Find Us On Social Media :

Menengok Kembali Perjalanan Sejarah Soeharto Menjadi Presiden RI Ke-2

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 26 Juni 2024 | 08:33 WIB

Soeharto, anak petani yang kelak menjadi Presiden Ke-2 RI setelah geger Gerakan 30 September 1965. Lengser karena pemerintahannya yang korup.

Soeharto, anak petani yang kelak menjadi Presiden Ke-2 RI setelah geger Gerakan 30 September 1965 (G30S). Lengser karena pemerintahannya yang korup.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Barangkali tidak ada yang menyangka bahwa anak seorang petani seperti Soeharto bisa menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Karena itulah banyak lika-liku yang harus ditempuh pemuda Kemukus itu untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Soeharto, terlepas dari berbagai kontroversi yang melingkupinya, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Satu hal yang perlu digarisbawahi dari sosok satu ini: kecerdikannya.

Bagaimana tidak, dengan latar belakang seorang anak petani yang sederhana, Soeharto berhasil meraih posisi tertinggi sebagai presiden Indonesia. Yang harus diingat pula, Soeharto jadi presiden selama tiga dasawarsa, tiga puluh tahun lebih.

Soeharto lahir di pada 8 Juni 1921 di desa Kemusuk, Bantul, sebuah wilayah di dekat Yogyakarta, Indonesia. Soeharto tumbuh dalam keluarga petani sederhana dan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai tradisional.

Dia adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Kertosudiro dan ibunya adalah Sukirah. Ayah Soeharto bekerja sebagai petani sekaligus pembantu lurah dalam mengairi persawahan desa.

Karena itulah ketika masih kecil, Soeharto tidak diasuh langsung oleh orangtuanya. Sejak berusia 40 hari, Soeharto dititipkan kepada Mbah Kromo, seorang dukun bayi yang telah membantu proses kelahirannya.

Soeharto kecil diasuh dan tinggal selama sekitar empat tahun di rumah Mbah Kromo. Semasa kecil, ia juga sering diajak Mbah Kromo ke sawah. Ayah dan ibu Soeharto berpisah saat ia masih kecil.

Ibunya menikah lagi dengan laki-laki bernama Atmopawiro dan memiliki tujuh orang anak. Sementara itu, sang ayah kandung juga menikah lagi dan mempunyai empat orang anak. Setelah berusia sekitar 4 tahun, ibunda Soeharto menjemput sang anak dari rumah Mbah Kromo.

Pria kelahiran Juni itu kemudian diajak tinggal di rumah ayah tirinya. Pendidikan dan karier militer Soeharto baru mulai bersekolah saat berusia delapan tahun dan sempat berpindah-pindah sekolah. Pada awalnya, ia bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Puluhan, Godean.

Tapi dia kemudian masuk ke Sekolah Dasar (SD) Pedes setelah ibu dan ayah tirinya pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Setelah itu, Soeharto kembali berpindah sekolah karena sang ayah kandung, Kertosudiro, menitipkan dia ke keluarga paman dan bibinya, Prawirowihardjo, di Wuryantoro, Purwodadi, Jawa Tengah.

Kertosudiro memilih menitipkan Soeharto kepada keluarga adiknya agar sang anak memiliki masa depan lebih baik. Prawirowiharjo yang merupakan suami dari adik ayah Soeharto, bekerja sebagai mantri tani.

Baca Juga: Akhir Karir Hoegeng, Polisi Anti Suap yang Diberhentikan Soeharto

Dia juga merupakan anak seorang pengusaha terkenal bernama Sudwikatmono. Selama tinggal bersama keluarga pamannya, Soeharto sering diajak ke sawah sehingga perlahan mengerti soal seluk beluk pertanian.

Setamat sekolah dasar, Soeharto kemudian memilih pulang ke Kemusuk untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia biasa mengayuh sepeda dari Kemusuk ke Yogyakarta demi menuntaskan pendidikan SMP.

Setelah lulus SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA), tetapi terkendala biaya. Oleh karena itu, Soeharto kemudian memilih masuk ke bidang militer.

Dia mendaftar ke Militer Koning Willem III (sekarang dikenal sebagai Akademi Militer Magelang) pada 1940.

