Penulis
Intisari-Online.com -Tentu kita pernah bertanya: sejak kapan sejarah pertambangan di Indonesia?
Kompas.ID pernah menulis bahwa pertambangan di Nusantara diperkirakan sudah ada sejak zaman Majapahit.
Dalam tulisan itu, Kompas menulis bahwa Raja Hayam Wuruk pernah memberi perintah kepada Adityawarman, raja Kerayaan Melayu yang jadi bawahan Majahapit, untuk menguasai Sungai Batanghari di Jambi.
Bukan tanpa alasan, perintah itu ternyata terkait adanya pertambangan emas di sekitar Sungai Batanghari.
Dalam artikel tersebut juga secara khusus menyebut Sumatra.
"'Molukken is het verleden, Java is het heden, en Sumatra is de toekomst', artinya 'Maluku masa lampau, Jawa masa kini, dan Sumatra masa depan.'"
Begitu tulis Antonius Purwanto dalam artikel berjudul "Jejak Sejarah dan Perkembangan Regulasi Pertambangan di Indonesia" menyitir sebuah ungkapan populer di kalangan kolonialis Belanda pada abad ke-19.
Di situ dia mau bilang, bahwa Maluku bisa dibilang sebagai masa lampau yang gilang gemilang, tapi memudar seiring dengan memudarnya pamor rempah-rempah.
Sementara Sumatra masa depan karena di pulau itulah surganya pertambangan, dari emas, minyak, hingga batu bara.
Ketika datang ke Nusantara, Belanda membawa serta para ahli geografi dan geologi.
Kelompok peneliti ini bernama Royal Dutch Geographical Society atau Masyarakat Geografi Kerajaan Belanda.
Mereka kemudian mengambil sampel batu-batuan untuk ditelisik kandungan mineralnya.
Dengan begitu, Belanda bisa membuat epta pertambangan di Hindia Belanda.
Salah satunya, ilmuwan Belanda bernama F.W. Junghuhn yang melakukan penyelidikan di Pulau Jawa pada 1835–1848 dan 1855–1864.
Dia melaporkan antara lain tentang topografi, geologi, dan struktur pulau ini.
Pada masa kolonial, pertambangan tak lepas dari tujuan kolonialisasi, yakni mengeruk kekayaan alam di wilayah jajahan.
Mulanya, kekayaan alam yang dikeruk adalah rempah-rempah.
Namun dalam perkembangannya, revolusi industri menggeser rempah sebagai primadona dari Hindia Belanda.
Sebagai gantinya, muncullah produk tambang yang menjadi komoditas ekonomi.
Bisa dibilang, era tambang baru dan modern di Indonesia dimulai pada tahun 1602, saat VOC berdiri.
Setelah VOC bubar dan posisinya digantikan pemerintaha kolonial Hindia Belanda, peraturan pertambangan mulai diubah.
Di masa ini, pemerintah mulai melibatkan pihak swasta dalam urusan perekonomian, termasuk pertambangan.
Untuk mempermudah keterlibatan swasta, pada 1850, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Dinas Pertambangan Dienst van het Mijnwezen yang berkedudukan di Batavia.
Tujuannya untuk lebih mengoptimalkan penyelidikan geologi dan pertambangan menjadi lebih terarah.
Upaya Belanda melakukan kegiatan pertambangan tersebut diwarnai pula dengan kebijakan-kebijakan yang berlaku di negara asalnya.
Aturan pertambangan pertama yang dibentuk bernama Mijn Reglement 1850.
Dengan adanya aturan pertambangan ini, pemerintah berwenang untuk memberikan hak atau konsesi penambangan untuk pihak swasta (warga negara Belanda).
Namun, pemberlakukan Mijn Reglement kala itu hanya diterapkan secara terbatas untuk daerah di luar Pulau Jawa.
Pasalnya, Belanda menghindari adanya kemungkinan konflik tumpang tindih antara hak pertambangan dan sistem cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah lebih dulu diberlakukan di Pulau Jawa.
Namun di sisi lain, pemberian konsesi mulai dirasa memberikan lebih banyak keuntungan kepada pihak swasta.
Sementara Pemerintah Hindia Belanda hanya menerima 20 persen hasil keuntungan bersih.
Karena itu, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai melakukan perubahan dengan membentuk Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM) pada 1930-an.
NIAM ini merupakan perusahaan patungan antara Pemerintah dengan perusahaan minyak asal Belanda, BPM atau Bataafsche Petroleum Maatschappij, dengan pembagian keuntungan 50-50.
Kemudian, pada 1899, Belanda menerbitkan Indische Mijnwet Staatblad Tahun 1899 Nomor 214.
Cikal bakal regulasi ini adalah Undang-undang Pertambangan tahun 1810 yang menggantikan Undang-Undang Pertambangan 1791 di Kota Limburg.
Indische Mijnwet 1899 mengatur secara khusus masalah perizinan publik di bidang pertambangan, termasuk penggolongan bahan galian dan perizinan yang bersifat konsesi.
Saat Jepang datang,kegiatan pertambangan tidak mendapatkan perhatian khusus.
Selama tiga tahun masa penjajahan Jepang, tidak ada peraturan baru mengenai pertambangan.
Peraturan yang yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, juga tidak mengalami perubahan, bahkan tetap dilaksanakan.
Di bawah Pemerintahan Jepang, kegiatan pertambangan berada di tangan Komando Militer Jepang dan disesuaikan dengan situasi perang saat itu.
Beberapa lahan pertambangan digarap demi keperluan perang, antara lain minyak bumi, batubara, timah, bauksit, dan nikel.
Selama tiga tahun menjajah Indonesia, Jepang mengembangkan potensi pertambangan dengan membuka beberapa lahan pertambangan baru.
Beberapa di antaranya, batubara kokas di Kalimantan Selatan, tambang tembaga di Jawa Tengah, biji besi di Lampung, dan lain sebagainya.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, industri pertambangan masih terus dilanjutkan.
Ketika itu Pemerintah Indonesia masih memakai Undang-Undang Indische Mijnwet (IMW) yang dibentuk oleh Belanda untuk mengatur mengenai pokok-pokok pertambangan.
Untuk menyempurnakan UU IMW, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU 78/1958 tentang Penanaman Modal Asing.
Di dalam UU ini, diatur mekanisme Penanaman Modal Asing. Hanya saja untuk sektor pertambangan bahan vital masih tertutup bagi pemodal asing.
Begitulah, sejak itu aturan-aturan baru terkait pertambangan terus diperbaharui menyesuakan dengan kebutuhan zaman.
Itulah sejarah pertambangan di Indonesia secara singkat yang akarnya bisa dilacak sejak zaman Majapahit, semoga bermanfaat.