Penulis
Intisari-online.com - Pada hari Minggu, 19 Desember 1948, sekitar pukul 06.00 WIB, langit Yogyakarta mendadak bergemuruh.
Pesawat-pesawat Belanda muncul dari arah barat dan menjatuhkan bom-bom di kawasan lapangan udara Maguwo.
Tak lama kemudian, pesawat-pesawat Dakota dari Bandung menebarkan pasukan payung di langit timur Yogyakarta.
Serangan mendadak ini adalah bagian dari Operasi Gagak (Operatie Kraai), sebuah operasi militer lintas udara yang bertujuan untuk merebut Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu, dan menangkap para pemimpinnya.
Operasi Gagak adalah puncak dari Agresi Militer Belanda II, sebuah aksi perang yang dilakukan oleh Belanda untuk menggagalkan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Agresi ini merupakan pelanggaran terhadap perjanjian Renville yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada Januari 1948.
Perjanjian ini mengakui keberadaan Republik Indonesia di wilayah Jawa dan Sumatra, namun juga menetapkan garis demarkasi yang membatasi wilayah kekuasaannya.
Belanda berharap dengan perjanjian ini, mereka dapat memperkuat posisi mereka di Indonesia dan mengisolasi Republik Indonesia dari dukungan internasional.
Namun, rencana Belanda tidak berjalan mulus. Republik Indonesia berhasil mempertahankan eksistensinya dan mendapatkan simpati dari dunia internasional.
Di sisi lain, Belanda menghadapi tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan masalah Indonesia secara damai.
PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian Renville dan membantu proses negosiasi antara Indonesia dan Belanda.
Baca Juga: Kaleidoskop 2023: Inilah 4 Peristiwa Politik Yang Paling Disorot Pada 2023
KTN juga mengirimkan perwakilan-perwakilan ke Indonesia untuk mengamati situasi di lapangan.
Belanda merasa tidak puas dengan peran KTN dan PBB. Mereka merasa bahwa KTN cenderung memihak Indonesia dan menghalangi ambisi mereka untuk menguasai kembali Indonesia.
Mereka juga merasa bahwa perjanjian Renville tidak memberikan keuntungan bagi mereka, karena Republik Indonesia masih berusaha untuk memperluas wilayahnya dan menggalang dukungan dari rakyat.
Belanda kemudian memutuskan untuk mengambil tindakan militer untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Mereka merencanakan operasi rahasia yang disebut Operasi Gagak, yang dipimpin oleh Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia.
Operasi Gagak dimulai pada 19 Desember 1948 dengan serangan udara terhadap Yogyakarta. Serangan ini berhasil mengejutkan dan mengacaukan pertahanan Republik Indonesia.
Pasukan Belanda kemudian mendarat di beberapa titik strategis di sekitar Yogyakarta dan bergerak menuju pusat kota.
Mereka berhasil menembus istana presiden dan menangkap Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya.
Mereka juga menguasai gedung-gedung pemerintahan, markas militer, dan sarana komunikasi. Pada siang hari, Yogyakarta telah jatuh ke tangan Belanda.
Serangan Belanda tidak hanya terjadi di Yogyakarta, tetapi juga di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra.
Belanda berusaha untuk menguasai daerah-daerah yang penting secara politik, ekonomi, dan militer.
Baca Juga: Peristiwa-Peristiwa Penting yang Membentuk Indonesia 2023: Bencana, Politik, dan Budaya
Mereka juga berusaha untuk memutus hubungan antara Republik Indonesia dengan daerah-daerah lainnya.
Dalam waktu singkat, Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Indonesia.
Mereka mengklaim bahwa dengan Operasi Gagak, mereka telah mengakhiri Republik Indonesia dan mengembalikan kedaulatan Belanda di Indonesia.
Namun, pernyataan Belanda itu terlalu dini. Meskipun Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya telah diduduki oleh Belanda, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak berhenti.
Justru sebaliknya, serangan Belanda memicu semangat perlawanan rakyat Indonesia.
Di bawah pimpinan Panglima Besar Soedirman, yang saat itu sedang sakit parah, pasukan-pasukan Republik Indonesia melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Mereka melakukan serangan-serangan mendadak, penyergapan, penghadangan, dan sabotase terhadap pasukan dan sarana Belanda.
Mereka juga berusaha untuk mempertahankan daerah-daerah yang belum diduduki oleh Belanda, seperti Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat.
Perlawanan rakyat Indonesia tidak hanya bersifat militer, tetapi juga politik dan diplomasi.
Di dalam negeri, para pemimpin sipil yang lolos dari penangkapan Belanda, seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, dan Mohammad Natsir, membentuk pemerintahan darurat yang disebut Pemerintah Republik Indonesia Serikat (PRIS).
PRIS berfungsi sebagai pengganti pemerintahan pusat yang ditangkap Belanda dan sebagai koordinator perjuangan rakyat Indonesia.
Baca Juga: Tragedi 25 November 1945, Peristiwa Inggris Lancarkan Bom Kedua di Yogyakarta, Ribuan Jiwa Melayang
PRIS juga berusaha untuk menjaga hubungan dengan daerah-daerah yang masih setia kepada Republik Indonesia dan menggalang dukungan dari rakyat.
PRIS juga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam Agresi Militer Belanda II dan menuntut pembebasan para tawanan politik.
Di luar negeri, para perwakilan Republik Indonesia yang berada di negara-negara sahabat, seperti India, Mesir, Australia, dan Amerika Serikat, berusaha untuk memperjuangkan hak-hak Indonesia di forum internasional.
Mereka mengajukan protes dan lobi-lobi kepada PBB dan negara-negara anggotanya untuk mengutuk Agresi Militer Belanda II dan mendesak Belanda untuk menghormati kedaulatan Indonesia.
Mereka juga berusaha untuk memperoleh bantuan dan dukungan dari negara-negara sahabat, baik berupa materiil maupun moril.
Perjuangan rakyat Indonesia mendapatkan respons positif dari dunia internasional.
PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam Agresi Militer Belanda II dan menuntut Belanda untuk menghentikan permusuhan dan membebaskan para tawanan politik.
PBB juga membentuk Komite Konsuler yang terdiri dari lima negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, Belgia, India, dan Republik Rakyat Tiongkok, untuk mengawasi pelaksanaan resolusi PBB dan membantu proses perdamaian antara Indonesia dan Belanda.