Urusan Judi Porkas Kepada Pria Solo

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 5 Juli 2024 | 15:31 WIB

Robby Sumampow alias Robby Kethek adalah pengusaha yang dipasrahi mengelola judi Porkas pada zaman Orde Baru. Dia dikenal dekat dengan Keluarga Cendana.

Robby Sumampow alias Robby Kethek adalah pengusaha yang dipasrahi mengelola judi Porkas pada zaman Orde Baru. Dia dikenal dekat dengan Keluarga Cendana.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Sejarah perjudian di Indonesia sudah berlangsung cukup panjang. Salah satu yang paling populer adalah lotere.

Menurut sebuah paper yang tayang di jurnal elektronik AVATARA berjudul "Legalisasi Porkas Dan Dampaknya Terhadap Masyarakat pada Tahun 1985-1987" yang ditulis oleh Wahyu Lumaksono, judi bentuk lotre sudah ada sejak 1960-an, yang lebih dikenal sebagai lotre buntut.

Dalam sejarah perjudian di Indonesia, judi Porkas alias Pekan Olahraga Ketangkasan tentu yang paling populer yang ada pada masa Orde Baru. Untuk urusan ini, Orba menyerahkan mengelolaannya kepada seorang pria Solo, Jawa Tengah, bernama Robby Sumampow alias Robby Kethek.

Robby sendiri meninggal dunia pada November 2022 di Singapura pada usia 76 tahun. Selama hidupnya, pengusaha properti dan hiburan itu dikenal dekat dengan Keluarga Cendana.

Seperti disebut di awal, Robby dikenal sebagai pebisnis yang mengelola undian Porkas atau yang juga dikenal sebagai SDSB. Oleh banyak kalangan, Porkas dianggap sebagai judi karena pada dasarnya adalah undian atau lotre berhadiah.

Meskipun begitu, pemerintahan Orde Baru selalu menolaknya disebut sebagai judi. Menurut Harian Kompas, 29 Desember 1985, Porkas dipakai pemerintah untuk menggalang dana untuk membiayai penyelenggaraan olahraga terutama sepak bola.

Pada 1980-an, pemerintah mulai melegalkan penarikan dana dari masyarakat lewat kupon yang nantinya akan diundi pemenangnya untuk mendapatkan hadiah. Nama resmi undian dari pemerintah tersebut yakni Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola (KPBS).

Undian tersebut bahkan diperkenalkan langsung oleh Menteri Sosial saat itu, Nani Soedarsono. "Ini adalah hadiah tahun baru buat kami, dan berarti menunjang dana KONI untuk pembinaan olahraga," kata Nani Soedarso dikutip pada 31 Desember 1985.

Porkas terbilang cukup sukses, dana besar yang terkumpul dari undian tersebut dipakai untuk membiayai kompetisi sepak bola Galatama yang dikelola PSSI.

Skema undian

Skema undian Porkas yakni masyarakat membeli kupon berhadiah dan bertaruh pada 14 klub yang berkompetisi di Galatama. Pembeli Porkas juga harus memilih tebakan hasil pertandingan yang terdiri dari menang-seri-kalah.

Lalu pemerintah lewat PSSI dan KONI akan melakukan undian setiap seminggu sekali setelah 14 klub sudah seluruhnya bertanding.

Kupon undian yang dipakai dalam Porkas disebut Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah atau KSOB. Namanya lalu berganti menjadi TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah), dan lalu berganti lagi menjadi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah)

Aturan pelegalan Porkas diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1954 tentang Undian. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985.

Judi taruhan selama pertandingan sebenarnya sudah marak sejak lama dan termasuk kegiatan ilegal. Pemerintah Orde Baru memanfaatkan undian Porkas untuk menggalang dana kompetisi dengan melegalkannya.

Karena dianggap judi yang dilegalkan, undian Porkas juga menuai banyak kontroversi. Banyak masyarakat yang menentang undian Porkas. Namun pemerintah Orde Baru tak bergeming karena Porkas diklaim adalah undian, bukan dianggap sebagai judi.

Salah satu yang menentang undian yang juga dikenal dengan Sumbangan Olahraga Berhadiah (SOB) ini adalah MUI. Ormas Islam ini bahkan melayangkan surat resmi meminta Presiden Soeharto mengevaluasi kembali baik buruknya Porkas.

Undian Porkas kemudian lambat laun hilang di akhir periode kekuasaan Orde Baru. Pasca-reformasi, pemerintah tak lagi melanjutkan ide penggalangan dana dengan Porkas atau SDSB.

Jakarta pernah jadi surga kasino

Ngomong-ngomong soal judi legal, Jakarta juga pernah kasino yang sangat terkenal. Kasino yang ada di Jakarta berawal pada pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, menjabat antara tahun 1966 hingga 1977.

Saat itu Ali Sadikin kaget ketika melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sangat sedikit. Cuma Rp66 juta--sudah termasuk pungutan pajak daerah dan subsidi dari pemerintah.

Gubernur yang dikenal klimis itu pun dipaksa harus memutar otak karena tidak mungkin membangun Kota Jakarta dengan dana cuma segitu. Dia mencari cara, tentu saja cara yang dia inginkan jangan sampai menabrak undang-undang yang ada.

Lalu Sekda DKI Jakarta saat itu, Djumadjitin, menunjukkan padanya bahwa ada Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Pajak Daerah yang membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk memungut pajak atas izin perjudian.

Dari situ kemudian pada 26 Juli 1967, Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan yang melarang semua perjudian gelap di wilayah DKI Jakarta. Lalu dia bulan kemudian, Jakarta pun mencatat sejarah dengan berdirinya kasino pertama di kawasan Petak Sembilan No. 52, Jakarta Barat.

