Find Us On Social Media :

Begini Kondisi Jakarta Di Awal Abad 20, Dari Pecinan Hingga Soal Makan

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 14 Juni 2024 | 15:39 WIB

Begini kondisi Jakarta di awal abad 20 menurut kaca mata seorang pelancor asal Eropa bernama Augusta de Wit.

Makanan disajikan oleh pelayan-pelayan pribumi yang bergerak tanpa suara karena bertelanjang kaki. Potongan pakaian mereka setengah Eropa, dipadukan dengan sarung Jawa dan ikat kepala dari kain.

Saya belum pernah mencicipi makanan seperti itu di darat maupun di laut. Makanan utamanya nasi dengan ayam. Tapi di samping itu masih ada ikan, daging, potongan-potongan daging dalam pelbagai saus, pelbagai kari, acar, hati ayam, telur ikan, rebung, dan entah apa lagi.

Semua diberi bumbu yang baunya menyengat dan semua diberi cabai. Pokoknya, setiap hari koki mesti menyediakan sekitar 20 macam masakan. Mengherankan, perut pemakannya bisa tahan.

Anehnya lagi, semua itu dimakan dengan memakai sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri! Masih ada lagi tumpukan pisang, manggis, nenas, rambutan, duku.

Nasi dan lauk pauk ditumpukkan di piring saya. Langsung bibir saya gemetar kepedasan. Leher saya kebakaran sehingga mesti diguyur air. Sementara itu air mata saya bercucuran.

Salah seorang yang merasa kasihan kepada saya menyarankan agar menaruh sedikit garam di lidah. Saya menurut dan tak lama kemudian siksaan itu pun berakhir. Sambil terengah-engah, saya bersyukur karena saya masih hidup. Saya bersumpah tidak mau mencoba rijstafel lagi.

Namun, saya melanggar sumpah itu. Pengakuan ini saya nyatakan dengan bangga. Sekarang saya bisa makan nasi dan menyukainya.

Lain siang, lain malam

Selesai makan siang, saya diberi tahu bahwa sekarang saatnya untuk tidur siang.

Mungkinkah makanan yang bermacam ragam dan pedas itu membuat orang jadi mengantuk? Ataukah suhu yang panas dan cahaya yang menyilaukan membuat orang ingin tidur? Apa pun alasannya, saya merasa senang bisa masuk ke kamar saya yang teduh dan sunyi.

Dinding kamar itu temboknya putih saja, tidak dilapisi kertas dinding. Langit-langitnya juga demikian. Lantainya ubin merah. Di tengah ada kursi-kursi dari anyaman rotan dan di bawahnya ada sebidang tikar anyaman.

Alangkah senangnya saya menyentuh lantai yang tidak berkarpet itu. Kaki terasa sejuk. Dinding yang tidak dilapisi apa-apa itu pun memberi rasa segar.