Penulis
Intisari-Online.com -Dulu di Jawa adalah sebuah tradisi yang dikenal sebagai rampogan macan.
Dalam tradisi harimau jawa dilepaskan dari sarangnya ke sebuah lapangan di mana sudah ada prajurit dengan tombak terhunus di sekelilingnya.
Tradisi rampogan sendiri sebagai pertanda pemurnian dan penumpasan kejahatan.
Dalam prosesinya, ada pertarungan antara harimau dan banteng.
Jika banteng, yang dianggap sebagai simbol masyarakat Jawa, yang menang atas macan sebagai simbol orang jahat, para penonton akan bersorak.
Tradisi ini kemudian dihapus oleh Belanda pada awal abad ke-20.
Sultan Agung sendiri adalah penikmat pertarungan banteng dan macan jawa.
Suatu ketika, Sultan Agung pernah mengadakan pertarungan antara harimau jawa dan prajuritnya.
Kejadian itu terjadi sekitar 1620-an.
Untuk mewujudkan keinginan itu, pertama-tama Sultan Agung memerintahkan prajuritnya memburu sekitar 200an harimau.
Diperlukan dua bulan untuk menangkap harimau-harimau tersebut.
Ada hadiah yang menggiurkan dalam pertarungan tersebut.
Bagi prajurit yang berani akan mendapatkan penghargaan yang tak main-main dari raja.
"Ada yang diberi jabatan, yang lain diberi wanita, atau keris, atau pakaian," tulis HJ De Graaf dalam bukunya, Puncak Kekuasaan Mataram.
Pertarungan itu sendiri adalah sebagia ujian keberanian para prajurit Mataram sekaligus untuk menguji ketangkasan mereka.
Pertarungan itu sendiri biasanya dilakukan di alun-alun keraton.
Serdadu VOC jadi santapan buaya
Malang betul nasib serdadu-serdadu VOC yang ditugaskan melobi penguasa Mataram Islam, Sultan Agung.
Selain gagal melobi untuk berdamai, rombongan serdadu itu juga bernasib jelek: berakhir di kandang buaya.
Bagaimana ceritanya?
Tak lama setelah berhasil menaklukkan Surabaya pada 1625, Mataram Islam mengalihkan perhatiannya kembali ke Barat.
Keputusan ini membuat hubungan Mataram dan VOC memburuk.
Ketegangan semakin memuncak ketika Mataram menyerang Batavia sampai dua kali, pada 1628 dan 1629.
Meskipun serbuan tersebut gagal, Mataram terus menjalankan politik blokadenya dengan lebih ketat.
Merasa terpojok posisinya, Gubernur Jenderal Jaques Specx memutuskan untuk mengadakan perundingan lagi.
Namun agak sukar baginya mencari orang yang mampu dan bersedia dikirim ke ibukota Mataram, karena takut ditawan dan dijadikan sandera.
Akhirnya, van Maseyck yang pernah menjadi duta dan bahkan menjadi tawanan di Mataram memberanikan diri menerima tugas itu.
Kapal yang ditumpanginya merapat di Jepara pada bulan April 1631.
Sejumlah besar barang bingkisan diturunkan dan diatur di pelabuhan dijaga oleh 25 orang serdadu Kompeni di bawah pimpinan Antonio Paulo.
Sementara itu di kejauhan nampak pasukan-pasukan Mataram siap siaga di bawah pimpinan Adipati Demak.
Kedua belah pihak mengibarkan bendera putih sebagai tanda bersedia berunding.
Namun perundingan mencapai jalan buntu dan van Maseyck mundur kembali mendekati anak buahnya.
Tiba-tiba Adipati Demak memberikan aba-aba menyerang dan menyerbulah pasukan-pasukan Mataram ke arah orang-orang Belanda.
Ke-25 orang serdadu Kompeni termasuk Antonio Paulo dapat ditawan.
Barang-barang bingkisan dirampas semua.
Sedangkan van Maseyck dapat melarikan diri menuju ke kapal yang segera mengangkat sauh dan bertolak ke arah Barat.
Menurut perhitungan pihak Kompeni saat itu di Mataram tidak kurang dari 50 orang Belanda yang dijadikan tawanan.
Mereka semua diharuskan melakukan kerja paksa dalam keadaan yang amat menyedihkan karena kekurangan makanan.
Bulan Oktober 1634 van Brouchum tiba di Tegal sebagai utusan khusus pihak Kompeni lengkap dengan segala macam bingkisan.
Dia menyampaikan pesan bahwa Kompeni mengakui Sultan Agung sebagai Penguasa Tertinggi di Jawa.
Selain itu, VOC juga bersedia mengirim upeti ke Mataram setiap tahun yang dapat dianggap sebagai "uang sewa" atas tanah-tanah milik Mataram yang dijadikan tempat kediaman atau Kantor Dagang orang-orang Belanda.
Namun van Brouchum meminta jaminan bahwa utusan-utusan yang dikirim ke Mataram tidak akan dijadikan tawanan atau sandera.
Juga van Brouchum menyatakan bahwa Kompeni bersedia membayar sejumlah uang tertentu bagi pembebasan para tawanan.
Atau paling tidak, bagi keperluan ransum para tawanan itu.
Sungguh sial bagi van Brouchum! Utusan dari Mataram dengan tegas menolak semua bingkisan, pernyataan dan kesediaan Kompeni tadi.
Utusan Sultan berpesan agar segala bingkisan, pernyataan dan tanda takluk harus dikirim langsung ke hadapan Sultan.
Serta harus dibawa oleh paling sedikit dua orang Belanda yang mempunyai kedudukan tinggi di Batavia.
Sang utusan juga menyampaikan berita kepada van Brouchum.
Sebagai hukuman kepada Kompeni yang telah berani menghasut Blambangan melawan Mataram, Antonio Paulo, pimpinan serdadu Kompeni dalam misi van Maseyck yang ditawan di Jepara bulan April 1631, telah dilemparkan ke kandang buaya dan tewas menjadi mangsa hewan-hewan itu.
Apabila dalam waktu dekat tidak juga datang utusan yang diminta tadi ke Mataram, 24 orang rekan Antonio Paulo akan mengalami nasib serupa dengan komandan mereka.
Hasil perundingan di Tegal benar-benar merupakan pukulan bagi Kompeni.
Mereka benar-benar merasa direndahkan martabatnya.
Karena van Brouchum bertindak atas nama Gubernur Jenderal, maka Gubernur Jenderal Brouwer dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh Antonie van Diemen.
Demikianlah, maka selama masa-masa pemerintahan Sultan Agung, tidak satu pun orang Belanda yang ditawan berhasil dibebaskan.
Ketika Sultan Agung wafat tahun 1645, barulah sisa tawanan itu dapat dibebaskan dengan tebusan atas perkenan raja yang baru, Sultan Amangkurat I.
Ternyata bahwa mereka itu hanya tinggal 33 orang.
Artinya, ke-24 anak buah Antonio Paulo mengalami nasib serupa seperti komandan mereka.
Mereka dilemparkan ke kandang buaya menjadi mangsa hewan ganas itu sesuai dengan ancaman yang diberikan Sultan Agung di Tegal.
(Ditulis oleh A.S. Wibowo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1977)
Dapatkan artikel terupdate Intisari-Online.com di Google News