Tak pelak, kebijakan Ali Sadikin tersebut langsung ditentang banyak pihak. Dia lalu mendapat julukan sebagai “Gubernur Judi” hingga “Gubernur Maksiat”. Namun sebagai orang nomor satu DKI Jakarta sekaligus Purnawirawan Letnan Jenderal KKO, dia tetap bergeming.

Dia percaya bahwa dia memiliki landasan hukum yang jelas. Gubernur di era sebelumnya mestinya tahu.

"Hanya saja gubernur-gubernur lain tidak berani melakukannya," ujar Ali Sadikin seperti dikutip dari Biografi Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H. "Saya berani untuk keperluan rakyat Jakarta."

Selain kasino di bilangan Petak Sembilan, beberapa kasino lain pun menyusul dibuka, seperti Hailai Casino yang dibangun pada tahun 1971 dan Copacabana Casino yang dibangun pada tahun 1975 di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Lalu ada juga di lantai bawah Djakarta Theater dan di Proyek Senen, Jakarta Pusat.

Copacabana Casino bukanlah kasino sembarangan. Kasino ini merupakan salah satu kasino yang bergengsi pada masa itu. Copacabana Casino berada persis di sebelah Hotel Horison (kini Mercure Convention Center Ancol).

Kasino ini bahkan memiliki ruang khusus VIP yang tentunya hanya pejudi kelas atas yang boleh diizinkan masuk. Kasino lain yang juga termasuk kasino bergengsi pada masanya ialah Hailai Casino.

Konon katanya, kasino ini adalah hasil kerja sama dengan Stanley Ho, pengusaha tajir asal Hong Kong yang terkenal sebagai Raja Judi di Makau. Stanley Ho, yang juga disebut-sebut sebagai "Godfather & King of Gambling" itu adalah pemilik SJM Holdings, sebuah perusahaan raksasa yang memiliki 19 kasino di Makau.

Satu di antaranya yang paling terkenal adalah Casino Grand Lisboa.

Hasilnya, berkat pajak judi itulah, keuangan pemerintah DKI Jakarta meningkat. Dari pajak judi itu pula Ali Sadikin kemudian membangun Ibu Kota Jakarta. Mulai dari proyek perbaikan kampung-kampung, pembangunan sekolah-sekolah hingga Taman Ismail Marzuki.

Akan tetapi, setelah masa jabatan Ali Sadikin berakhir pada 1977, para pengusaha judi pun bak kehilangan “pelindung” utamanya. Akibatnya pada April 1981, Copacabana Casino di Ancol pun ditutup untuk selamanya oleh Gubernur Tjokropranolo.

Alasannya, "Ini sudah perintah Pak Harto. Judi harus dihapus, bukan dialihkan ke tempat lain," katanya, seperti dikutip majalah Forum Keadilan, edisi Agustus 1995. Kasino-kasino lain pun menyusul ditutup.

Tetapi Hailai bernasib berbeda. Kasinonya memang ditutup, tetapi bisnis klub malamnya masih sempat berkibar. Dengan mengusung nama baru, yakni International Hailai Executive Club, klub malam ini pernah sangat terkenal hingga menyurut di tahun 2000-an.

Bekas gedung Hailai kini sudah terbakar habis pada November 2019 silam.

Akibat ditutupnya kasino-kasino di Jakarta, banyak pejudi yang tak punya pilihan selain terbang ke Genting di Malaysia atau ke Makau yang memang terkenal sebagai "Las Vegas of Asia". Hal itu sebenarnya tak disukai oleh Ali Sadikin karena dianggap hanya membuang devisa ke negara lain.

Di sisi lain, ditutupnya kasino di Jakarta malah memberikan ide bisnis bagi seorang pengusaha properti asal Perth, Frank Woodmore. Woodmore kemudian menggandeng pengusaha asal Solo, Robby Sumampow, membangun bisnis judi di Pulau Natal (Christmas Island), Australia pada tahun 1985 dengan nama Christmas Island Resort Pty Ltd.

Sejak mendapatkan lisensi kasino dari Pemerintah Federal Australia, lokasi berjudi yang kemudian terkenal dengan nama Christmas Island Casino and Resort pun melaju kencang. Pengunjung kasino alias pejudi di sana umumnya berasal dari berbagai kota Asia Tenggara termasuk Jakarta.

Sebuah maskapai nasional milik Tommy Soeharto yang sedang melejit kala itu, yakni Sempati Air sempat ikut terjun ke rute ini dengan membuka layanan penerbangan dari Jakarta yang bersaing dengan Ansett Airlines yang juga melayani rute ke Pulau Natal dari Perth dan Singapura.

Akan tetapi, Christmas Island Casino yang pernah disebut sebagai salah satu kasino paling menguntungkan di dunia tidak berusia panjang. Setelah hanya beroperasi sekitar 4 tahun, kasino ini akhirnya ditutup.

Penyebabnya tidak lain adalah krisis finansial yang menghantam Asia di tahun 1997-1998. Setelah kasino-kasino tersebut semuanya menghilang, para pecandu judi Indonesia pun mulai melanglang buana ke berbagai negara.

Ada yang kembali ke Genting Highlands di Malaysia dan Makau, Cina. Selain ke Malaysia dan Makau, banyak pejudi yang juga mencoba peruntungan ke Burswood Island Casino (kini bernama Crown Perth) di Perth atau ke Jupiters Hotel Casino (The Star Gold Coast) di Gold Coast, Queensland, Australia, hingga tak sedikit yang bahkan ke Las Vegas, AS.