Penulis
Intisari-Online.com -Presiden Amerika Serikat Joe Biden melancarkan serangan kepada milisi Houthi di Yaman tanpa persetujuan Kongres.
Sontak, serangan dadakan Joe Biden itu membuat Partai Demokrat meradang.
Sebaliknya, beberapa anggota Partai Republikmemuji serangan tersebut dalam bentuk kritik yang lebih luas terhadap tindakan kebijakan luar negeri pemerintah.
Milisi Houthi adalah milisi yang berkedudukan di Yaman yang didukung oleh Iran.
Sedikitnya 100 rudal ditembakkan pasukan militer Amerika Serikat (AS) dan Inggris ke sasaran 16 lokasi Houthi Yaman pada Jumat (12/1/2024).
Komando Pusat Angkatan Udara AS dalam sebuah pernyataan menjelaskan, serangan itu juga melibatkan jet tempur, termasuk rudal Tomahawk.
Serangan udara besar-besaran AS-Inggris tersebut dipicu adanya serangan dari kelompok Houthi Yaman yang mengganggu kapal-kapal dagang di Laut Merah.
Sebelumnya, Houthi mengindahkan peringatan dari komunitas internasioal dan terus menyerang kapal-kapal kargo atau kapal dagang di perairan Laut Merah.
Namun, serangan Houthi tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap Hamas dan warga Palestina lantaran diserang oleh Israel.
Dikutip dari AFP pada Jumat (12/1/2024), kelompok Houthi semakin banyak melakukan serangan terhadap kapal yang mereka anggap sebagai kapal yang berhubungan dengan Israel di jalur utama perdagangan internasional sejak meletusnya perang Israel-Hamas di Gaza.
Kini, Houthi telah menguasai sebagian besar Yaman sejak perang saudara meletus pada 2014 dan merupakan bagian dari poros perlawanan yang didukung Iran melawan Israel.
Menurut stasiun TV Al-Masirah milih Houthi, serangan pada Jumat ini menargetkan pangkalan udara, bandara dan kamp militer.
"Negara kami menjadi sasaran serangan agresif besar-besaran oleh kapal perang, kapal selam, dan pesawat tempur Amerika dan Inggris," kata Wakil Menteri Luar Negeri Houthi Hussein Al-Ezzi.
"Amerika dan Inggris harus bersiap membayar mahal dan menanggung semua konsekuensi mengerikan dari agresi ini," imbuhnya.
Sementara itu, Presiden AS Joe Biden menyebut serangan AS dan Inggris sebagai tindakan untuk pertahanan diri, usai serangan di Laut Merah.
Joe Biden juga menyatakan tidak akan ragu untuk memerintahkan tindakan militer lebih lanjut jika diperlukan.
"Hari ini, atas arahan saya, pasukan militer AS bersama dengan Inggris dan dengan dukungan dari Australia, Bahrain, Kanada, dan Belanda berhasil melakukan serangan terhadap sejumlah sasaran di Yaman yang digunakan oleh kelompok Houthi," terang Biden dalam sebuah pernyataan.
Gambar-gambar yang belum terverifikasi di media sosial, beberapa di antaranya berasal dari pangkalan udara Al-Dailami di utara Sanaa menunjukkan ledakan-ledakan disertai dentuman keras dan deru pesawat.
Biden menyebut serangan tersebut sebagai tanggapan langsung terhadap serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan oleh kelompok Houthi.
Termasuk penggunaan rudal balistik anti-kapal untuk pertama kalinya dalam sejarah.
"Serangan-serangan ini telah membahayakan pasukan AS, pelaut sipil, para mitra, membahayakan perdagangan, dan mengancam kebebasan pelayaran," ungkapnya.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan serangan itu menargetkan lokasi yang terkait dengan kendaraan udara tak berawak, rudal balistik dan rudal jelajah Houthi, serta radar pantai.
Meski demikian, kelompok Houthi menyatakan bahwa serangan udara tersebut tidak benar.
Houthi juga memperingatkan bahwa serangan terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Israel akan terus berlanjut.
"Kami menegaskan bahwa sama sekali tidak ada pembenaran atas agresi terhadap Yaman, karena tidak ada ancaman terhadap navigasi internasional di Laut Merah dan Laut Arab, dan sasaran tersebut telah dan akan terus berdampak pada kapal-kapal Israel atau mereka yang menuju ke pelabuhan-pelabuhan Palestina yang diduduki," terang juru bicara Houthi Mohammed Abdulsalam dalam postingan di media sosial X.
Siapa milisi Houthi?
Milisi Houthi merupakan kelompok militer yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman.
Negara yang berada di Timur Tengah itu berbatasan dengan Laut Merah.
Menurut The Guardian (12/1), nama Houthi berasal dari nama sosok pendiri kelompok tersebut, Hussein Badreddin al-Houthi.
Saat ini, kelompok tersebut dipimpin Abdul-Malik al-Houthi.
Houthi berdiri sejak 1999 untuk menentang pengaruh Arab Saudi di Yaman.
Kelompok ini bergerak dengan ideologi melawan Israel dan AS.
Houthi juga dianggap menjadi bagian dari perlawanan bersama Iran, Hamas di Gaza, dan Hizbullah di Lebanon.
Dilansir AP News (12/1/2024), Houthi melakukan pemberontakan kepada pemerintah Yaman pada 2014, sehingga memicu perang saudara.
Pemberontakan dilakukan karena kelompok itu memprotes tindakan korupsi dan kekejaman presiden Ali Abdullah Saleh yang sudah lama berkuasa di Yaman dan sekutu Arab Saudi.
Arab Saudi berusaha membantu Yaman dengan mengintervensi pada 2015.
Namun, perang terus berlanjut dan diperkirakan menewaskan 377.000 orang hingga akhir 2021.
Arab Saudi dan Houthi akhirnya melakukan perundingan, pertukaran tahanan, dan gencatan senjata sebagai upaya damai.
Namun, ikhtiar perdamaian tersebut hingga kini belum membuahkan hasil.
Kelompok yang diperkirakan memiliki 20.000 pejuang itu sekarang menguasai sebagian besar wilayah barat negaranya termasuk Laut Merah dan ibukota Sana'a.
Kelompok Houthi sendiri didukung oleh Iran yang bermusuhan sejak lama dengan Arab Saudi.