Find Us On Social Media :

Ini Alasan Solo Memilih 'The Spirit Of Java' Sebagai Slogannya

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 19 Juni 2024 | 15:17 WIB

The Spirit of Java tak sekadar slogan, ia juga cara untuk menumbuhkan identitas daerah bahwa Kota Solo merupakan pusat tradisi dan budaya Jawa.

The Spirit of Java, barangkali yang pernah melancong ke Surakarta atau Solo tak asing dengan frasa tersebut. Benar itu adalah slogan kota tersebut.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Apa alasan pemilihan "The Spirit Of Java" sebagai slogan kota Solo?

Solo atau Surakarta merupakan sebuah wilayah otonom yang berada di Jawa Tengah. Kota ini cukup strategis mengingat lokasinya yang berada di jalur yang menghubungkan Yogyakarta-Surabaya, Yogyakarta-Semarang, dan Semarang-Surabaya.

Status kota bagi Kota Solo berlaku sejak munculnya UU 16/1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Itu sekaligus menghapus Karesidenan Surakarta yang eksis sebelumnya.

Kota ini punya luas 44,04 kilometer persegi. Ada lima kecamatan dan 54 kelurahan di dalamnya. Ulang tahunnya dirayakan tiap 17 Februari. Kenapa 17 Februari, ini bertepatan dengan sejarah pemindahan pusat kerajaan Mataram Islam terakhir dari Kartasura ke Kraton Surakarta pada Rabu Paing 17 Muharam 1670 atau 17 Februari 1745.

Ada beberapa slogan yang melekat pada kota yang penduduknya terkenal hangat ini. Salah satunya adalah "mulat sarira angrasa wani" yang artinya introspeksi diri, merasa berani. Juga sloga "Bersih" dalam urusan pemeliharaan keindahan kota. Artinya: bersih, sehat, rapi, dan indah.

Sementara "The Spirit of Java" adalah slogan pariwisata, yang artinya "jiwanya Jawa". Slogan ini ingin mengangkat citra Solo alias Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Slogan ini merupakan hasil sayembara pada 4 Oktober sampai 14 November 2005 yang diadakan oleh Pemkot Surakarta yang dimenangkan oleh Dwi Endang Setyorini, warga Giriroto, Ngemplak, Boyolali.

Mengutip situs Surakarta.go.id, ada dua tujuan penggunaan slogan "The Spirit of Java". Pertama tujuan internal, diharapkan dapat menjadi alat pemersatu dan meningkatkan kebanggaan dengan etos bersama untuk memajukan perekonomian wilayah. Kedua secara eksternal, bertujuan untuk membangun citra daerah yang menarik sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengenalkan Solo sebagai wilayah yang potensial bagi kegiatan investasi, perdagangan, dan pariwisata.

Tak sekadar slogan, masih dari sumber yang sama, "The Spirit of Java" juga bermakna dan bermanfaat bagi perkembangan Kota Solo.

"Kini ketika mendengar slogan 'The Spirit of Java', maka kebanyakan orang akan memahami bahwa yang dimaksud adalah Kota Solo. Dengan begitu berarti langkah diadakannya slogan tersebut telah berhasil menumbuhkan identitas daerah bahwa Kota Solo merupakan pusat tradisi dan budaya Jawa. Maka dari itu, sebagai warga Solo hendaknya bangga dan bertindak sesuai dengan ciri khas dari orang Jawa yang hangat dan sopan," begitu tulis Surakarta.go.id.

Mengutip Kompas.ID, Solo adalah kota yang kaya budaya sehingga ditetapkan menjadi salah satu pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Salah satu tradisi yang populer dan unik di kota ini adalah Kirab Pusaka Satu Suro. Tradisi unik tersebut biasanya diselenggarakan oleh Kraton Solo dan Puro Mangkunegaran pada malam hari menjelang tanggal 1 Suro.

“Terwujudnya Surakarta sebagai Kota Budaya, Mandiri, Maju, dan Sejahtera” begitulah visi Kota Solo, hal itu tertuang dalam Perda Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2016-2021.

Setidaknya ada empat misi Kota Solo:

- Pertama, waras: mewujudkan masyarakat yang sehat jasmani, dan rohani, dan sosial dalam lingkungan hidup yang sehat menuju masyarakat produktif, kreatif dan sejahtera serta membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.

- Kedua, wasis: mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, berkarakter dan berkontribusi kemajuan daya saing kota.

- Ketiga, wareg yakni mewujudkan masyarakat kota yang produktif mampu memenuhi kebutuhan dasar jasmani dan rohani menuju masyarakat mandiri dan partisipatif membangun kesejahteraan kota Mapan: Mewujudkan masyarakat yang tertib, aman, damai, berkeadilan, berkarakter dan berdaya saing melalui pembangunan daerah yang akuntabel (sektoral, kewilayahan, dan kependudukan) dan tata kelola pemerintahan yang efektif, bersih, responsif dan melayani.

- Keempat, papan yakni mewujudkan keseimbangan kebutuhan papan serta daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan dinamika kebutuhan pertumbuhan penduduk menuju kota berwawasan pembangunan berkelanjutan.

Eksistensi Kota Solo sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajang yang bercorak Islam. Nama Solo atau Sala diambil diambil dari nama tempat bermukimnya pimpinan kuli pelabuhan, yaitu Ki Soroh Bau (bahasa Jawa, yang berarti kepala tukang tenaga) yang berangsur-angsur terjadi pemudahan ucapan menjadi Ki Sala, yang berada di sekitar Bandar Nusupan.

Kemudian Surakarta diambil dari nama dinasti Kerajaan Mataram Jawa yang berpindah dari Kraton Kartasura pada tahun 1745. Perpindahan kraton dilakukan oleh Raja Pakubuwana II karena Kraton Kartasura sudah hancur akibat peperangan dan pemberontakan yang terkenal dengan Geger Pecinan tahun 1742. Pemberian nama kraton baru dengan membalikkan suku kata dari nama kraton lama, yaitu dari ‘Karta-Sura’ menjadi ‘Sura-Karta’, sampai sekarang sudah menjadi cerita umum masyarakat Solo.

Sala yang awalnya sepi berubah nasibnya setelah Peristiwa Geger Pecinan yang menghancurkan Keraton Kartasura yang membuat penguasa saat itu, Pakubuwana II, untuk memindahkan pusat pemerintahan pada 17 Februari 1745. Sala akhirnya dipilih dan namanya menjadi Surakarta. Tanggal itu kemudian dikenal sebagai Hari Lahir Kota Solo.

Di tempat baru itu, Pakubuwana II membangun kraton mengikuti contoh Kraton Kartasura. Letak kraton tetap membujur utara-selatan. Ada pintu atau Kori Kemandhungan dan Prabasuyasa, serta Bangsal Pangrawit berikut sepasang pohon beringin kurung, Dewadaru dan Jayadaru, asal Kraton Kartasura.

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Surakarta, bersama Yogyakarta, dikenal sebagai daerah Vorstenlanden atau swapraja. Ini adalah daerah yang berhak memerintah sendiri/tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan.

Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan kraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.

Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam Staatblad 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam Staatblad 1940/543.