Penulis
Intisari-online.com - Banjir telah lama menjadi bagian dari narasi kota Semarang, sebuah luka yang terus berulang sejak zaman kolonial Belanda.
Terletak di pesisir utara Jawa, Semarang menghadapi tantangan geografis dan hidrologis yang membuatnya rentan terhadap banjir.
Pada masa penjajahan Belanda, Semarang sudah sering dilanda banjir.
Kawasan Kaligawe, misalnya, adalah salah satu daerah yang sering terkena dampak parah banjir.
Banjir bukan hanya disebabkan oleh hujan deras, tetapi juga karena fenomena rob, atau naiknya air laut.
Upaya Kolonial Mengatasi Banjir
Bangsa Belanda pada masa itu berupaya mengatasi masalah banjir ini dengan berbagai cara.
Salah satunya adalah dengan pembangunan dua kanal besar, Banjir Kanal Barat (BKB).
Pada tahun 1879 dan Banjir Kanal Timur (BKT) pada tahun 1890-an, yang dirancang untuk mengendalikan banjir.
Saat itu Belanda direpotkan dengan banjir di Semarang, kemudian mendasari upaya pembangunan skala besar untuk mengatasi banjir tersebut.
Dua kanal besar pada sisi barat dan timur Kota Semarang.
Baca Juga: Dikepung Banjir Karena Cuaca Ekstrem, Ini Alasan Kenapa Kota Semarang Mudah Tergenang Air
Pemerintah kolonial mengupayakan pembangunan West dan Oost Bandjirkanaal melalui kerja wajib yang dikenal dengan sebutan heren diensten.
Diketahui bahwa pembangunan Banjir kanal Barat dan Bannjir kanal Timur tidak dibangun bersamaan namun bergiliran.
Banjir kanal Barat mulai dibangun pada tahun 1850 dengan tujuan untuk mengatasi banjir yang terjadi di wilayah Semarang Utara.
Pasalnya, kawasan Semarang Utara merupakan wilayah yang dianggap sentral danmenjadi pusat kegiatan perdagangan melalui Pelabuhan Semarang.
Namun, faktanya hingga hari ini, banjir masih menjadi tantangan bagi Semarang.
Meskipun telah ada upaya modernisasi dan peningkatan infrastruktur, banjir tetap menjadi masalah yang memerlukan solusi komprehensif dan berkelanjutan.
Sejarah banjir di Semarang adalah cerminan dari perjuangan kota ini melawan bencana alam yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Upaya kolonial hingga modern telah dilakukan, namun banjir tetap menjadi ‘luka lama’ yang membutuhkan perhatian dan solusi inovatif.