Di akademi ini, Soeharto mendapatkan pendidikan yang tidak hanya membentuk karakternya sebagai seorang pemimpin, tetapi juga mempertajam bakat militernya. Pada 1941, ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah.

Lalu pada 5 Oktober 1945, Soeharto resmi menjadi anggota TNI. Soeharto menikah dengan seorang anak pegawai Mangkunegaran bernama Siti Hartinah pada 1947. Dari pernikahannya dengan Siti Hartinah atau biasa disapa Ibu Tin, Soeharto dikaruniai enam anak.

Mereka adalah Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Manfaatkan momentum G30S

Soeharto turut berperan sebagai anggota TNI selama masa perang kemerdekaan. Ia diberi tugas memimpin pasukan melawan aksi militer Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia. Nama Soeharto semakin dikenal publik setelah ia turut berperan dalam usaha menguasai Kota Yogyakarta pada serangan umum 1 Maret 1949.

Setelah itu, Soeharto mendapatkan pangkat brigadir jenderal dan bertugas memimpin Komando Mandala pada 1961, dalam misi merebut kembali Irian Barat. Seusai merampungkan tugas di Irian Barat, Soeharto mendapatkan kenaikan pangkat menjadi mayor jenderal.

Jenderal A.H. Nasution kemudian menarik Soeharto ke markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Selain itu, ia juga naik menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1962.

Perpecahan di tubuh ABRI dan meletusnya Gerakan 30 September (G30S) 1965 kemudian memberi panggung lebih luas kepada Soeharto untuk tampil ke politik. Operasi yang berlangsung setelah peristiwa G30S, membuka jalan Soeharto ke panggung politik Indonesia.

Jalan Soeharto ke panggung politik Indonesia juga didukung oleh Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 1946.

Supersemar memberi kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil dan menentukan segala tindakan supaya permasalahan terselesaikan dan dapat memulihkan keamanan dan ketertiban nasional. Soeharto kemudian menerima jabatan menjadi Panglima Komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Pada 1967, jalan menuju kursi presiden Indonesia terbuka bagi Soeharto ketika ia diangkat sebagai pejabat presiden menggantikan Soekarno. Langkah ini menandai awal perjalanan Indonesia dalam periode yang dikenal sebagai Orde Baru.

Meski sudah memimpin sejak 1967, Soeharto baru resmi dilantik oleh MPRS untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada 27 Maret 1968. Saat diangkat menjadi pejabat presiden, Soeharto memimpin negara dalam menghadapi tantangan yang kompleks.

Saat itu Indonesia dihadapkan pada krisis ekonomi dan politik. Soeharto pun melakukan reformasi ekonomi terencana dan disiplin fiskal untuk mengatasi inflasi yang tinggi. Dalam kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami transformasi besar. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Stabilitas politik juga lebih baik. Kebijakan pembangunan yang terstruktur dan berfokus pada pertanian, industri, dan infrastruktur menghasilkan hasil signifikan.

Baca Juga: Cerita Presiden Soeharto dan Keluarganya Berangkat Haji Dengan Uang Sendiri Tanpa Didampingi Menteri

Lengser karena pemerintahannya yang korup

Di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia berhasil menjalin kerja sama internasional yang lebih luas dan menjadi pusat perhatian dalam forum global. Dalam era Orde Baru ini, stabilitas politik yang ditegakkan memungkinkan Indonesia untuk mengejar proyek-proyek pembangunan skala besar, seperti proyek transmigrasi dan industrialisasi.

Walaupun begitu pemerintahan Orde Baru juga tidak terlepas dari berbagai kontroversi. Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, berjalan dengan otoriter. Kebebasan berpendapat dan pers pun dibungkam.

Selain itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga kental terjadi selama Orde Baru. Akhir kekuasaan Soeharto Kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade menemui titik akhir saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998.

Gelombang aksi protes dan kerusuhan pun terjadi di mana-mana untuk menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Hingga akhirnya, Soeharto memutuskan mengundurkan diri pada 1998.

Dengan mundurnya Soeharto, berakhirlah pemerintahan Orde Baru dan dimulailah era Reformasi yang masih berjalan hingga kini. Setelah menjalani masa-masa pensiun dengan tenang, Soeharto meninggal dunia pada usia 87 tahun di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, pada 27 Januari 2006.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News